Rabu, 09 September 2009

PRIBADI YANG STABIL

Self Promotion (3)
Jumat, 10/07/2009 10:04 WIB Cetak | Kirim | RSS Dalam masyarakat muslim, manusia tidak boleh menganggap diri mereka suci dibanding yang lain.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Kami ingin memahami mengapa manusia tidak boleh menganggap diri mereka suci dalam masyarakat muslim, tidak boleh mencalonkan diri mereka untuk memangku jabatan, dan tidak boleh mempromosikan dirinya agar mereka dipilih untuk duduk di majelis syura, menjadi pemimpin tertinggi atau penguasa…

Sesungguhnya manusia di tengah masyarakat muslim tidak membutuhkan sedikit pun dari hal-hal tersebut untuk memperlihatkan keunggulan dan kapabilitas mereka. Sebagaimana jabatan dan kewenangan di tengah masyarakat ini merupakan beban berat yang tidak menggoda seorang pun untuk memperebutkannya—kecuali untuk mencari pahala dengan menjalankan kewajiban dan melakukan pengabdian yang besar demi mencari ridha Allah.

Dari sini, tidak ada yang meminta jabatan dan tugas selain orang-orang yang menjatuhkan harga dirinya demi jabatan karena ada kebutuhan (interest) dalam diri mereka. Mereka ini wajib dihalangi untuk memperoleh jabatan!

Tetapi, hakikat ini tidak dipahami kecuali dengan mengkaji perkembangan natural masyarakat Muslim, dan memahami watak keterbentukannya secara organisasional.

Sesungguhnya pergerakan merupakan unsur yang membentuk masyarakat tersebut, karena masyarakat muslim itu lahir dari pergerakan akidah Islam.

Pertama, akidah datang dari sumber Ilahi-nya yang terepresentasikan pada penjelasan verbal Rasul dan tindakannya—di masa kenabian, atau terefleksi pada dakwah para da’i yang menyampaikan apa yang datang dari Allah dan apa yang yang disampaikan oleh Rasul-Nya—sepanjang masa sesudah itu, lalu dakwah tersebut direspon oleh banyak orang yang siap menghadapi siksaan dan ujian dari jahiliyah yang berkuasa dan dominan di negeri dakwah.

Di antara mereka, ada yang termakan ujian lalu murtad, dan di antara mereka ada yang membenarkan janji Allah sehingga ia mengakhiri hidupnya sebagai syahid, dan di antara mereka ada yang berusia panjang hingga Allah menurunkan keputusan dengan haq antara dia dan kaumnya.

Mereka itulah orang-orang yang diberi kemenangan oleh Allah, dijadikan-Nya tabir bagi takdir-Nya, dan diberi-Nya kedudukan yang kuat di muka bumi guna mewujudkan janji-Nya untuk menolong dan memberi kedudukan yang kuat bagi orang yang menolong-Nya. Semua itu agar kerajaan Allah tegak di muka bumi—maksudnya untuk melaksanakan hukum Allah di muka bumi. Ia tidak punya andil sedikit pun dari kemenangan dan kedudukan yang kuat ini. Yang ada hanyalah pertolongan terhadap agama Allah dan penguatan poisisi rububiyyah Allah pada para hamba.

Mereka tidak membatasi agama ini agar berada dalam batas-batas negera tertentu; tidak pula pada batas-batas ras tertentu; dan tidak pula pada batas-batas kaum, atau warna kulit, atau bahasa, atau unsur apapun dari unsur-unsur manusia yang sifatnya ardhi (kebumian) yang rentan dan tidak bernilai itu! Mereka hanya bertolak dengan akidah rabbani ini untuk membebaskan “insan” seluruhnya di “muka bumi” seluruhnya dari penghambaan terhadap selain Allah; dan untuk mengangkat mereka dari penghambaan terhadap para thaghut, apapun dan siapapun thaghut tersebut!

Di tengah pergerakan untuk mengusung agama itu—dan kami telah menegaskan bahwa ia tidak berhenti pada pendirian negara Islam di suatu belahan bumi, dan tidak berhenti pada batas-batas geografis, bangsa, dan ras…Di tengah pergerakan tersebut kecakapan manusia teridentifikasi, dan kedudukan mereka di tengah masyarakat ditengarai. Identifikasi dan penengaraan penentuan ini berpijak pada kriteria-kriteria dan nilai-nilai keimanan.

