Minggu, 27 Februari 2011

Islam sebagai Rahmat untuk Seluruh Alam

Islam sebagai Rahmat untuk Seluruh Alam
Penulis: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Manhaj, 28 Juni 2003, 10:44:57

Kalimat "negara Islam" telah menjadi momok yang menakutkan, terutama sejak dipaksakannya rekayasa sejarah yang mendiskreditkan Islam dan gerakan Islam. Digambarkan betapa seramnya hukum Islam jika diterapkan, betapa sadisnya hukum rajam dan potong tangan dan seterusnya.

Ditambah lagi dengan gerakan-gerakan bid'ah yang berjihad tanpa ilmu, yang menambah rusaknya gambaran Islam di mata awam. Yang akibatnya orang awam dan non-Islam mengira gerakan jihad identik dengan terorisme, perampokan, penjarahan, dan seterusnya.

Akhirnya Islampobia menjalar di masyarakat, bahkan orang-orang yang berstatus Muslim pun takut kalau hukum Islam diterapkan di Indonesia Raya ini. Padahal kalau mereka mau melihat Islam dari sumbernya yang asli dari Qur'an dan Sunnah, dengan pemahaman generasi-generasi terbaik yang dipuji Allah dan Rasul-Nya, maka mereka akan dapati Islam adalah rahmat dan kasih sayang untuk seluruh alam.

Allah ciptakan syariat ini dan Allah utus Rasul-Nya adalah sebagai bukti kasih sayang-Nnya kepada seluruh manusia. Allah berfirman: "Tidaklah Kami mengutus engkau kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam." (Al-Anbiya: 107)

Ibnu Abbas radliyallahu `anhu berkata tentang ayat ini: "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka Allah tuliskan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Adapun orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka mereka pun mendapat rahmat dengan datangnya Rasul yaitu keselamatan dari adzab

di dunia, seperti ditenggelamkannya ke dalam bumi atau dihujani dengan batu." (Tafsir Ibnu Katsir 3/222)

Oleh karena itu ketika malaikat Jibril datang kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan beliau terusir dari kaumnya, dilempari dengan batu di Thaif hingga berdarah kakinya, duduk di luar kota tanpa kawan, bermunajat kepada Allah. Malaikat itu berkata: "Aku diutus Allah untuk mentaati perintah-Mu. Jika engkau menginginkan agar aku menimpakan gunung ini kepada mereka aku akan laksanakan." Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Ya Allah, berilah hidayah pada mereka karena sesungguhnya mereka belum mengetahui." Melihat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berdoa seperti itu, Jibril mengatakan: "Maha benar Allah yang menamakanmu ra'ufur rahim." (lihat Nurul Yaqin hal. 56)

Inilah bukti kasih sayang beliau kepada seluruh manusia. Jika beliau diberi pilihan doa yang maqbul terhadap kaumnya apakah dilaknat dan diadzab ataukah diberi hidayah, tentu beliau memilih berdoa agar Allah memberikan hidayah.

Pernah suatu hari beliau didatangi oleh Thufail Ad-Dausi. Dia berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kabilah Daus menentang dan menolak dakwah ini. Maka doakanlah agar Allah menghancurkan mereka." Maka Rasulullah pun menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya. Para shahabat yang ada di situ berucap: "Binasalah Daus!" Ternyata Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengucapkan doa: "Ya Allah, berilah hidayah pada suku Daus dan bawalah mereka kemari" (beliau mengucapkannya tiga kali). (HR. Bukhari dan Muslim).
Doa beliau ternyata maqbul. Suku Daus datang berbondong-bondong kepada Nabi untuk masuk Islam.
Demikian pula diriwayatkan dari Muslim dengan sanadnya kepada Abu Hurairah radliyallahu `anhu bahwa dia berkata: Pernah dikatakan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: "Wahai Rasulullah, doakanlah kejelekan bagi musyrikin." Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menjawab:
"Aku tidak diutus sebagai tukang laknat, melainkan aku diutus sebagai rahmat." (HR. Muslim).

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Hanya saja aku diutus sebagai rahmat yang diberikan." (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3 / 222).
Maka Islam adalah agama kasih sayang, dibawa oleh seorang penyayang dari Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Negara Islam Mengapa Takut?
Kalau demikian kenyataannya mengapa kita mesti takut terhadap munculnya negara Islam, negara yang mengayomi rakyat semesta dan membawa bangsa kepada kemakmuran yang hakiki, yang memberi kesempatan kepada rakyat non Islam untuk menjalankan agamanya sambil melihat kesempurnaan syariat Islam sehingga suatu saat mereka akan masuk Islam tanpa paksaan. Dan ini berarti rahmat yang lebih sempurna lagi bagi mereka.

Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melarang kaum Muslimin untuk mengganggu orang-orang non-Islam yang hidup sebagai kafir dzimmni. Yaitu orang kafir yang termasuk warga negara Islam yang dilindungi selama mereka mentaati peraturan-peraturan negara dan membayar jizyah (semacam upeti atau pajak). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak mengijinkan kalian untuk masuk ke rumah orang-orang ahli kitab kecuali dengan seijin mereka, tidak boleh memukul mereka dan mengambil buah-buahan mereka selama mereka memberikan kepada kalian kewajiban mereka." (HR. Abu Dawud).

Demikianlah warga negara non-Islam diberikan hak-haknya dan dijaga hartanya, tidak boleh dirampas hartanya atau dibunuh jiwanya dengan dhalim selama mereka mentaati peraturan-peraturan negara Islam, walaupun kita sama-sama tahu bahwa kedudukan mereka lebih rendah dari kaum Muslimin, sebagaimana ucapan Umar bin Khattab radliyallahu `anhu: "Rendahkanlah mereka tapi jangan dhalimi mereka." (Fatawa 28 / 653)

Demikian pula orang-orang non-Muslim yang bukan warga negara tetapi terikat perjanjian damai. Seperti para pendatang dari negara asing yang tidak dalam keadaan berperang (dengan Muslim) atau dalam kata lain terikat perjanjian damai. Maka kita tidak boleh mengganggu, apalagi membunuh mereka selama mereka mengikuti peraturan-peraturan negara Islam. Demikian pula duta-duta asing yang tinggal di negara Islam. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengancam orang-orang yang mengganggu atau mendhalimi mereka. Mereka ini distilahkan dengan kafir mu'ahhad (yaitu terikat perjanjian):

"Ketahuilah barang siapa mendhalimi seorang mu'ahad; atau mengurangi hak-haknya; atau membebaninya di luar kemampuannya; atau mengambil sesuatu daripadanya tanpa keridlaannya. Maka aku akan menjadi penentangnya pada hari kiamat." (HR. Abu Dawud dan Baihaqi. Lihat Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani 1 / 807).

Apalagi membunuh seorang mu`ahad, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam lebih keras lagi mengancamnya: "Barangsiapa membunuh seorang mu'ahad, maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal harumnya surga didapati dari jarak 40 tahun perjalanan." (HR. Bukhari).

Oleh karena itu para duta-duta asing atau tamu-tamu asing yang non-Muslim tidak perlu khawatir masuk negara Islam dan tidak perlu takut berdirinya negara Islam di bumi persada Indonesia ini karena Islam merupakan rahmat untuk seluruh manusia.

