Minggu, 06 September 2009

Makna dariNYA

Allah dan Tuhan
Jumat, 09 Mei 2008 16:36 Muhsin Labib
Eksistensi Tuhan adalah salah satu masalah paling fundamental manusia, karena penerimaan maupun penolakan terhadapnya memberikan konsekuensi yang fundamental pula. Alam luas yang diasumsikan sebagai produk sebuah Kekuatan Yang Maha Sempurna dan Maha Bijaksana dengan tujuan yang sempurna berbeda dengan alam yang diasumsikan sebagai akibat dari kebetulan atau insiden. Manusia yang memandang alam sebagai hasil penciptaan Tuhan Yang Maha Bijaksana adalah manusia yang optimis dan bertujuan. Sedangkan manusia yang memandang alam sebagai akibat dari serangkaian peristiwa acak (chaos) adalah manusia yang pesimis, nihilis, absurd, dan risau akan kemungkinan-kemungkinan yang tak dapat diprediksi.
Umat manusia sejak awal kehadirannya di atas pentas sejarah telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan. Orang Persia menyebutnya Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord atau God. Kita menyebutnya Tuhan atau Sang Hyang. Dialah Tuhan Yang Maha Sempurna. Kepercayaan pada “yang adikodrati,” merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, baik terbentuk dalam sebuah lembaga transendental yang disebut “agama” maupun tidak diagamakan. Kendati demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah berkembang dan terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan.

Tuhan sejak babak pertama peradaban sampai sekarang telah menjadi objek pengimanan dan penolakan. Manusia, sebelum dibagi dalam kelompok agama, bahkan sebelum dibagi dalam kelompok monoteis dan politeis, telah terbagi dalam dua aliran besar, ateisme dan teisme. Istilah ini berasal dari kata Yunani atheos (tanpa Tuhan), dari a (tidak) dan Theos (Tuhan). Ia adalah aliran yang menolak adanya Tuhan Pencipta alam semesta. Dalam bahasa Arab disebut al-Ilhad.

Kata yang memberikan signifikansi Wujud Pencipta dalam al-Quran sangat banyak. Semuanya dapat dibagi dalam beberapa dimensi dan konteks.

Pertama, kata yang menunjuk Tuhan dipergunakan sebagai nama umum atau atribut universal.

Kedua, kata yang menunjuk Tuhan digunakan dalam dua bentuk sekaligus, universal dan personal.

Ketiga, kata yang menunjuk Tuhan digunakan sebagai nama umum semata.
Keempat, kata yang mengandung arti kesempurnaan dan kebaikan (Asmaul Husna). Kata “Tuhan,” misalnya, yang bila digunakan sebagai nama umum, maka huruf “t” di depannya dikecilkan (tuhan), dan bila digunakan untuk menunjuk nama khusus, maka huruf “t” di depannya dibesarkan (Tuhan). Demikian pula “God” dalam bahasa Inggris atau “Khoda” dalam bahasa Parsi. Karena itu, bila ada yang mengartikan la ilaha illallah dengan “tiada tuhan selain Tuhan” bisa ditolerir.

Kelima, kata yang menunjuk “Tuhan” digunakan sebagai nama personal (alam syakhshi) semata. Dalam bahasa Arab, kata “Allah” sebagai lafzhul jalalah (nama kebesaran) dipergunakan dan ditetapkan sebagai nama personal (alam syakhshi). Sedangkan ar-Rahman ditetapkan sebagai predikat khusus. Selain dari kata Allah (yang merupakan nama khusus) dan kata ar-Rahman (yang merupakan sifat khusus), tidak bersifat khusus.1 Itulah sebabnya, mengapa kata “rabb,” “ilah,” “khalik” digunakan untuk selain Allah, bahkan “ra’uf” dan “rahim” digunakan untuk Nabi saw, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu. Sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Amat belas kasihan, lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin.” (QS. at-Taubah [9]: 128).