Semua orang saling mengenal berdasarkan kriteria dan nilai tersebut. Yaitu dari kegigihan dalam jihad, takwa, keshalehan, ibadah, akhlak, kemampuan, dan kapabilitas. Seluruhnya merupakan nilai-nilai yang dituntut realitas, dimunculkan pergerakan, dikenal oleh masyarakat, dan mereka mengenal orang-orang yang menyandang nilai-nilai tersebut. Dari sini, para pelakunya tidak perlu mengatakan diri mereka bersih, dan tidak perlu meminta jabatan publik, atau dewan legislatif.

Di tengah masyarakat muslim yang tumbuh berkembang sedemikian rupa, dimana struktur keanggotaannya terbentuk melalui karakterisasi di tengah pergulatan pergerakan dengan nilai-nilai keimanan—seperti karakterisasi di tengah masyarakat muslim terhadap para senior dari kalangan Muhajirin dan Anshar, Ashabul-Badr, Ashab Bai’at Ridhwan, serta orang-orang yang telah berinfak dan berperang sebelum Fathu Makkah…kemudian masyarakat di dalamnya terus membentuk karakter dengan kegigihan perjuangan untuk menyuarakan Islam.

Di tengah masyarakat seperti itu, manusia tidak saling merugikan satu sama klain, dan tidak mengingkari kelebihan orang-orang yang telah terbentuk karakternya—meskipun terkadang kelemahan manusiawi mengalahkan mereka sehingga terbawa ambisi. Pada saat itu—dari satu sisi—orang-orang yang telah terbentuk karakternya itu tidak perlu untuk menyatakan diri bersih dan meminta jabatan publik, atau dewan legislatif dengan cara menyatakan diri sebagai orang bersih (self-promotion).
(http://www.eramuslim.com)

PRIBADI YANG STABIL

Self Promotion (2)
Kamis, 02/07/2009 15:21 WIB Cetak | Kirim | RSS Perintah menunaikan amanah kepada yang berhak dan memutuskan perkara di antara manusia dengan adil ini dikomentari dengan peringatan bahwa perintah tersebut merupakan sebagian dari nasihat dan arahan Allah.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Yusuf tidak meminta jabatan untuk kepentingan dirinya saat ia melihat sambutan baik raja terhadapnya. Ia hanya jeli dalam memilih waktu agar permintaannya dikabulkan, yaitu agar ia memikul kewajiban yang meletihkan, berat, dan berisi tugas yang besar pada masa-masa krisis yang paling sulit; dan agar dijadikan penanggungjawab logistik seluruh penduduk negeri, dan juga penduduk negeri-negeri tetangga selama tujuh tahun paceklik.

Jadi, ini bukan ‘durian runtuh’ yang diminta Yusuf untuk kepentingan dirinya. Karena siapapun tidak akan mengatakan bahwa menanggung makanan suatu bangsa yang lapar selama tujuh tahun berturut-turut itu merupakan ‘durian runtuh’. Ini tidak lain adalah tugas yang dihindari banyak orang, karena terkadang jaminannya adalah leher mereka. Kelaparan itu gelap mata. Terkadang massa yang lapar itu lebih merusak pada saat gelap mata dan gila.

Ada masalah pelik di sini. Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan (pemegang kunci bumi) negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Tidakkah perkataan Yusuf ini mengandung dua perkara yang dilarang dalam sistem Islami?
Pertama, meminta jabatan yang dilarang berdasarkan nash dari Rasulullah saw, “Demi Allah, kami tidak memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya (atau berambisi terhadapnya).” (Muttafaq ‘Alaih)

Kedua, menganggap diri baik atau bersih, dan itu dilarang berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.” (an-Najm [53]: 32)

Kami tidak ingin menjawab bahwa kedua kaidah ini ditetapkan dalam sistem Islam di zaman Rasulullah saw, dan bahwa keduanya belum ditetapkan pada zaman Yusuf as, dimana masalah-masalah organisasional dalam agama ini bukan merupakan satu kesatuan seperti prinsip-prinsip akidah yang ajeg dalam setiap risalah di tangan setiap Rasul.