Bahkan kalau pendatang non-Muslim itu merupakan utusan, walaupun utusan itu dari negara kafir yang sedang berperang dengan negara Islam sekali pun, mereka tidak perlu takut karena Islam dengan rahmatnya tidak membolehkan menangkap, menahan atau membunuh para utusan (yang diistilahkan dalam syari'at dengan wufud).

Pernah suatu hari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam didatangi dua orang utusan dari Musailamah al-kadzab, seorang nabi palsu yang memusuhi Rasulullah. Kemudian Beliau bersabda: "Apakah kalian mau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?" Mereka berkata: "Kami bersaksi bahwa Musailamah adalah Rasulullah." maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun bersabda: "Aku beriman kepada Allah dan para rasul-Nya! Kalau saja aku membolehkan untuk membunuh seorang utusan tentu akan aku bunuh kalian berdua!"

Bahkan walaupun utusan kafir tersebut kemudian masuk Islam, Rasulullah tetap memerintahkannya untuk kembali kepada kaum yang mengutusnya sebagaimana diriwayatkan dari Abu Rafi' sebagai berikut: Aku diutus oleh orang-orang kafir Quraisy menemui Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Ketika aku melihat beliau, masuklah Islam ke dalam hatiku. Maka aku mengatakan kepada beliau: "Wahai Rasulullah, demi Allah aku tidak akan kembali kepada mereka selama-lamanya."

Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya aku tidak akan melanggar perjanjian dan tidak akan menahan para utusan. Maka kembalilah engkau! Kalau pada dirimu tetap ada keimanan seperti sekarang ini maka kembalilah engkau kemari." (HR. Abu Dawud, An-Nasa'i, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Ahmad. lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani 6 / 316).

Dalam riwayat lain dikatakan: "Sesungguhnya aku tidak melanggar janji dan tidak akan menangkap seorang utusan." (HR. Abu Dawud dan Nasa'i)

Inilah Islam, inilah keadilan. Tidak akan didapati kebijaksanaan yang seperti ini dalam agama lain. Hanya saja orang-orang bodoh dan para ahli bid'ah merusak gambaran yang indah ini dengan melanggarnya, atau dengan mengada-adakan aturan-aturan baru (bid'ah) dan kebijaksanaan-kebijaksanaan sendiri yang mereka anggap baik dengan emosi dan hawa nafsunya. Yang akhirnya justru merusak gambaran Islam dan membuat manusia takut kepadanya.
Rahmat Islam dalam Perang
Demikian pula dalam peperangan, Agama Islam tidak lepas dari sifatnya sebagai rahmat bagi seluruh alam. Islam mengajarkan peraturan-peraturan dan hukum-hukum perang. Siapa yang boleh dibunuh dan siapa yang tidak. Bolehkah merusak jasad musuh atau tidak, dan seterusnya. Setiap melepas suatu pasukan untuk berperang Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberikan wasiat kepada mereka, yang berisi nasihat dan peraturan peperangan. Di dalamnya kita akan dapati rahmat dan kasih sayang. Simaklah wasiat beliau berikut ini:

Diriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya dari Aisyah radliyallahu `anha, ia berkata: Bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam jika mengutus seseorang komandan yang membawa sebuah pasukan --besar atau kecil-- beliau mewasiatkan kepada pribadinya untuk bertakwa kepada Allah dan mewasiatkan untuk kaum muslimin dengan kebaikan.

Kemudian bersabda: "Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah! Perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah tapi jangan mencuri rampasan perang, jangan ingkar janji, jangan merusak jasad musuh, jangan membunuh anak-anak. Jika kalian menemui musuhmu dari kalangan musyrikin, maka ajaklah mereka kepada tiga perkara. Jika mereka menerima salah satunya, maka terimalah dan berhentilah (tidakmemerangi): Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka mengikuti ajakanmu, maka terimalah dari mereka dan tahanlah peperangan. Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka menyambut ajakanmu, maka terimalah dan ajaklah untuk pindah (hijrah) dari desa mereka ke tempat muhajirin (Madinah).

Kalau mereka menolak, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa mereka dianggap sebagai orang-orang arab gunung (nomaden) yang Muslim. Tidak ada bagi mereka bagian ghanimah (pampasan perang) sedikit pun kecuali jika mereka berjihad bersama kaum muslimin. Kalau mereka menolak (untuk masuk Islam) maka mintalah dari mereka untuk membayar jizyah (upeti) (sebagai orang-orang kafir yang dilindungi). Kalau mereka menolak, maka minta tolonglah kepada Allah untuk menghadapi mereka kemudian perangilah.

Jika engkau mengepung penduduk suatu benteng, kemudian mereka menyerah ingin meminta jaminan Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kau lakukan. Tetapi jadikanlah untuk mereka jaminanmu, karena jika kalian melanggar jaminan-jaminan kalian itu lebih ringan daripada kalian menyelisihi jaminan Allah. Dan jika mereka menginginkan engkau untuk mendudukkan mereka di atas hukum Allah, maka jangan kau lakukan. Tetapi dudukkanlah mereka di atas hukummu karena engkau tidak tahu apakah engkau menepati hukum Allah pada mereka atau tidak." (HR. Muslim dalam Kitabul Jihad bab Ta'mirul Imam no. 1731)

Di awal wasiatnya Beliau memperingatkan untuk jangan mencuri, jangan ingkar janji, jangan merusak jasad musuh, jangan membunuh anak-anak, dan seterusnya. Sebuah nasihat yang merupakan kasih sayang Islam kepada seluruh manusia walaupun terhadap orang kafir.

Kemudian Beliau menganjurkan untuk memberikan pilihan kepada musuh. Apakah mereka akan masuk Islam atau membayar jizyah yang berarti mereka akan selamat; atau tidak mau memilih keduanya yang berarti perang. Ini merupakan kasih sayang yang sangat besar, memberikan kesempatan kepada musuh untuk selamat dunia dan akhirat. Kalau mereka memilih Islam berarti mereka selamat di dunia dan di akhirat. kalau memilih jizyah berarti selamat di dunia. Sedangkan kalau mereka tidak ingin selamat, maka barulah mereka diperangi. Pantaskan?!

Selanjutnya Beliau menasihatkan dalam memberikan keputusan terhadap musuh tidak boleh mengatasnamakan Allah. Karena bisa jadi dia tidak tepat atau tidak mencocoki hukum Allah dalam memutuskan. Wanita juga termasuk pihak yang tidak boleh dibunuh dalam peperangan. Islam dengan rahmatnya tidakmembolehkan pembunuhan terhadap wanita.

Pernah pada suatu hari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berjalan bersama pasukannya dalam suatu peperangan. Kemudian Beliau melihat orang-orang berkerumun pada sesuatu, maka beliau pun mengutus seseorang untuk melihatnya. Ternyata mereka mengerumuni seorang wanita yang terbunuh oleh pasukan terdepan. Waktu itu pasukan terdepan dipimpin oleh Khalid bin Walid. Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun bersabda: "Berangkatlah engkau menemui Khalid dan katakan kepadanya: Sesungguhnya Rasulullah melarang engkau untuk membunuh dzuriyah (wanita dan anak-anak, ed) dan pekerja / pegawai." (HR. Abu Dawud).

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Katakan pada Khalid jangan ia membunuh wanita dan pekerja." (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ath-Thahawi. Lihat Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani 6 / 314).