Atas dasar itu, kata “Allah,” baik berupa kata baku (jamid) atau pun kata olahan (musytaq), ditetapkan sebagai sebuah “nama personal,” dan ia tidak mempunyai arti selain Zat Yang Adikodrati Swt. Namun, tatkala Zat Kudus tersebut tidak dapat diinderakan, maka untuk mengenali arti “Allah,” mereka menggunakan sebuah simbol yang berkonotasi secara eksklusif pada Allah seperti “Zat Yang Menghimpun sifat-sifat kesempurnaan,” bukan berarti kata “Allah” ditetapkan untuk mengartikan rangkaian pengertian-pengertian ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa pembahasan seputar materi dan bentuk kata ini tidak akan dapat membantu kita untuk memahami artinya sebagai sebuah nama personal (alam syakhshi).

Kata personal “Allah” karena oleh sebagian besar mufasir dianggap sebagai ism ma’rifah dengan alif dan lam (kata tertentu), menurut kaidah kesusasteraan, kurang tepat dikaitkan dengan sebutan panggilan “ya.” Karena itulah, bisa dipastikan kalimat “Ya Allah” (Wahai Allah) tidak terdapat dalam al-Quran.2 Kata “Ya” diganti dengan huruf mim yang di-syaddah-kan dan di-fathah-kan pada bagian akhir kata Allah, maka jadilah “Allahumma.” Kata panggilan khas ini ditemukan satu kali dalam surah Ali Imran ayat 26, satu kali dalam surah al-Maidah ayat 114, satu kali dalam surah al-Anfal ayat 32, satu kali dalam surah Yunus ayat 10, dan satu kali dalam surah az-Zumar ayat 46.3

Namun kata “Allah” menurut sebagian ulama bukanlah bentuk ma’rifah dari kata ilah. Kata ini dianggap berasal dari bahasa Ibrani yang diadaptasi ke dalam bahasa Arab. Kata ini menurut mereka juga yang berarti Zat Tuhan Yang Mahaesa. Oleh karena itu, dalam Agama Ortodoks Suriah, bahkan sekte-sekte Kristen lainnya, diyakini sebagai kata atau nama personal Tuhan Bapa.4

Dalam kitab suci al-Quran, kata yang juga memberikan signifikansi pada Allah adalah “ilah” dan “rabb.” Kata “ilah” juga digunakan dalam syahadat, la ilaha illallah. Kata “ilah” adalah bentuk kata yang mengikuti wazan “fi’al” yang berarti “maf’ul.” Ilah berarti “ma’bud” (yang disembah), seperti “kitab” yang berarti “maktub” (yang ditulis). Dengan demikian, la ilaha illallah dapat diartikan “tiada yang layak disembah selain Allah.”5

Kata “Tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan” yang berarti “majikan” atau “pemilik,” seperti tuan rumah yang berarti pemilik rumah,6 atau kata “Hyang” yang memiliki arti berdekatan dengan “eyang’ yang berarti kakek atau nenek. Hanya saja, yang perlu diperjelas, apakah “Tuhan” menunjuk “Sang Pencipta” (Khalik) ataukah menunjuk “Yang disembah” (al-ilah, al-ma’bud). Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang lebih dekat dengan “ar-rab” dalam bahasa Arab yang berarti “Maha Pengatur.” Seandainya “Tuhan” atau “Ilah” berarti “Pencipta” (Khalik), maka syahadat la ilaha illallah berarti “tiada pencipta selain Allah.” Tentu syahadat dengan arti seperti ini tidak mengecualikan seluruh kaum Quraisy penyembah berhala dan kaum musyrik lainnya, yang sejak semula meyakini Allah sebagai Pencipta. (QS. Lukman: 25)

Dalam al-Quran, kata “Allah” disebutkan sebanyak 930 kali7 sedangkan kata “ilah” (tanpa dhamir) disebutkan sebanyak 80 kali.8

Arti “ilah” dalam rangkaian syahadat (kalimah at-tahlil) bisa berarti “al-ma’bud” atau yang disembah, dan bisa pula berarti al-ma’bud bil haq.9 Apabila arti pertama dipilih, maka setiap sesuatu yang dalam kenyataan disembah selain Allah dapat dianggap sebagai ilah. Apabila arti kedua yang dipilih, maka berarti ilah hanya bisa disandang oleh Allah, sebab al-ma’budiyah (ke-tersembah-an) merupakan derivasi dari ar-rububiyah.