Kami tidak ingin menjawab demikian, meskipun beralasan. Kami melihat bahwa perkara dalam masalah ini terlalu dalam dan terlalu luas cakrawalanya untuk disandarkan pada alasan ini. Kami berpendapat bahwa perkara ini bertumpu pada pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dipahami untuk memahami metode istidlal (konklusi) dari ushul dan nash, dan untuk memberi ushul fiqh dan hukum-hukum fikih itu watak pergerakan yang orisinil dalam entitasnya, yang selama ini telah padam dan beku di dalam akal para ulama fikih dan rasionalitas fikih seluruhnya di masa-masa kebekuan dan kejumudan!

Sesungguhnya fiqih Islam tidak muncul di ruang kosong, sebagaimana ia tidak hidup dan tidak dipahami di ruang kosong! Fikih Islam lahir di tengah masyarakat Muslim, dan lahir melalui pergerakan masyarakat ini dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan riil kehidupan Islami. Bergitu juga, fikih Islam bukan yang melahirkan masyarakat Muslim, tetapi masyarakat Muslim dengan pergerakan realistisnya dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan kehidupan Islami itulah yang melahirkan fikih Islam.

Kedua fakta historis dan konkret ini sangat besar indikasinya. Sebagaimana keduanya sangat urgen untuk memahami watak fikih Islam, dan memkonsepsi watak haraki pada hukum-hukum fikih Islam.

Banyak orang pada hari mengikuti teks dan hukum yang telah dibukukan, tanpa memahami dua hakikat tersebut, dan tanpa mengkaji situasi dan kondisi yang ada pada waktu teks-teks itu ditulis dan hukum-hukum itu dibangun, dan tanpa menghadirkan karakter suasana, lingkungan, dan kondisi yang dihadapi dan diarahkan oleh teks-teks tersebut.

Hukum-hukum tersebut dibentuk di dalamnya, mengaturnya, dan hidup di dalamnya. Orang-orang yang berbuat demikian itu, serta berusaha mengemplementasikan hukum-hukum ini seolah-olah ia lahir dalam kekosongan, dan seolah-olah pada hari ini ia bisa hidup dalam kekosongan, mereka itu bukan fuqaha! Mereka itu tidak memiliki “fikih” dengan watak fikih yang sebenarnya, dan dengan watak agama ini sama sekali!

Sesungguhnya “fiqih pergerakan” itu berbeda secara fundamental dengan “fiqih teks-book”, meskipun pada dasarnya “fiqih pergerakan” itu mengambil sumber dan berpijak pada nash-nash yang juga menjadi pijakan dan sumber bagi “fiqih teks-book” itu!

Sesungguhnya fikih pergerakan memasukkan “realitas” yang menjadi tempat turunnya nash itu ke dalam pertimbangannya, serta merumuskan hukum-hukum di dalamnya. Fikih pergerakan melihat bahwa realitas bersama nash dan hukum membentuk suatu komposisi yang unsur-unsurnya tidak terpisah. Apabila unsur-unsur dari komposisi ini terpisah, maka ia kehilangan wataknya dan komposisinya pun buyar!

Dari sini, tidak ada satu hukum fikih pun yang berdiri sendiri, hidup dalam kekosongan, tidak terefleksi di dalamnya unsur-unsur situasi, kondisi, lingkungan, dan konteks yang menjadi tempat kelahirannya pertama kali. Ia tidak muncul dalam kekosongan, dan karenanya ia tidak bisa hidup dalam kekosongan!

Mengenai ketetapan umum ini, ambil contoh hukum fikih Islam mengenai larangan menganggap diri suci dan larangan mencalonkan diri untuk memperoleh jabatan (self-promotion). Hukum ini terambil dari firman Allah Ta’ala, “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.” (an-Najm [53]: 32) Dan dari sabda Rasulullah saw, “Demi Allah, kami tidak memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya (atau berambisi terhadapnya).” (Muttafaq ‘Alaih)

Hukum ini—sebagaimana nash-nash tersebut turun—lahir di sebuah masyarakat muslim agar diterapkan dalam masyarakat tersebut, agar hukum tersebut hidup di tengahnya, dan agar hukum ini memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, sesuai perkembangan historisnya, sesuai struktur keanggotaannya, dan sesuai realitas esensialnya.

Dari sini, hukum tersebut merupakan hukum Islam yang datang untuk diterapkan dalam sebuah masyarakat Islam. Ia lahir di tengah sebuah realitas, bukan dalam kekosongan imajiner. Ia lahir dalam struktur keanggotaannya, dan dalam ikrarnya terhadap syari’at Islam secara sempurna.