Dalam riwayat yang lebih shahih dikatakan: "Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam melihat seorang wanita terbunuh dalam suatu peperangan. Maka beliau pun mengingkari pembunuhan wanita dan anak-anak." (Muttafaqun `alaihi)

Dari riwayat-riwayat ini jelas bahwa wanita dan anak-anak tidak boleh dibunuh dalam peperangan. Sedangkan pegawai atau pekerja yang dimaksud adalah warga sipil yang tidak ikut dalam peperangan. Mereka ini juga tidak boleh dibunuh. Demikianlah peraturan Islam, betapa indahnya peraturan tersebut. Kaum muslimin sudah mengenal istilah "warga sipil" yang tidak boleh dibunuh sejak turunnya Al-Qur'an ribuan tahun yang lalu. Inilah kasih-sayang Islam yang datang sebagai rahmat bagi seluruh alam termasuk kepada musuhnya sekali pun.

Rahmat dalam Hukum Had

Termasuk dalam hukum had dan qishas, kasih sayang Islam tidak pernah hilang. Di samping hukum itu sendiri memang membawa rahmat, penerapannya pun tidak sembarangan. Membutuhkan penyelidikan dan kepastian serta masih terkait dengan tuntutan korban atau maafnya.
Seperti hukum qishas, hukum seorang yang membunuh adalah dibunuh pula. Hukum ini membawa rahmat kepada seluruh kaum muslimin yaitu keamanan dan ketentraman. Bahkan hukum yang sepintas terlihat akan membawa korban lebih banyak, ternyata bagi orang yang cerdas akan terlihat bahwa sesungguhnya hukum ini justru menjaga kehidupan. Allah berfirman : "Sesungguhnya pada hukum qishash ada kehidupan bagi kalian wahai orang yang cerdas, semoga kalian bertakwa." (Al-Baqarah: 179)

Namun hukum ini pun terkait dengan tuntutan keluarga korban. Jika mereka memaafkan maka tidak dilakukan hukum bunuh melainkan membayar diat, semacam uang denda atau tebusan senilai harga seratus ekor unta yang diberikan kepada keluarga korban. Ini pun merupakan rahmat dan keringanan dari Allah untuk mereka sebagaimana Allah katakan sendiri dalam ayat-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.

Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaknya (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih." (Al-Baqarah: 178)

Ini pun kalau benar-benar terbukti ia membunuh dengan sengaja, kalau ternyata tidak sengaja maka tidak ada qishas yang ada adalah diat. Bahkan kalau keluarga korban akan menginfakkan tebusan tersebut kepada sipembunuh dan mema'afkannya, berarti ia tidak perlu membayar diat.

Walaupun yang dibunuh adalah seorang kafir mu'ahad yang terikat perjanjian, tetap wajib bagi si pembunuh yang Muslim membayar diat kepada keluarga korban serta memerdekakan seorang budak. Tetapi tidak ada qishas baginya. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman: "Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu padahal ia mukmin, (maka hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.

Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara bertaubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (An-Nisa: 92)

Sedangkan hukum potong tangan bagi pencuri atau hukum cambuk (bagi penzina yang belum menikah) dan rajam (bagi penzina yang telah menikah) dan lain-lain merupakan kejahatan yang jika sudah sampai kasusnya kepada pemerintah maka harus ditegakkan hukum padanya. Inipun sesungguhnya merupakan rahmat bagi seluruh kaum muslimin bahkan seluruh manusia.

Hukum potong tangan bagi pencuri -misalnya-- membawa keamanan dan ketenangan bagi seluruh rakyat. Hukum cambuk dan rajam bagi penzina membawa keselamatan bagi seluruh manusia dari berbagai penyakit-penyakit kelamin disamping menjaga keturunan dan nasab, agar tidak tercampur dan kacau.

Hukum-hukum ini pun tidak begitu saja diterapkan, tetapi melalui proses dan aturan-aturan yang jelas. Seperti pada hukum potong tangan, tidak semua pencuri di potong tangannya. Jika ia mencuri di bawah tiga dirham, maka ia tidak dipotong tangannya. Berarti ada jumlah tertentu yang menyebabkan seorang pencuri mendapatkan hukuman potong tangan. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Jangan dipotong tangan seorang pencuri kecuali pada pencurian seperempat dinar ke atas." (muttafaqun 'alaihi. Dengan lafadh Muslim).

Sedangkan dalam riwayat Bukhari dengan lafadh sebagai berikut: "Dipotong tangan seorang pencuri pada pencurian seperempat dinar ke atas." (HR. Bukhari)
Seperempat dinar adalah tiga dirham, karena satu dinar adalah duabelas dirham. Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar yang juga dirkeluarkan oleh bukhari dan muslim disebutkan bahwa Rasulullah memotong tangan seorang pencuri yang mencuri sebuah tameng seharga tiga dirham: "Dari Ibnu Umar radliyallahu `anhuma bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam memotong tangan pada pencurian sebuah tameng seharga tiga dirham." (Muttafaqun `alaihi)

Seperti kita katakan tadi bahwa hukum ini dilaksanakan jika sudah sampai kasusnya pada pemerintah. Adapun jika belum sampai kasusnya pada pemerintah, maka dianjurkan untuk saling memaafkan dan tidak saling menuntut. Abu Majidah menceritakan: Pernah pada suatu hari aku duduk bersama Abdullah bin Mas'ud radliyallahu `anhu, maka beliau pun berkata: Aku ingat orang pertama yang dipotong tangannya oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Waktu itu didatangkan seorang pencuri kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Lalu beliau pun memerintahkan untuk dipotong tangannya. Aku melihat wajah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sepertinya memendam kekecewaan. Maka para shahabat pun berkata: "Wahai Rasulullah, sepertinya engkau tidak suka orang itu dipotong tangannya?" Maka beliau pun bersabda: "Apa yang menghalangiku untuk memotongnya?" Kemudian beliau bersabda: "Janganlah kalian menjadi pendukung-pendukung setan terhadap saudaramu! Sesungguhnya tidak pantas bagi seorang imam jika telah sampai kepadanya hukum had kecuali harus menegakkannya. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf dan cinta pada pemaaf. Maka saling memaafkanlah kalian dan saling memaklumi. Bukankah kalian suka kalau Allah mengampuni kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (HR. Ahmad, Al-Hakim dan Baihaqi. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah 4 / 181).

Demikianlah kasih sayang Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang diutus oleh Allah yang Maha Penyayang untuk menebarkan kasih sayang kepada seluruh alam. Kemudian mengenai hukum cambuk dan hukum rajam bagi para pezina.
Apakah ini kalian anggap menghalangi kebebasanmu dalam bergaul ? Kalau kalian cerdas dan tidak sempit pandangan, kalian akan melihat bahwa hukum ini menjaga dan melindungi istrimu, anak perempuanmu, bibimu, saudara perempuanmu dan seterusnya. Bukankah ini rahmat dan kebaikan bagimu?
Pernah seorang pemuda datang kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam meminta ijin untuk berzina. Maka dengan sabar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menerangkan kepadanya cara berfikir yang benar: "Bagaimana pendapatmu kalau itu terjadi pada ibumu?" Anak itu menjawab: " Ayah dan ibuku sebagai jaminan! aku tidak akan ridla." "Bagaimana pendapatmu kalau itu terjadi pada istrimu?" Anak muda itu menjawab: "Ayah dan ibuku sebagai jaminan! aku tidak akan ridla." Demikian seterusnya Beliau menanyakan bagaimana kalau terjadi perzinaan itu pada keluarganya, anak perempuannya, kakak perempuannya, bibinya, ternyata dia tidak ridla. Maka beliaupun bersabda: "Kalau begitu orang lain pun tidak ridla perzinaan itu terjadi pada ibu-ibu mereka, istri-istri mereka, anak-anak perempuan mereka, saudara-saudara perempuan mereka, atau pun bibi-bibi mereka."