Kata “rabb” dalam al-Quran disebutkan sebanyak 84 kali. Satu dalam surah al-Fatihah, satu dalam surah al-Baqarah, satu dalam surah al-Maidah, empat dalam surah al-An’am, enam dalam surah al-A’raf, satu dalam surah at-Taubah, dua dalam surah Yunus, satu dalam surah ar-Ra’d, satu dalam surah al-Isra, satu dalam surah al-Kahfi, satu dalam surah Maryam, satu dalam surah Thaha, dua dalam surah al-Anbiya, tiga dalam surah al-Mukminun, lima belas dalam surah asy-Syu’ara, empat dalam surah an-Naml, satu dalam surah al-Qashash, satu dalam surah as-Sajdah, satu dalam surah Saba, satu dalam surah Yasin, enam dalam surah ash-Shaffat, satu dalam surah Shad, satu dalam surah az-Zumar, tiga dalam surah Ghafir, satu dalam surah Fushshilat, tiga dalam surah az-Zukhruf, dua dalam surah ad-Dukhan, tiga dalam surah al-Jatsyiyah, satu dalam surah adz-Dzariyat, satu dalam surah an-Najm, dua dalam surah ar-Rahman, satu dalam surah al-Waqi’ah, satu dalam surah al-Hasyr, satu dalam surah al-Haqqah, satu dalam surah al-Ma’arij, satu dalam surah al-Muzzammil, satu dalam surah an-Naba, satu dalam surah at-Takwir, satu dalam surah al-Muthaffifin, satu dalam surah al-Quraisy, satu dalam surah al-Falaq, dan satu dalam surah an-Nas.10

Selain berupa kata personal Allah, ilah, dan rabb, Tuhan juga merupakan entitas penghimpun semua nama-nama terbaik (Asmaul Husna). Kata Asmaul Husna disebutkan empat kali dalam al-Quran, satu dalam surah al-A’raf ayat 180, satu dalam surah al-Isra ayat 110, satu dalam surah Thaha ayat 8, dan satu dalam surah al-Hasyr ayat 24.11 Dengan demikian, nama dan sifat yang memberikan signifikansi kebaikan dan kesempurnaan maksimum adalah milik Allah. Karenanya, nama dan sifat manusia berasal dari Allah sebagai Pemilik Absolut nama-nama terbaik. Dalam sebuah hadis, Nabi saw memerintahkan kita untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang menekankan tentang posesi atau kepemilikan Tuhan atas semua nama terbaik. (QS. al-Hadid [57]: 4; QS. al-A’raf [7]: 180; QS. Thaha [20]: 8; QS. al-Isra [17]: 110; dan QS. al-Hasyr [59]: 24)

الله لااله الاهو, له الاسماء الحسنى
.ولله الاسماء الحسنى فادعوه بها
Menurut sebagian mufasir mutakhir, tidak ada dalil qath’i (definitif) tentang ketentuan jumlah Asmaul Husna, meskipun yang populer dalam riwayat disebutkan berjumlah 99.12 Setiap nama (ism) dalam alam keberadaan adalah sebaik-baik nama (Ahsanul Asma). Semuanya adalah milik Allah Swt. Karena itulah, jumlah nama Allah tidaklah terbatas.13

Dengan nama-nama terbaik yang banyak dan mencakup spektrum dimensi dan nilai kesempurnaan maksimal itulah, hamba-hamba-Nya berpeluang untuk berkomunikasi dengan Allah. Seorang yang papa dan dirundung kemiskinan dapat memanggil-Nya dengan nama al-Karim, ar-Raziq, dan ar-Razzaq. Seseorang yang bergelimang dosa dapat memohon ampunan-Nya dengan memanggil-Nya “al-Ghaffar.” Seseorang yang ingin mendapatkan petunjuk dapat menyeru-Nya dengan nama al-Hadi dan sebagainya.