Setiap masyarakat yang di dalamnya tidak terlengkapi unsur-unsur ini dianggap “kosongan” bagi hukum tersebut. Hukum ini tidak bisa hidup di dalamnya, tidak tepat untuknya, dan juga tidak bisa memperbaikinya!

Contohnya adalah setiap hukum pemerintahan Islam. Meskipun dalam konteks ini kami tidak merinci selain hukum ini karena terkait dengan konteks surat.

PRIBADI YANG STABIL

Self Promotion (1)
Monday, 22/06/2009 15:13 WIB Cetak | Kirim | RSS Kebersihan Yusuf telah terbukti di hadapan raja, dan telah terbukti pula ilmunya tentang tafsir mimpi dan kearifannya saat meminta penyelidikan terhadap kasus sekumpulan wanita tersebut.


وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ (54) قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ (55) وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَنْ نَشَاءُ وَلَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ (56) وَلَأَجْرُ الْآَخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (57)

“Dan raja berkata, ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.’ Maka tatkala raja telah berkata kepadanya, dia (Raja) berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi (berkuasa penuh) lagi dipercaya pada sisi kami (54) Berkata Yusuf, ‘Jadikanlah aku memegang kunci bumi negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan (55) Dan demikianlah kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang- orang yang berbuat baik (56) Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa (57). (Yusuf / 12 : 54 – 57) (54-57)

Kebersihan Yusuf telah terbukti di hadapan raja, dan telah terbukti pula ilmunya tentang tafsir mimpi dan kearifannya saat meminta penyelidikan terhadap kasus sekumpulan wanita tersebut. Begitu juga, telah terbukti baginya kemuliaan dan integritas moral Yusuf, saat ia tidak menjatuhkan harga diri untuk bisa keluar dari penjara, dan tidak pula menjatuhkan harga diri untuk bisa bertemu raja. Raja Mesir! Sebaliknya, ia menunjukkan sikap seorang mulia yang dicemarkan nama baiknya, dan dipenjara secara zhalim. Ia meminta nama baiknya dibersihkan sebelum ia meminta tubuhnya dibebaskan dari penjara. Ia menuntut kehormatan diri dan agama yang diperjuangkannya sebelum ia menuntut melangkah di samping raja.

Semua itu menggugah rasa hormat dan cinta di hati raja kepadanya, sehingga raja berkata,
“Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.”

Jadi, raja tidak menghadirkannya dari penjara untuk dibebaskan, bukan untuk melihat langsung orang yang pandai menafsirkan mimpi, dan bukan untuk menyampaikan “tanda jasa kerajaan” sehingga Yusuf melambung karena senang. Tidak! Raja menghadirkannya untuk memilihnya sebagai orang dekatnya, menempatkannya pada posisi penasihat dan teman.

Betapa banyak orang yang menjatuhkan kehormatan mereka di kaki para penguasa—padahal mereka adalah orang-orang yang bebas, tidak dipenjara. Mereka dengan suka rela mengikat leher dengan tangan mereka sendiri, dan menjatuhkan martabat sendiri untuk memperoleh simpati dan kalimat pujian, serta untuk mendapatkan dukungan dari para pengikut, bukan kedudukan orang-orang yang bersih. Andai saja orang-orang seperti itu membaca al-Qur’an dan mengkaji kisah Yusuf agar mereka tahu bahwa kehormatan, integritas moral, dan martabat itu memberikan keuntungan—bahkan yang sifatnya materi—berlipat ganda, melebihi apa yang diberikan sikap menjilat dan menunduk!

“Raja berkata, ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku..’”

Rangkaian ayat selanjutnya menghilangkan bagian dari pelaksanaan perintah, agar kita langsung mendapati Yusuf bersama raja.

“Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata, ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.’” (54)

Ketika raja telah berbicara kepada Yusuf, maka firasatnya terbukti benar. Dan raja memberi ucapan selamat kepada Yusuf karena Yusuf memiliki kedudukan dan amanah di depan raja. Jadi, dia bukan pemuda Ibrani dengan ciri kehidupan asketik, melainkan seorang yang berkedudukan tinggi. Dia bukan tersangka yang diancam penjara, melainkan orang yang dipercaya. Itulah kedudukan dan amanah di depan raja dan di bawah atapnya. Lalu, apa yang dikatakan Yusuf?