Inilah hikmah ditegakkannya hukum bagi para pezina dengan cambuk atau rajam. Menjaga istri-istri kita, anak-anak perempuan kita, ibu-ibu kita, saudara-saudara perempuan kita, bibi-bibi kita, dan seterusnya. Di samping itu juga penerapannya tidak sembarangan, harus didatangkan empat saksi untuk ditegakkannya hukum ini. Dan saksi-saksi itu harus mengetahui betul kejadiannya. Bahkan harus yakin betul kalau "timba telah masuk ke dalam sumurnya". Adapun dugaan, prasangka, atau melihatnya berpelukan, berciuman dan lain-lain belum bisa diterima sebagai saksi sampai ia yakin betul bahwa "timba telah masuk ke dalam sumurnya".

Empat saksi dalam keadaan yang seperti ini sangat susah didapat. Keadaan seperti ini tidak akan didapat kecuali pada beberapa kemungkinan:
Kemungkinan pertama adalah seorang yang datang mengakui bahwa dirinya telah berzina. Ini pun Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berusaha untuk memberikan kesempatan kalau dia mau mencabut ucapannya kembali sebagaimana dalam riwayat berikut: Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu bahwa datang seseorang dari kaum Muslimin kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, sedang beliau berada di masjid. Orang itu memanggil Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan berkata: "Wahai Rasulullah, aku telah berzina." Rasulullah pun memalingkan wajahnya. Kemudian orang itu bergeser ke hadapan muka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sambil berkata kembali: "Wahai Rasulullah, sungguh aku telah berzina."

Beliau pun berpaling kembali ke arah lain. Dan orang itu pun kembali mengikuti ke hadapan muka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan mengucapkan kembali ucapannya, demikian sampai empat kali. Setelah empat kali orang itu mempersaksikan atas dirinya dengan zina, Rasulullah memanggilnya dan bersabda: "Apakah engkau gila?" Orang itu menjawab: "Tidak." Beliau berkata lagi: "Apakah engkau seorang yang muhsan ?" Orang itu menjawab: "Ya." Maka Nabi pun memerintahkan kepada kaum Muslimin: "Pergilah kalian membawa orang ini dan rajamlah ia." (HR. Muttafaqun `alaih)

Dalam riwayat Bukhari, orang tersebut ketika dirajam sempat lari. Yaitu pada saat mulai terasa batu-batu itu menyakiti tubuhnya.
Namun orang-orang mengejarnya dan melanjutkan hukuman rajam sampai matinya. Ketika disampaikan kejadian larinya orang tersebut, Rasulullah bersabda: "Tidakkah kalian biarkan orang itu lari. Barangkali orang itu bertaubat kepada Allah dan Allah menerima taubatnya." Dalam riwayat lain, beliau bersabda: "Mengapa kalian tidak membawanya kembali kemari." (HR. Abu Dawud)

Oleh karena itu, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad menyatakan: Bolehnya seorang yang sudah mengaku berzina mencabut kembali pernyataann
ya dan jika orang tersebut lari tidak dikejar, semoga dia mau ruju' dan mencabut kembali ucapannya. Sekali lagi ini adalah khusus bagi yang datang mempersaksikan dirinya bahwa ia telah berzina. Inilah kasih sayang Islam kepada manusia. Tidak sekejam apa yang digambarkan oleh orang-orang kafir dan munafiqin

Kemungkinan kedua adalah seorang yang sangat biadab, berzina di tempat terbuka dan menjadi tontonan manusia tanpa merasa malu apalagi merasa berdosa. Atau bahkan -- maaf-maaf -- menjadi pemain dalam adegan-adegan porno didepan para penonton yang membayarnya. Sungguh fitrah kita pun ingin merajam orang yang seperti ini sebelum kita mengerti hukum rajam. Atau kemungkinan ketiga terbukti dengan kehamilan. Berkata Umar bin Khattab dalam khutbahnya: "…Sesungguhnya rajam itu adalah hak di dalam kitab Allah bagi orang yang berzina jika ia seorang yang muhsan, baik ia laki-laki maupun perempuan jika telah tegak bukti-bukti (saksi-saksi). Atau adanya kehamilan, atau ia mempersaksikan dirinya dengan zina." (Muttafaqun `alaih).
RAHMAT KEPADA HEWAN
Kepada hewan sekali pun Islam tetap mengajarkan untuk memberikan kasih sayangnya.
Dalam memelihara kita harus memberinya makan yang cukup. Dalam menunggangi kita dilarang memberikan beban yang terlalu berat. Dalam menyembelih kita harus menggunakan pisau yang tajam dan di tempat yang langsung mematikan, yaitu di lehernya. Dan seterusnya.

Pernah suatu hari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memasuki perkampungan kaum Anshar. Kemudian beliau masuk ke suatu tembok kebun salah seorang dari mereka. Tiba-tiba beliau melihat seekor unta yang kurus. Ketika melihat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, unta itu menangis, merintih dan meneteskan air mata. Maka beliau pun mendekatinya lalu mengusap perutnya sampai ke punuknya dan ekornya. Unta itu pun tenang kembali. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Siapa penggembala unta ini?"
Atau dalam riwayat lain beliau bersabda: "Siapa pemilik unta ini?" Maka datanglah seorang pemuda dari Anshar, kemudian berkata: "Itu milikku ya Rasulullah." Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berkata: "Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam memelihara ternak yang telah Allah berikan kepadamu itu? Sesungguhnya ia mengeluh kepadaku bahwa engkau melaparkan dan melelahkannya."

Yakni beliau menegur si pemilik unta tersebut karena dia kurang dalam memberi makan, tetapi mempekerjakannya dengan beban yang terlalu berat. Maka beliau menegurnya dengan ucapan: "Tidakkah kamu takut kepada Allah." Ini mengandung ancaman bagi orang yang menyiksa hewan peliharaannya. Bukankah ini suatu rahmat dan kasih sayang yang besar.

PENUTUP

Demikianlah apa yang bisa saya tulis tentang kasih sayang dan rahmat Islam kepada seluruh manusia. Mudah-mudahan Allah menambahkan kepada kita dan para pembaca sekalian keilmuan dan keimanan. Amin.
Wallahu a`lam bis-shawab.

MARAJI':
1). Tafsirul Adhim, Ibnu Katsir, cet. Darus Salam, tahun 1413 H / 1992 M.

2). Fathul Bari, Ibnu Hajar, cet. Darul Fikr, tahun 1414 H / 1992 M.

3). Shahih Muslim dengan Syarah Imam Nawawi, Muslim bin Hajjaj, cet. Darul Ma'rifah, tahun 1414 H / 1994 M.

4). Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, Syaikh Al-Albani, cet. Maktabah Al-Ma'arif, tahun 1415 H / 1995 M.

5). Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Imam Ash-Shan`ani, cet. Darul Kitab, th. 1414 H / 1994 M.

6). Al-Hilm, Al-Hafidh Ibnu Abi Dunya dengan tahqiq Majdi Sayyid Ibrahim, cet. Maktabatul Qur'an, tanpa tahun.

7). Nurul Yaqin, Syaikh Muhammad Al-Khudari, cet. Darul Fikr, tahun 1414 H / 1994.

8). An-Nihayah fi Gharibil Hadits, Ibnu Atsir, cet. Darul Fikr, tahun 1399 H / 1979.

(Dikutip dari tulisan al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed, judul asli Islam sebagai Rahmat untuk Seluruh Alam,. Url sumber http://www.geocities.com/dmgto/mabhats201/rahmatislam.htm
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=54

Menepati Janji

Menepati Janji
Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad AbdulMu’thi, Lc.
Fiqh, 06 Oktober 2007, 05:39:53

Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir.

Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.

Sungguh Al-Qur`an telah memerhatikan permasalahan janji ini dan memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا ...

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….” (An-Nahl: 91)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً

“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)

Demikianlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji hamba dengan hamba, dan janji atas dirinya sendiri seperti nadzar. Masuk pula dalam hal ini apa yang telah dijadikan sebagai persyaratan dalam akad pernikahan, akad jual beli, perdamaian, gencatan senjata, dan semisalnya.

Para Rasul Menepati Janji

Seperti yang telah dijelaskan bahwa menepati janji merupakan akhlak terpuji yang terdepan. Maka tidak heran jika para rasul yang merupakan panutan umat dan penyampai risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia, menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia ini. Inilah Ibrahim ‘alaihissalam, bapak para nabi dan imam ahlut tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyifatinya sebagai orang yang menepati janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِبْرَاهِيْمَ الَّذِي وَفَّى

“Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (An-Najm: 37)

Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah melaksanakan seluruh apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ujikan dan perintahkan kepadanya dari syariat, pokok-pokok agama, serta cabang-cabangnya.

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Nabi Ismail ‘alaihissalam:

إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ

“Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya” (Maryam: 54)

Yakni tidaklah ia menjanjikan sesuatu kecuali dia tepati. Hal ini mencakup janji yang ia ikrarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun kepada manusia. Oleh karena itu, tatkala ia berjanji atas dirinya untuk sabar disembelih oleh bapaknya –karena perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala– ia pun menepatinya dengan menyerahkan dirinya kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 822 dan 496)

Adapun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memperoleh bagian yang besar dalam permasalahan ini. Sebelum diutus oleh Allah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dijuluki sebagai seorang yang jujur lagi terpercaya. Maka tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi rasul, tidaklah perangai yang mulia ini kecuali semakin sempurna pada dirinya. Sehingga orang-orang kafir pun mengaguminya, terlebih mereka yang mengikuti dan beriman kepadanya.

Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun keenam Hijriah berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah beserta para shahabatnya. Waktu itu Makkah masih dikuasai musyrikin Quraisy. Ketika sampai di Al-Hudaibiyah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin dihadang oleh kaum musyrikin. Terjadilah di sana perundingan antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin. Disepakatilah butir-butir perjanjian yang di antaranya adalah gencatan senjata selama sepuluh tahun, tidak boleh saling menyerang, bahwa kaum muslimin tidak boleh umrah tahun ini tetapi tahun depan –di mana ini dirasakan sangat berat oleh kaum muslimin karena mereka harus membatalkan umrahnya–, dan kalau ada orang Makkah masuk Islam lantas pergi ke Madinah, maka dari pihak muslimin harus memulangkannya ke Makkah.

Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian tersebut, anak Suhail –juru runding orang Quraisy– masuk Islam dan ingin ikut bersama shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Suhail pun mengatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika anaknya tidak dipulangkan kembali, dia tidak akan menandatangani kesepakatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya menandatangani perjanjian tersebut dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan, dan muslimin harus membatalkan umrahnya. Namun di balik peristiwa itu justru kebaikan bagi kaum muslimin, di mana dakwah tersebar dan ada nafas untuk menyusun kembali kekuatan. Namun belumlah lama perjanjian itu berjalan, orang-orang kafir lah yang justru mengkhianatinya. Akibat pengkhianatan tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin pada peristiwa pembukaan kota Makkah (Fathu Makkah) sehingga mereka bertekuk lutut dan menyerah kepada kaum muslimin. Dengan demikian, jatuhlah markas komando musyrikin ke tangan kaum muslimin. Manusia pun masuk Islam dengan berbondong-bondong. Demikianlah di antara buah menepati janji: datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Zadul Ma’ad, 3/262)

Para Salaf dalam Menepati Janji

Dahulu ada seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama Anas bin An-Nadhr radhiyallahu ‘anhu. Dia amat menyesal karena tidak ikut perang Badr bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berjanji jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlihatkan kepadanya medan pertempuran bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melihat pengorbanan yang dilakukannya.

Ketika berkobar perang Uhud, dia berangkat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam perang ini kaum muslimin terpukul mundur dan sebagian lari dari medan pertempuran. Di sinilah terbukti janji Anas. Dia terus maju menerobos barisan musuh sehingga terbunuh. Ketika perang telah usai dan kaum muslimin mencari para syuhada Uhud, didapati pada tubuh Anas bin An-Nadhr ada 80 lebih tusukan pedang, tombak, dan panah, sehingga tidak ada yang bisa mengenalinya kecuali saudarinya. Lalu turunlah ayat Al-Qur`an:

مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيْلاً

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23) [Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Ahzab, 3/484 dan Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 3200]

Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Dahulu kami –berjumlah– tujuh atau delapan atau sembilan orang di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda: “Tidakkah kalian berbai’at kepada Rasulullah?” Maka kami bentangkan tangan kami. Lantas ada yang berkata: “Kami telah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu atas apa kami membaiat anda?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُوا الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وَتَسْمَعُوا وَتُطِيْعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً - وَلاَ تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا

“Kalian menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya sedikitpun, kalian menegakkan shalat lima waktu, mendengar dan taat (kepada penguasa) –dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat yang samar– (lalu berkata), dan kalian tidak meminta sesuatu pun kepada manusia.”

‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sungguh aku melihat cambuk sebagian orang-orang itu jatuh namun mereka tidak meminta kepada seorang pun untuk mengambilkannya.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2334)

Seperti itulah besarnya permasalahan menepati janji di mata generasi terbaik umat ini. Karena mereka yakin bahwa janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tiada kalimat yang terucap kecuali di sisinya ada malaikat pencatat. Intinya, keimanan yang benar itulah yang akan mewariskan segala tingkah laku dan perangai terpuji.

Hal ini sangat berbeda dengan orang yang hanya bisa memberi janji-janji manis yang tidak pernah ada kenyataannya. Tidakkah mereka takut kepada adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala karena ingkar janji? Tidakkah mereka tahu bahwa ingkar janji adalah akhlak Iblis dan para munafikin? Ya. Seruan ini mungkin bisa didengar, tetapi bagaimana bisa mendengar orang yang telah mati hatinya dan dikuasai oleh setannya.