Yang patut diketahui ialah bahwa kata asma juga dapat diartikan sebagai sifat-sifat, karena ism dalam Ilmu Sharf mencakup ismul fa’il dan ash-shifat al-musyabbahah. Menurut Allamah Thabathaba’i, Asmaul Husna adalah setiap kata yang menunjukkan arti predikatif seperti ilah, al-hayy, dan lainnya. Sedangkan kata “Allah,” adalah alam syakhshi (nama personal) atau alam adz-dzat, yang merupakan nama personal bagi Tuhan.14

Kata ism yang dikaitkan (diidhafahkan) dengan Allah dan Rabb, berjumlah 18 kali, yaitu empat dalam surah al-An’am, satu dalam surah al-Maidah, lima dalam surah al-Hajj, satu dalam surah ar-Rahman, dua dalam surah al-Waqi’ah, satu dalam surah al-Haqqah, satu dalam surah al-Muzzammil, satu dalam surah al-Insan, satu dalam surah Hud, dan satu dalam surah al-Naml. Jika Bismillâhirrahmânirrahîm dianggap sebagai pembuka dan bagian dari setiap surah, kecuali surah al-Bara’ah, maka jumlah keseluruhan ism yang kaitkan pada Allah dan Rabb berjumlah 131.15

Ismul A’zham (nama kebesaran), menurut opini masyarakat Arab, adalah ismul lafzhi yang merupakan salah satu dari asma Allah, yang bila diseru dalam doa, maka dikabulkan. Namun, anehnya, ia tidak tergolong dalam Asmaul Husna yang populer, dan tidak pula dianggap sebagai bagian dari lafzhul jalalah. Menurut mereka, Ismul A’zham terdiri atas huruf-huruf tak dikenal (huruf majhulah) dengan komposisi yang tak dikenal pula. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa kata Allah dalam basmalah itulah yang dimaksud dengan Ismul A’zham.16

Asma Allah atau Asmaul Husna kadangkala dikaitkan dengan sifat-sifat Allah (shifatullah). Menurut Sayid Quthub, firman Allah itu mengandung makna bahwa manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang paling baik (Asmaul Husna). Firman itu juga merupakan sanggahan terhadap kaum Jahiliyah yang mengingkari nama “ar-Rahman,” selain nama “Allah.”17

Berkenaan dengan alasan turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik menuturkan adanya hadis dari Ibnu Abbas, bahwa di suatu malam Nabi saw beribadah, dan dalam bersujud beliau mengucapkan, “Ya Allah, Ya Rahman.” Ketika Abu Jahal, tokoh musyrik Mekah yang sangat memusuhi kaum beriman, mendengar tentang ucapan Nabi saw dalam sujudnya itu, ia berkata, “Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua tuhan, dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi.” Ada juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi saw karena kaum Ahlulkitab pernah mengatakan kepada beliau, ‘Engkau (Muhammad) jarang menyebut nama ar-Rahman, padahal Allah banyak menggunakan nama itu dalam Taurat.’”18

Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada Hakikat, Zat atau Wujud yang satu dan sama. Zamakhsyari, Baidhawi dan Nasafi menegaskan bahwa kata ganti nama “Dia” dalam kalimat “maka bagi Dia adalah nama-nama yang terbaik” dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama “Allah” atau “ar-Rahman,” melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Zat (Esensi) Wujud Yang Mahamutlak itu sendiri. Sebab, suatu nama tidaklah diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu zat atau esensi. Jadi, Zat Yang Mahaesa itulah yang bernama “Allah” dan atau “ar-Rahman” serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya “Allah” bernama “ar-Rahman” atau “ar-Rahim.”

Jadi yang bersifat Mahaesa itu bukanlah nama-Nya, melainkan Zat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu, Baidhawi menegaskan bahwa paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi. Maka Tauhid yang benar ialah “Tawhid adz-Dzat” bukan “Tawhid al-Ism” (Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama).19

Pandangan ketuhanan yang sangat mendasar ini diterangkan dengan jelas sekali oleh Imam Ja’far Shadiq as, guru dari para imam dan tokoh keagamaan besar dalam Sejarah Islam, baik untuk kalangan Ahlusunah maupun Syiah. Dalam sebuah penuturan, ia menjelaskan nama “Allah” dan bagaimana menyembah-Nya secara benar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam, “Allah” (kadang-kadang dieja, “Al-lah”) berasal “ilah” dan “ilah” mengandung makna “ma’luh,” (yang disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai (al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tauhid. Engkau mengerti, wahai Hisyam?” Hisyam mengatakan lagi, “Tambahilah aku ilmu.” Imam Ja’far Shadiq as menyambung, “Bagi Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung, ada sembilan puluh sembilan nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu tuhan. Tetapi Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung adalah suatu Makna (Esensi) yang dirujuk oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah sama dengan Dia…”20