Ia tidak bersujud syukur sebagaimana para kroni yang selalu menguntit itu sujud kepada para thaghut. Yusuf tidak berkata: Jayalah engkau, tuan! Aku adalah hambamu yang patuh atau pelayanmu yang terpercaya. Seperti yang dikatakan oleh para penjilat kepada para diktator! Tidak, ia hanya meminta sesuai keyakinannya bahwa ia mampu memikul tugas dalam menyelesaikan krisis mendatang yang ditakwilinya dari mimpi raja, secara lebih baik daripada kinerja siapapun di negeri ini. Ia menuntut sesuai keyakinannya bahwa ia akan menjaga nyawa dari kematian, memelihara negara dari kehancuran, dan melindungi masyarakat dari bencana kelaparan. Jadi, ia adalah yang memiliki pemahaman yang kuat dimana situasi membutuhkan pengalaman, kecakapan, dan amanahnya, seperti kuatnya ia dalam menjaga kehormatan dan integritas moralnya.

“Berkata Yusuf, ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.’” (55)

Krisis datang dengan didahului masa-masa kemakmuran. Hasil bumi yang berlimpah itu perlu dijaga dan disimpan. Ia membutuhkan kepiawaian manajemen untuk mengatur logistik secara cermat, mengontrol pertanian dan hasil panennya, serta menjaganya. Ia membutuhkan pengalaman, kebijakan yang tepat, dan pengetahuan semua cabang yang diperlukan untuk tugas tersebut, baik di masa panen raya atau di masa paceklik. Dari sini, Yusuf menyebutkan sebagian sifat dalam dirinya yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas tersebut, yang menurutnya ia lebih mampu memikulnya, dan bahwa sifat ini akan menghasilkan kebaikan besar bagi bangsa Mesir dan bangsa-bangsa tetangga.

“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”

Tetap dalam Syahadat

Membendung Permusuhan Kaum Kafir PDF Cetak E-mail
Wednesday, 16 July 2008

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya (TQS Ali Imran [3]: 118)

Dalam pertarungan apa pun, pengetahuan tentang siapa yang menjadi lawan tanding sangat diperlukan. Demikian juga penyikapan yang tepat terhadapnya. Apabila hal itu tidak dimiliki, tentu akan berakibat fatal. Bayangkan jika kita memiliki seorang musuh yang sangat membenci kita, namun justru kita anggap sebagai teman kepercayaan. Karena dianggap sebagai teman, berbagai rahasia pun kita beritahukan kepadanya. Akibatnya sudah bisa diduga. Musuh itu akan lebih mudah menikam dan mengalahkan kita.

Sebagai dîn yang sempurna, Islam tidak alpa memberitahukan hal itu kepada umatnya. Dalam beberapa ayat diberitakan bahwa musuh umat Islam adalah Iblis dan para pengikutnya, yakni kaum kafir. Mereka tak henti-hentinya memerangi Islam dan Umatnya. Mereka juga amat senang jika kaum Muslim ditimpa krisis dan bencana. Besarnya kebencian mereka sudah tak terkira.

Realitas tersebut mengharuskan mereka diper-lakukan sebagai musuh. Mereka tidak boleh dijadikan sebagai pemimpin, pelindung, dan orang dalam yang mengetahui berbagai rahasia penting kaum Muslim. Cukup banyak al-Quran yang menegaskan perkara tersebut. Di antaranya adalah QS Ali Imran [3]: 118.



Tidak Boleh Dijadikan Sebagai Bithânah

Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmânû lâ tattakhidzû bithânat[an] min dûnikum (hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu). Seruan ayat ini ditujukan kepada kaum Mukmin. Sehingga, dhamîr mukhâthab (kum, kalian) pada frasa min dúnikum menunjuk kepada orang-orang Mukmin. Oleh karena kata dûna bermakna ghayru (selain), maka pengertian min dúnikum sebagaimana dijelaskan al-Razi dan al-Khazin-- mencakup semua orang nonmuslim atau kafir, baik Yahudi, Nasrani, musyrik, maupun munafik. Penjelasan senada juga disampaikan oleh mufassir lainnya, seperti al-Thabari, al-Alusi, Ibnu Katsir, al-Baidhawi, Ibnu 'Athiyyah, al-Syaukani, al-Jazairi, dan lain-lain dalam kitab tafsir mereka.