Iblis Menebar Janji Manis

Semenjak Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihissalam dan memuliakannya di hadapan para malaikat, muncullah kedengkian dan menyalalah api permusuhan pada diri Iblis. Terlebih lagi ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutuknya dan mengusirnya dari surga. Iblis berikrar akan menyesatkan manusia dengan mendatangi mereka dari berbagai arah sehingga dia mendapat teman yang banyak di neraka nanti. Berbagai cara licik dilakukan oleh Iblis. Di antaranya dengan membisikkan pada hati manusia janji-janji palsu dan angan-angan yang hampa.

Pada waktu perang Badr, Iblis datang bersama para setan pasukannya dengan membawa bendera. Ia menjelma seperti seorang lelaki dari Bani Mudlaj dalam bentuk seseorang yang bernama Suraqah bin Malik bin Ju’syum. Ia berkata kepada kaum musyrikin: “Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas kalian pada hari ini. Dan aku ini sesungguhnya pelindung kalian.” Tatkala dua pasukan siap bertempur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam debu lalu menaburkannya pada wajah pasukan musyrikin sehingga mereka lari ke belakang. Kemudian malaikat Jibril mendatangi Iblis. Ketika Iblis melihat Jibril dan waktu itu tangannya ada pada genggaman seorang lelaki, ia berusaha melepaskannya kemudian lari terbirit-birit beserta pasukannya. Lelaki tadi berkata: “Wahai Suraqah, bukankah kamu telah menyatakan pembelaan terhadap kami?” Iblis berkata: “Aku melihat apa yang tidak kamu lihat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/330 dan Ar-Rahiq Al-Makhtum hal. 304)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذْ زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَقَالَ لاَ غَالِبَ لَكُمُ الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَإِنِّي جَارٌ لَكُمْ فَلَمَّا تَرَاءَتِ الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَقَالَ إِنِّي بَرِيْءٌ مِنْكُمْ إِنِّي أَرَى مَا لاَ تَرَوْنَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ وَاللهُ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: ‘Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas kalian pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.’ Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu berbalik ke belakang seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian; sesungguhnya aku melihat apa yang kalian tidak melihatnya; sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (Al-Anfal: 48)

Tanda-tanda Kemunafikan

Menepati janji adalah bagian dari iman. Barangsiapa yang tidak menjaga perjanjiannya maka tidak ada agama baginya. Maka seperti itu pula ingkar janji, termasuk tanda kemunafikan dan bukti atas adanya makar yang jelek serta rusaknya hati.

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

“Tanda-tanda munafik ada tiga; apabila berbicara dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Khishalul Munafiq no. 107 dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Seorang mukmin tampil beda dengan munafik. Apabila dia berbicara, jujur ucapannya. Bila telah berjanji ia menepatinya, dan jika dipercaya untuk menjaga ucapan, harta, dan hak, maka ia menjaganya. Sesungguhnya menepati janji adalah barometer yang dengannya diketahui orang yang baik dari yang jelek, dan orang yang mulia dari yang rendahan. (Lihat Khuthab Mukhtarah, hal. 382-383)

Menjaga Ikatan Perjanjian Walaupun Terhadap Orang Kafir

Orang yang membaca sirah (sejarah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi Salafush Shalih akan mendapati bahwa menepati janji dan ikatan perjanjian tidak terbatas hanya sesama kaum muslimin. Bahkan terhadap lawan pun demikian. Sekian banyak perjanjian yang telah diikat antara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan musyrikin, tetap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jaga, sampai mereka sendiri yang memutus tali perjanjian itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِلاَّ الَّذِيْنَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوْكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ

“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 4)

Dahulu antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhuma ada ikatan perjanjian (gencatan senjata) dengan bangsa Romawi. Suatu waktu Mu’awiyah bermaksud menyerang mereka di mana dia tergesa-gesa satu bulan (sebelum habis masa perjanjiannya). Tiba-tiba datang seorang lelaki mengendarai kudanya dari negeri Romawi seraya mengatakan: “Tepatilah janji dan jangan berkhianat!” Ternyata dia adalah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Amr bin ‘Absah. Mu’awiyah lalu memanggilnya. Maka ‘Amr berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa antara ia dengan suatu kaum ada perjanjian maka tidak halal baginya untuk melepas ikatannya sampai berlalu masanya atau mengembalikan perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.” Akhirnya Mu’awiyah menarik diri beserta pasukannya. (Lihat Syu’abul Iman no. 4049-4050 dan Ash-Shahihah 5/472 hadits no. 2357)

Kalau hal itu bisa dilakukan terhadap kaum musyrikin, tentu lebih-lebih lagi terhadap kaum muslimin, kecuali perjanjian yang maksiat, maka tidak boleh dilaksanakan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Dan kaum muslimin (harus menjaga) atas persyaratan/perjanjian mereka, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang dihalalkan atau menghalalkan yang haram.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1352, lihat Irwa`ul Ghalil no. 1303)

Menunaikan Nadzar dan Membayar Hutang

Di antara bentuk menunaikan janji adalah membayar hutang apabila jatuh temponya dan tiba waktu yang telah ditentukan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ

“Barangsiapa yang mengambil harta manusia dalam keadaan ingin menunaikannya niscaya Allah akan (memudahkan untuk) menunaikannya. Dan barangsiapa mengambilnya dalam keadaan ingin merusaknya, niscaya Allah akan melenyapkannya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, lihat Faidhul Qadir, 6/54)

Adapun menunaikan nadzar, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْرًا

“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (Al-Insan: 7)

Janji yang Paling Berhak Untuk Dipenuhi

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوَفُّوا بِهَا مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ

“Syarat/janji yang paling berhak untuk ditepati adalah syarat yang kalian halalkan dengannya kemaluan.” (HR. Al-Bukhari no. 2721)

Yakni syarat/janji yang paling berhak untuk dipenuhi adalah yang berkaitan dengan akad nikah seperti mahar dan sesuatu yang tidak melanggar aturan agama. Jika persyaratan tadi bertentangan dengan syariat maka tidak boleh dilakukan, seperti seorang wanita yang mau dinikahi dengan syarat ia (laki-lakinya) menceraikan isterinya terlebih dahulu. (Lihat Fathul Bari, 9/218)

Larangan Ingkar Janji terhadap Anak Kecil

Sikap mengingkari janji terhadap siapapun tidak dibenarkan agama Islam, meskipun terhadap anak kecil. Jika ini yang terjadi, disadari atau tidak, kita telah mengajarkan kejelekan dan menanamkan pada diri mereka perangai yang tercela.

Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu telah meriwayatkan hadits dari shahabat Abdullah bin ‘Amir radhiyallahu 'anhuma dia berkata: “Pada suatu hari ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di tengah-tengah kami, (tiba-tiba) ibuku memanggilku dengan mengatakan: ‘Hai kemari, aku akan beri kamu sesuatu!’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada ibuku: ‘Apa yang akan kamu berikan kepadanya?’ Ibuku menjawab: ‘Kurma.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ

“Ketahuilah, seandainya kamu tidak memberinya sesuatu maka ditulis bagimu kedustaan.” (HR. Abu Dawud bab At-Tasydid fil Kadzib no. 498, lihat Ash-Shahihah no. 748)

Di dalam hadits ini ada faedah bahwa apa yang biasa diucapkan oleh manusia untuk anak-anak kecil ketika menangis seperti kalimat janji yang tidak ditepati atau menakut-nakuti dengan sesuatu yang tidak ada adalah diharamkan. (‘Aunul Ma’bud, 13/ 229)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

لاَ يَصْلُحُ الْكَذِبُ فِي جِدٍّ وَلاَ هَزْلٍ، وَلاَ أَنْ يَعِدَ أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ شَيْئًا ثُمَّ لاَ يُنْجِزُ لَهُ

“Kedustaan tidak dibolehkan baik serius atau main-main, dan tidak boleh salah seorang kalian menjanjikan anaknya dengan sesuatu lalu tidak menepatinya.” (Shahih Al-Adabul Mufrad no. 300)

Larangan Menunaikan Janji Yang Maksiat

Menunaikan janji ada pada perkara yang baik dan maslahat, serta sesuatu yang sifatnya mubah/boleh menurut syariat. Adapun jika seorang memberikan janji dengan suatu kemaksiatan atau kemudaratan, atau mengikat perjanjian yang mengandung bentuk kejelekan dan permusuhan, maka menepati janji pada perkara-perkara ini bukanlah sifat orang-orang yang beriman, dan wajib untuk tidak menunaikannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ

“Tidak boleh menepati nadzar dalam maksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahihul Jami’ no. 7574)

Surga Firdaus bagi yang Menepati Janji

Tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman lagi bersih. Dan surga bertingkat-tingkat keutamaannya, sedangkan yang tertinggi adalah Firdaus. Darinya memancar sungai-sungai yang ada dalam surga dan di atasnya adalah ‘Arsy Ar-Rahman. Tempat kemuliaan yang besar ini diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang baik, di antaranya adalah menepati janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mu`minun: 8)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Jagalah enam perkara dari kalian niscaya aku jamin bagi kalian surga; jujurlah bila berbicara, tepatilah jika berjanji, tunaikanlah apabila kalian diberi amanah, jagalah kemaluan, tundukkanlah pandangan dan tahanlah tangan-tangan kalian (dari sesuatu yang dilarang).” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Ash-Shahihah no. 1470)

Ingkar Janji Mendatangkan Kutukan dan Menjerumuskan ke dalam Siksa

Siapapun orangnya yang masih sehat fitrahnya tidak akan suka kepada orang yang ingkar janji. Karenanya, dia akan dijauhi di tengah-tengah masyarakat dan tidak ada nilainya di mata mereka.

Namun anehnya ternyata masih banyak orang yang jika berjanji hanya sekedar igauan belaka. Dia tidak peduli dengan kehinaan yang disandangnya, karena orang yang punya mental suka dengan kerendahan tidak akan risih dengan kotoran yang menyelimuti dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللهِ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُوْنَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لاَ يَتَّقُوْنَ

“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 55-56)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ عِنْدَ إِسْتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Bagi setiap pengkhianat (akan ditancapkan) bendera pada pantatnya di hari kiamat.” (HR. Muslim bab Tahrimul Ghadr no. 1738 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Khatimah

Demikianlah indahnya wajah Islam yang menjunjung tinggi etika dan adab pergaulan. Ini sangat berbeda dengan apa yang disaksikan oleh dunia saat ini berupa kecongkakan Yahudi, Nasrani, dan musyrikin serta pengkhianatan mereka terhadap kaum muslimin.

Saat menapaki sejarah, kita bisa menyaksikan, para pengkhianat perjanjian akan berakhir dengan kemalangan. Tentunya tidak lupa dari ingatan kita tentang nasib tiga kelompok Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizhah, Bani An-Nadhir, dan Bani Qainuqa’ yang berkhianat setelah mengikat tali perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berujung dengan kehinaan. Di antara mereka ada yang dibunuh, diusir, dan ditawan.

Mungkin watak tercela itu sangat melekat pada diri mereka karena tidak adanya keimanan yang benar. Tetapi bagi orang-orang yang mendambakan kebahagiaan hakiki dan ditolong atas musuh-musuhnya, mereka menjadikan etika yang mulia sebagai salah satu modal dari sekian modal demi tegaknya kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan terwujudnya harapan. Yakinlah, Islam akan senantiasa tinggi, dan tiada yang lebih tinggi darinya. Wallahu a’lam.

Sumber:
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=539
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1206

Bersabarlah, jangan sedih wahai saudaraku

Bersabarlah, jangan sedih wahai saudaraku
Ahad, 17 April 2005 - 21:02:27 :: kategori Aqidah
Penulis: Bulletin Al Wala wal Bara' Edisi XIV/03/
.: :.
Senang, bahagia, suka cita, sedih, kecewa dan duka cita adalah sesuatu yang biasa dialami manusia. Ketika mendapatkan sesuatu yang menggembirakan dari kesenangan-kesenangan duniawi maka dia akan senang dan gembira. Sebaliknya ketika tidak mendapatkan apa yang diinginkan maka dia merasa sedih dan kecewa bahkan kadang-kadang sampai putus asa.

Akan tetapi sebenarnya bagi seorang mukmin, semua perkaranya adalah baik. Hal ini diterangkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
"Sungguh menakjubkan perkaranya orang mukmin. Sesungguhnya semua perkaranya adalah baik dan tidaklah hal ini dimiliki oleh seorangpun kecuali oleh orang mukmin. Jika dia diberi kenikmatan/kesenangan, dia bersyukur maka jadilah ini sebagai kebaikan baginya. Sebaliknya jika dia ditimpa musibah (sesuatu yang tidak menyenangkan), dia bersabar, maka ini juga menjadi kebaikan baginya." (HR. Muslim no.2999 dari Shuhaib radhiyallahu 'anhu)

Kriteria Orang yang Paling Mulia

Sesungguhnya kesenangan duniawi seperti harta dan status sosial bukanlah ukuran bagi kemuliaan seseorang. Karena Allah Ta'ala memberikan dunia kepada orang yang dicintai dan orang yang tidak dicintai-Nya. Akan tetapi Allah akan memberikan agama ini hanya kepada orang yang dicintai-Nya. Sehingga ukuran/patokan akan kemuliaan seseorang adalah derajat ketakwaannya. Semakin bertakwa maka dia semakin mulia di sisi Allah.

Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Al-Hujuraat:13)

Jangan Sedih ketika Tidak Dapat Dunia

Wahai saudaraku, ingatlah bahwa seluruh manusia telah Allah tentukan rizkinya -termasuk juga jodohnya-, ajalnya, amalannya, bahagia atau pun sengsaranya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُوْنُ فِيْ ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُوْنُ فِيْ ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
"Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (air mani) kemudian berbentuk segumpal darah dalam waktu yang sama lalu menjadi segumpal daging dalam waktu yang sama pula. Kemudian diutus seorang malaikat kepadanya lalu ditiupkan ruh padanya dan diperintahkan dengan empat kalimat/perkara: ditentukan rizkinya, ajalnya, amalannya, sengsara atau bahagianya." (HR. Al-Bukhariy no.3208 dan Muslim no.2643 dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu)

Tidaklah sesuatu menimpa pada kita kecuali telah Allah taqdirkan. Allah Ta'ala berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ(22) لِكَيْ لاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ(23) الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ(24)
"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Al-Hadiid:22-24)

Kalau kita merasa betapa sulitnya mencari penghidupan dan dalam menjalani hidup ini, maka ingatlah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
لَيْسَ مِنْ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى الْجَنَّةِ إِلاَّ قَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ وَلَا عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى النَّارِ إِلاَّ قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ لاَ يَسْتَبْطِئَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ رِزْقُهُ أَنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ أَلْقَى فِيْ رَوْعِيْ أَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَنْ يَخْرُجَ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقُهُ فَاتَّقُوا اللهَ أَيُّهَا النَّاسُ وَاَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ فَإِنْ اسْتَبْطَأَ أَحَدٌ مِنْكُمْ رِزْقُهُ فَلاَ يَطْلُبْهُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُنَالُ فَضْلُهُ بِمَعْصِيَةٍ
"Tiada suatu amalan pun yang mendekatkan ke surga kecuali aku telah perintahkan kalian dengannya dan tiada suatu amalan pun yang mendekatkan ke neraka kecuali aku telah larang kalian darinya. Sungguh salah seorang di antara kalian tidak akan lambat rizkinya. Sesungguhnya Jibril telah menyampaikan pada hatiku bahwa salah seorang dari kalian tidak akan keluar dari dunia (meninggal dunia) sampai disempurnakan rizkinya. Maka bertakwalah kepada Allah wahai manusia dan perbaguslah dalam mencari rizki. Maka apabila salah seorang di antara kalian merasa/menganggap bahwa rizkinya lambat maka janganlah mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah karena sesungguhnya keutamaan/karunia Allah tidak akan didapat dengan maksiat." (Shahih, HR. Al-Hakim no.2136 dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu)

Maka berusahalah beramal/beribadah dengan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan jangan membuat perkara baru dalam agama (baca:bid'ah).

Dan berusahalah mencari rizki dengan cara yang halal serta hindari sejauh-jauhnya hal-hal yang diharamkan.

Hendaklah Orang yang Mampu Membantu

Hendaklah bagi orang yang mempunyai kelebihan harta ataupun yang punya kedudukan agar membantu saudaranya yang kurang mampu dan yang mengalami kesulitan. Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (Al-Maa`idah:2)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُؤْمِنًا سَتَرَهُ اللهُ فِيْ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ
"Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan hilangkan darinya satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan orang yang mengalami kesulitan maka Allah akan mudahkan baginya di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut mau menolong saudaranya." (HR. Muslim no.2699 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Berdo'a ketika Sedih

Jika kita merasa sedih karena sesuatu menimpa kita seperti kehilangan harta, sulit mencari pekerjaan, kematian salah seorang keluarga kita, tidak mendapatkan sesuatu yang kita idam-idamkan, jodoh tak kunjung datang ataupun yang lainnya, maka ucapkanlah do'a berikut yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَا أَصَابَ أَحَدًا قَط هَمٌّ وَلاَ حُزْنٌ فَقَالَ: (اللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ ابْنُ عَبْدِكَ ابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمِّيْ) إلا أذهب الله همه وحزنه وأبدله مكانه فرجا قال فقيل يا رسول الله ألا نتعلمها فقال بلى ينبغي لمن سمعها أن يتعلمها
"Tidaklah seseorang ditimpa suatu kegundahan maupun kesedihan lalu dia berdo'a: "Ya Allah, sesungguhnya saya adalah hamba-Mu, putra hamba laki-laki-Mu, putra hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku ada di Tangan-Mu, telah berlalu padaku hukum-Mu, adil ketentuan-Mu untukku. Saya meminta kepada-Mu dengan seluruh Nama yang Engkau miliki, yang Engkau menamakannya untuk Diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu. Jadikanlah Al-Qur`an sebagai musim semi (penyejuk) hatiku dan cahaya dadaku, pengusir kesedihanku serta penghilang kegundahanku." kecuali akan Allah hilangkan kegundahan dan kesedihannya dan akan diganti dengan diberikan jalan keluar dan kegembiraan." Tiba-tiba ada yang bertanya: "Ya Rasulullah, tidakkah kami ajarkan do'a ini (kepada orang lain)? Maka Rasulullah menjawab: "Bahkan selayaknya bagi siapa saja yang mendengarnya agar mengajarkannya (kepada yang lain)." (HR. Ahmad no.3712 dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albaniy)

Juga do'a berikut ini:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وِالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari gundah gulana, sedih, lemah, malas, kikir, penakut, terlilit hutang dan dari tekanan/penindasan orang lain." (HR. Al-Bukhariy 7/158 dari Anas radhiyallahu 'anhu)

Ilmu adalah Pengganti Segala Kelezatan

Di antara hal yang bisa menghibur seseorang ketika mengalami kesepian atau ketika sedang dilanda kesedihan adalah menuntut ilmu dan senantiasa bersama ilmu.
Berkata Al-Imam Al-Mawardiy: "Ilmu adalah pengganti dari segala kelezatan dan mencukupi dari segala kesenangan…. Barangsiapa yang menyendiri dengan ilmu maka kesendiriannya itu tidak menjadikan dia sepi. Dan barangsiapa yang menghibur diri dengan kitab-kitab maka dia akan mendapat kesenangan…. Maka tidak ada teman ngobrol sebaik ilmu dan tidak ada sifat yang akan menolong pemiliknya seperti sifat al-hilm (sabar dan tidak terburu-buru)." (Adabud Dunya wad Diin hal.92, dari Aadaabu Thaalibil 'Ilmi hal.71)

Duhai kiranya kita dapat mengambil manfaat dari ilmu yang kita miliki sehingga kita tidak akan merasa kesepian walaupun kita sendirian di malam yang sunyi tetapi ilmu itulah yang setia menemani.

Contoh Orang-orang yang Sabar

Cobaan yang menimpa kita kadang-kadang menjadikan kita bersedih tetapi hendaklah kesedihan itu dihadapi dengan kesabaran dan menyerahkan semua permasalahan kepada Allah, supaya Dia menghilangkan kesedihan tersebut dan menggantikannya dengan kegembiraan.

Allah berfirman mengisahkan tentang Nabi Ya'qub:
وَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَاأَسَفَى عَلَى يُوسُفَ وَابْيَضَّتْ عَيْنَاهُ مِنَ الْحُزْنِ فَهُوَ كَظِيمٌ(84) قَالُوا تَاللَّهِ تَفْتَأُ تَذْكُرُ يُوسُفَ حَتَّى تَكُونَ حَرَضًا أَوْ تَكُونَ مِنَ الْهَالِكِينَ(85) قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ(86)
"Dan Ya`qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). Mereka berkata: "Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa." Ya`qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tiada mengetahuinya." (Yuusuf:84-86)

Allah juga berfirman mengisahkan tentang Maryam:
فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا(22) فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَالَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا(23) فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلاَّ تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا(24) وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا(25)
"Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan." Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu." (Maryam:22-25)

Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita sebagai orang-orang yang sabar dan istiqamah dalam menjalankan syari'at-Nya, amin. Wallaahu A'lam.

(Dikutip dari Bulletin Al Wala' wa Bara', Edisi ke-4 Tahun ke-3 / 17 Desember 2004 M / 05 Dzul Qo'dah 1425 H . Judul asli Janganlah Bersedih Wahai Saudaraku. Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung. Url sumber : http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=4&th=3)