Kalau kita harus menyembah Makna atau Esensi, dan bukan menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai suatu bentuk kemusyrikan oleh Imam Ja’far Shadiq as itu, berarti kita harus menunjukkan penyembahan kita kepada Dia yang menurut al-Quran memang tidak tergambarkan, dan tidak sebanding dengan apa pun. Berkenaan dengan ini, Imam Ali bin Abi Thalib ra mewariskan penjelasan yang amat berharga kepada kita, dia mengatakan, “Allah” artinya “Yang Disembah” (al-Ma’bud), yang mengenai Dia itu makhluk merasa tercekam (ya’lahu) dan dicekam (yu’lahu) oleh-Nya. Allah adalah Wujud dan tertutup dari kemampuan penglihatan, dan yang terdinding dari dugaan dan benih pikiran.21

Dan Imam Muhammad Baqir ra menjelaskan, “Allah” maknanya “Yang Disembah” yang agar makhluk (aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui Esensi-Nya (Mahiyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyah). Orang Arab mengatakan, ‘Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung (tahayyara) atas sesuatu yang tidak dapat dipahaminya, dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa takut (fazi’a) kepada sesuatu yang ia takuti atau khawatirkan.’”[]


Catatan Kaki:
1. M. Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Quran, hal. 62-63, Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1991.

2. Dalam kaidah gramatika Arab, tidak dibenarkan seseorang memanggil dengan Ya al-‘Alim, misalnya, dengan tidak membuang alif dan lam.

3. Op.Cit., Muhammad Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras, hal.96, Istanbul.

4. Summa Theologica, Ia, q. 2, a.l. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, hal. 141, Pustaka Filsafat.

5. M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif al-Quran, vol.1, hal.26, Jami’ah Mudarrisin, Qom, 1987.

6. Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 963, Balai Pustaka.

7. Yaitu sebanyak 107 kali dalam QS. al-Baqarah, 116 kali dalam QS. Ali Imran, 32 kali dalam QS. an-Nisa, 38 kali dalam QS. al-Maidah, 41 kali dalam QS. al-An’am, 6 kali dalam QS. al-A’raf, 35 kali dalam QS. al-Anfal, 67 kali dalan QS. at-Taubah, 20 kali dalam QS. Yunus, 5 kali dalam QS. Hud, 28 kali dalam QS. Yusuf, 1 kali dalam QS. ar-Ra’d, 10 kali dalam QS. Ibrahim, 29 kali dalam QS. an-Nahl, 3 kali dalam QS. al-Isra, 8 kali dalam QS. al-Kahfi, 2 kali dalam QS. Maryam, 5 kali dalam QS. Thaha, 1 kali dalam QS. al-Anbiya, 15 kali dalam QS. al-Hajj, 4 kali dalam QS. al-Mukminun, 37 kali dalam QS. an-Nur, 4 kali dalam QS. ar-Furqan, 7 kali dalam QS. an-Naml, 9 kali dalam QS. al-Qashash, 13 kali dalam QS. al-Ankabut, 9 kali dalam QS. ar-Rum, 3 kali dalam QS. Lukman, 1 kali dalam QS. as-Sajdah, 34 kali dalam QS. al-Ahzab, 2 kali dalam QS. as-Saba, 7 kali dalam QS. Fathir, 2 kali dalam QS. Yasin, 4 kali dalam QS. ash-Shaffat, 1 kali dalam QS. Shad, 24 kali dalam QS. az-Zumar, 18 kali dalam QS. Ghafir, 2 kali dalam QS. Fushshilat, 19 kali dalam QS. Syura, 1 kali dalam QS. az-Zukhruf, 1 kali dalam QS. ad-Dukhan, 6 kali dalam QS. al-Jastiyaah, 1 kali dalam QS. al-Ahqaf, 15 kali dalam QS. Muhammad, 21 kali dalam QS. al-Fath, 7 kali dalam QS. al-Hujurat, 1 kali dalam QS. at-Thur, 2 kali dalam QS. an-Najm, 8 kali dalam QS. al-Hadid, 18 kali dalam QS. al-Mujadalah, 9 kali dalam QS. al-Hasyr, 9 kali dalam QS. al-Mumtahanah, 1 kali dalam QS. ash-Shaf, 4 kali dalam QS. al-Jumu’ah, 6 kali dalam QS. al-Munafiqun, 9 kali dalam QS. at-Taghabun, 8 kali dalam QS. ath-Thalaq, 8 kali dalam QS. at-Tahrim, 2 kali dalam QS. al-Mulk, 3 kali dalam QS. Nuh, 1 kali dalam QS. al-Jinn, 1 kali dalam QS. al-Muzzammil, 3 kali dalam QS. al-Muddatstsir, 2 kali dalam QS. al-Insan, 1 kali dalam QS. an-Nazi’at, 1 kali dalam QS. at-Takwir, 1 kali dalam QS. al-Insyiqaq, 2 kali dalam QS. al-Buruj, 1 kali dalam QS. al-Ghasyiyah, 1 kali dalam QS. at-Tin, 1 kali dalam QS. al-Bayyinah, dan 1 kali dalam QS. al-Ikhlas.