Ditegaskan dalam ayat ini, kaum Muslim dilarang menjadikan orang-orang kafir atau munafik itu sebagai bithânah. Al-Qurthubi dan al-Khazin menerangkan, sebutan bithânah dikhususkan bagi orang yang mengetahui hakikat perkara rahasia. Menurut al-Jazairi bithânah al-rajul berarti orang-orang yang mengetahui hakikat perkara yang disembunyikan dari pandangan manusia karena adanya suatu kemaslahatan.

Al-Zujjaj menyatakan, kata al-bithânah dalam ayat ini bermakna al-dukhalâ' (orang-orang dalam) yang dibukakan pintu lebar bagi mereka dan mereka pun bisa mengetahui hakikat perkara yang sebenarnya. Ibnu Katsir juga memaparkan bahwa al-bithânah adalah orang-orang yang bisa mengamati perkara-perkara rahasia yang harus disembunyikan di hadapan musuh.

Tipologi demikian terdapat pada sahabat karib atau teman kepercayaan. Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan al-Thabari dalam tafsirnya, ayat ini melarang kaum Muslim menjadikan orang-orang kafir sebagai akhillâ wa ashfiyâ' (sahabat dan teman dekat). Di samping kawan dekat, menurut al-Baghawi juga menjadi auliyâ' (para wali: pelindung, penolong, pembantu, dsb).

Memberikan izin resmi bagi intelejen kafir untuk melakukan kegiatan spionase terhadap kaum Muslim bisa dimasukkan larangan ayat ini. Sebab, pemberian izin itu berarti mempersilakan mereka mengetahui berbagai perkara rahasia kaum Muslim.



Menginginkan Keburukan

Selanjutnya Allah SWT menerangkan penyebab larangan tersebut. Allah SWT berfirman: lâ ya'lûnakum khabâl[an] ([karena] mereka tidak henti-hentinya [menimbulkan] kemudaratan bagimu). Al-Alusi dan al-Baghawi menjelaskan bahwa kata al-khabâl berarti al-syarr wa al-fasâd (keburukan dan kerusakan). Menurut al-Syaukani, makna al-khabâl adalah kerusakan dalam perbuatan, badan, dan akal.

Dengan demikian, kaum kafir senantiasa menempuh berbagai upaya dan strategi mereka untuk menimbulkan keburukan, kerusakan, dan bencana bagi kaum Muslim. Kerusakan yang ditimbulkan itu, kata al-Jazairi dalam Aysar al-Tafâsîr, bersifat menyeluruh, baik dalam urusan dîn maupun urusan dunia.

Dalam perkara dîn, mereka berupaya keras memurtadkan umat Islam dari agama mereka (lihat QS al-Baqarah [2]: 217, Ali Imran [3]: 98-100). Mereka tidak rela selama kaum Muslim belum mengikuti agama mereka (QS al-Baqarah [2]: 120). Sehingga mereka pun giat mempropagandakan sekularisme, liberalisme, pluralisme, HAM, dan berbagai ide kufur lainnya kepada kaum Muslim; mendukung dan mensponsori ide sesat semacam Islam Liberal, Ahmadiyyah, dll; mengekspor gaya hidup bebas, seperti perilaku free sex; menghalangi terbitnya UU Antipornografi, dsb. Itu semua mereka lakukan untuk merusak aqidah kaum Muslim.

Dalam perkara dunia, mereka menjalankan berbagai langkah untuk menjarah kekayaan kaum Muslim. Mereka menekan rezim di negeri Muslim untuk memberlakukan sistem ekonomi liberal. Dengan sistem ekonomi tersebut, akan lebih mudah bagi mereka menguasai tambang-tambang di negeri-negeri Muslim. Akibatnya, kaum Muslim hidup miskin meskipun memiliki kekayaan alam melimpah ruah. Mereka juga memaksakan utang hingga kaum Muslim terperangkap dalam hegemoni mereka. Ini semua menunjukkan bahwa kaum kafir itu memang benar-benar memusuhi Islam dan umatnya.

Permusuhan mereka terhadap kaum Muslim kian jelas dengan firman Allah SWT selanjutnya: waddû mâ anittum (mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu). Al-Zamakhsyari menerangkan, kata al-'anat berarti syiddah al-dharar wa al-masyaqqah (bahaya dan kesulitan yang amat besar). Itu artinya, kaum kafir itu amat menyukai umat Islam ditimpa kesulitan dan kemudaratan besar. Sebaliknya, mereka tidak rela jika kaum Muslim mendapatkan kemenangan, keberhasilan, dan kebahagiaan.

Dengan sepak terjang demikian, wajarlah jika mereka tidak boleh dijadikan sebagai orang dalam, orang yang mengetahui rahasia-rahasia kaum Muslim. Jika larangan itu dilanggar, yakni kaum kafir dijadikan sebagai orang dalam atau teman kepercayaan, maka akan mamudahkan bagi mereka mengalahkan umat Islam.



Besarnya Kebencian Mereka

Selanjutnya Allah SWT memberitakan tentang besarnya kebencian dan permusuhan mereka terhadap Islam dan umatnya. Allah SWT berfirman: Qad badat al-baghdhâ' min afwâhihim (telah nyata kebencian dari mulut mereka). Al-Syaukani menyatakan, kata al-baghdhâ' berarti syiddah al-buhgdh (kebencian yang amat besar). Ini berarti, besarnya kebencian mereka sudah tampak pada ucapan-ucapan yang keluar dari mulut mereka.

Dalam beberapa ayat, al-Quran memberitakan ucapan kebencian kaum kafir ini. Mereka menghina Rasulullah saw sebagai majnûn, orang gila. Penghinaan mereka itu disitir Allah SWT dalam firman-Nya: Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al Qur'an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” (TQS al-Hijr [15]: 6). Lihat juga dalam QS al-Shaff [37]: 36, al-Dukhan [44]: 14. Mereka tidak hanya mendustakan al-Quran, namun juga melecehkannya. Wahyu yang diturunkan Allah SWT mereka sebut sebagai asâthîr al-awwalîn, dongengan orang-orang yang dahulu (lihat QS al-Muthaffifin [83]:13).

Sebagaimana terhadap Nabi dan kitabnya, mereka juga melecehkan kaum Muslim. Allah SWT berfirman: Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: "Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat" (TQS al-Muthaffifin [83]: 29- 32)

Penghinaan itu terus berlangsung hingga kini. Di antara mereka ada yang melecehkan al-Quran sebagai The Satanic verses, Ayat-ayat Setan. Lainnya menyatakan, al-Quran merupakan sumber kekerasan dan terorisme. Ada pula yang menghina Rasulullah saw dalam bentuk kartun. Dalam kartun itu, Rasulullah saw digambarkan sebagai teroris yang menyelipkan bom di sorbannya. Ada pula yang menyebut Islam sebagai the satanic ideology, ideologi syetan.

Semua ucapan itu menunjukkan betapa besar kebencian mereka terhadap Islam dan umatnya. Meskipun demikian, kebencian yang tampak dalam ucapan mereka itu masih belum seberapa. Kebencian sesungguhnya yang terpendam dalam hati mereka jauh lebih besar. Allah SWT berfirman: wa mâ tukhfî shudûruhum akbar (dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi).

Setiap orang mungkin dapat menyimpan rahasia dalam dadanya sehingga orang lain tidak mampu mengetahuinya. Namun tidak ada yang tersembunyi bagi Allah SWT. Dia adalah Dzat Yang Maha Mengetahui, termasuk segala rahasia yang tersimpan dalam dada manusia (lihat QS al-Taghabun [64]: 4). Dalam ayat ini Allah SWT menguak isi hati mereka. Bahwa kebencian yang mereka sembunyikan dalam dada mereka jauh lebih besar dari apa yang telah mereka ucapkan.

Kemudian Allah SWT berfirman: Qad bayyannâ lakum al-âyâti in kuntum ta'qilûn (sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya). Ditegaskan bahwa larangan menjadikan kaum kaum kafir sebagai orang dalam dan teman kepercayaan itu adalah Allah SWT melalui ayat-ayat-Nya. Demikian juga yang menyingkap jati diri kaum kafir yang penuh dengan kebencian dan permusuhan terhadap Islam dan umatnya.

Karena larangan dan berita itu itu berasal dari Allah SWT, dapat dipastikan kebenarannya. Maka selayaknya dipatuhi. Yakni tidak menjadikan musuh-musuh Islam itu sebagai pemimpin, orang dalam, dan teman kepercayaan kalian. Itu adalah tindakan yang pantas dan masuk akal. Sebaliknya, betapa ironinya jika kita menjadikan orang yang membenci, memusuhi, dan memerangi kita sebagai pemimpin, orang dalam, dan teman kepercayaan. WaLlâh a'lam bi al-shawâb. [red/www.suara-islam.com]