8. Empat kali dalam QS. al-Baqarah, lima kali dalam QS. Ali Imran, dua kali dalam QS. an-Nisa, dua kali dalam QS. al-Maidah, empat kali dalam QS. al-An’am, lima kali dalam QS. al-A’raf, dua kali dalam QS. at-Taubah, satu kali dalam QS. Yunus, empat kali dalam QS. Hud, satu kali dalam QS. ar-Ra’d, satu kali dalam QS. Ibrahim, tiga kali dalam QS. al-Nahl, satu kali dalam QS. al-Kahfi, satu kali dalam QS. Thaha, empat kali dalam QS. al-Anbiya, satu kali dalam QS. al-Hajj, lima kali dalam QS. al-Mukminun, enam kali dalam al-Nahl, enam kali dalam QS. al-Qashash, satu kali dalam QS. Fathir, satu kali dalam QS. ash-Shaffat, satu kali dalam QS. Shad, satu kali dalam QS. az-Zumar, empat kali dalam QS. Ghafir, satu kali dalam QS. Fushshilat, dua kali dalam QS. az-Zukhruf, satu kali dalam QS. ad-Dukhan, satu kali dalam QS. Muhammad, satu kali dalam QS. ath-Thur, dua kali dalam QS. al-Hasyr, satu kali dalam QS. at-Taghabun, satu kali dalam QS. al-Muzzamil, dan satu kali dalam QS. an-Nas.

9. M. Fuad Abdul-Baqi, Mu’jam al-Mufahras, vol.14, hal.122, Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1991.

10. Ibid., hal.362-365.

11. Ibid., hal.459.

12.Lihat, ad-Durrul Manstur; al-Mustadrak; Sunan Thabarani; dan Sunan Baihaqi.

13. Berdasarkan pendapat ini, jumlah Asmaul Husna yang dapat ditemukan dalam al-Quran sebanyak 127, yaitu: al-Ilah, al-Ahad, al-Awwal, al-Akhir, al-A’la, al-Akram, al-A’lam, ar-Rahman ar-Rahimin, Ahkam al-Hakimin, Ahsan al-Khaliqin, Ahl at-Taqwa, Ahl al-Maghfirah, at-Tawwab, al-Jabbar, al-Jami’, al-Hakim, al-Halim, al-Hayy, al-Haq, al-Hamîd, al-Hasîb, al-Hafîzh, al-Khafi, al-Khabir, al-Khaliq, al-Khallaq, al-Khair, Khair al-Hakimin, Khair al-Makirin, Khair ar-Raziqin, Khair al-Fashilin, Khair al-Fatihin, Khair al-Ghafirin, Khair al-Waritsin, Kahir ar-Rahimin, Khair al-Munzilin, Dzu al-‘Arsy, Dzu ath-Thaul, Dzu al-Intiqam, Dzu al-Fadhl al-Azhim, Dzu ar-Rahmah, Dzu al-Quwwah, Dzu al-Jalal wa al-Ikram, Dzu al-Ma’arij, ar-Rahman, ar-Ra’uf, ar-Rabb, ar-Rafi’ ad-Darajat, ar-Razzaq, ar-Raqib, as-Sami’, as-Salam, as-Sari’ al-Hisab, Sari’ al-‘Iqab, asy-Syahid, asy-Syakir, asy-Syakur, Syadid al-‘Iqab, Syadid al-Mihal, ash-Shamad, azh-Zhahir, al-‘Alim, al-Aziz, al-‘Afwu, al-‘Aliy, al-‘Azhim, ‘Allam al-Ghuyub, ‘Alim al-Ghayb wa asy-Syahadah, al-Ghaniy, al-Ghafur, al-Ghalib, Ghafir adz-Dzam, al-Ghaffar, Faliq al-Ishbah, Faliq al-Habb wa an-Nawa, al-Fathir, al-Fattah, al-Qawiy, al-Quddus, al-Qayyum, al-Qahir, al-Qahhar, al-Qarib, al-Qâdir, al-Qadîr, Qabil at-Tawb, al-Qa’im ‘ala Kulli Nafs bima Kasabat, al-Kabir, al-Karim, al-Kafi, al-Lathif, al-Malik, al-Mu’min, al-Muhaimin, al-Mutakabbir, al-Mushawwir, al-Majîd, al-Mujib, al-Mubin, al-Mawla, al-Muhith, al-Muqit, al-Muta’al, al-Muhyi, al-Mutabayyin, al-Mutaqaddir, al-Musta’an, al-Mubdiy’, Malik al-Mulk, al-Nashîr, an-Nur, al-Wahhab, al-Wahid, al-Walîy, al-Wâliy, al-Wasiy’, al-Wakil, al-Wadud, al-Hadiy. Lihat, al-Mu’jam al-mufahras, vol.8, hal.361-363.

14. Ibid., hal.124.

15. Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras, hal.459, Istanbul.

16. M.H. Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, vol.8, hal.359, Muassasah al-Alami li al-Mathbu’at, Beirut, 1991.

17. QS. al-Isra [17]: 110.

18. Sayid Quthub, Fi Zhilal al-Quran, jil.5, juz.15, hal.73, Dar asy-Syuruq, Kairo, 1987.

19. Untuk pembahasan ini, lihat tafsir ayat bersangkutan dalam kitab-kitab tafsir klasik: Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil; Zamaksyari, al-Kasysyaf; Bagdadi, Tafsir al-Khazin; dan Nasafi, Madarik at-Tanzil wa Haqaiq at-Ta’wil, dan lain-lain.

20. Yaitu keterangan dari Ali ibn Abi Thalib ra, menurut sebuah penuturan; [tulisan Arab].

21. Ibid.
Terakhir Diperbaharui ( Jumat, 09 Mei 2008 16:48

Makna dariNYA

Tuhan Berfilsafat?
Senin, 11 Juni 2007 11:36 Muhsin Labib .Apakah ayat-ayat Al-Qur’an dapat diperlakukan sebagai premis-premis dan teks-teks semata yang harus tunduk pada standar validitas dalam logika? Apakah Al-Qur’an menganjurkan kita untuk ‘percaya bahwa’? Apakah Al-Qur’an memuat argumentasi tentang keberadaan Tuhan, Sang kausa Prima ataukah tidak?

Ada beberapa pendapat dan jawaban atas pertanyaan di atas. Pertama, bahwa dalam Al-Qur’an tidak terdapat ayat yang memuat argumentasi rasional akan keberadaan Tuhan karena keberadaan-Nya sangat jelas dan fitri. Kedua, meski keberadaan Tuhan bersifat fitri, namun terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskannya. Muthahhari berkata: “Jika kita keberatan untuk mengakui bahwa keyakinan akan keberadaan Tuhan merupakan bagian lainnya dari fitrah atau naluri, maka paling tidak kita harus mengakui bahwa kekhawatiran akan keberadaan Tuhan dan pertanyaan tentang hal itu adalah masalah yang bersifat fitri [1]. Ketiga, karena pembuktian keberadaan Tuhan dalam Al-Qur’an meniscayakan siklus (daur), sebagaimana ditetapkan dalam kaidah logika. Keempat, al-Qur’an tidak menyinggung masalah keberadaan Tuhan karena ia adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa dan telah mengimaninya. Kelima, dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengandung pembuktian rasional tentang keberadaan Tuhan[2]. Menurut Syahristani, karena wujud Tuhan bersifat fitri (inheren), maka yang diperintahkan dan dijadikan sebagai taklif adalah mengenal keesaan (mengesakanNya) dan menghapuskan syirik (politeisme)[3].

Ayat-ayat Ontologis
Salah satu ayat yang dianggap memuat argumentasi ontologis tentang wujud Allah adalah firman Allah: ام خلقوا من غير شي ام هم الخالقون (Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri)[4]”. Menurut Al-Fakhr Al-Razi, dalam ayat ini, ada satu kalimat introgatif yang asumtif (muqaddar), yaitu “ama khuliqu” (tidakkah mereka diciptakan?) sebelum “apakah mereka diciptakan dari selain sesuatu ataukah mereka adalah pencipta-pencipta”[5]. Pertanyaan ini diajukan kepada orang-orang mendusktakan keesaan Allah. Kata syay’, menurut para filosof dan mutakallimin berarti sesuatu yang ada, karena ke-sesuatu-an (Asy-Syay’iyah, thingnes) identik dengan ke-ada-an atau keberadaan, sedangkan ke-tidak-sesuatuan atau la syay’iyah[6]atau nothingnes berarti ketiadaan[7]. “Adakah mereka diciptakan bukan dari dari sesuatu” berarti “Adakah mereka diciptakan oleh yang tiada (al-ma’dum)?”

Memang ayat ini tidak secara eksplisit membuktikan keberadaan Tuhan. Namun kita dapat menggali dari kandungan ayat yang bersifat introgatif ini sebuah argumentasi rasional. Yaitu bahwa keberadaan manusia dapat diasumsikan dalam salah satu dari tiga kemungkinan; manusia muncul dengan sendirinya tanpa pencipta atau sebab pengada; manusia menciptakan dirinya sendiri; dan manusia diciptakan oleh selain dirinya. Seandainya mereka beranggapan bahwa mereka tidak diciptakan, maka berarti mereka menolak kausalitas yang berujung pada penolakan terhadap eksistensi eksistensi mereka sendiri, atau mengangggap diri mereka sebagai pencipta. Bila mereka masing-masing adalah pencipta, maka berarti mereka telah ada sebelum ada. Ia harus ada karena menjadi pencipta, dan sekaligus tidak ada karena akan diciptakan.

Ayat-ayat seputar keesaan Tuhan dapat dibagi tiga: berdasarkan kandungan dan signifikansinya, menjadi dua tiga; pertama adalah ayat-ayat deskriptif atau informatif (al-ayât al-bayâniyah, al-ayat At-tawshifiyah); kedua adalah ayat-ayat instruktif (al-ayat-At-taklifiyah); dan ketiga adalah ayat-ayat argumentatif (al-ayat al-istidlaliyah).

Ada kalanya al-Qur’an menerangkan diri, keesaan, sifat-sifat dan perbuatan-perbuat Allah dalam bentuk keterangan, seperti “Tiada sesuatu yang menyerupainya”[8].

Biasanya ayat-ayat yang berbentuk proposisi predikatif ini diletakkan pada bagian akhir rangkaian ayat, seperti والله سميع بصير atau والله بما تعملون خبير dan sebagainya. Ayat-ayat yang berbentuik proposisi predikatif ini sangat banyak, karena sebagian besar sasaran dakwah Nabi SAW adalah masyarakat awam yang menjadikan figur Nabi sebagai tolok ukur kebenaran.

Ada kalanya al-Qur’an menjadikan keesaan sebagai taklif , dalam bentuk perintah baik kepada Nabi ataupun kepada masyarakat, seperti firman Allah dalam surah al-ikhlas, “Katakanlah bahwa Allah itu satu”. Bentuk ayat yang berupa proposisi aktif ini tidaklah banyak, karena ia hanya berlaku bagi orang-orang yang telah mengimani keesaan Allah. Biasanya ayat-ayat demikian diawali dengan kata kerja perintah “katakanlah” (perintah), karena ditujukan kepada Nabi. Ada kalanya pula al-Qur’an memuat firman Allah yang dapat dijadikan sebagai argumentasi atas wujud, keesaan dan sifat-sifat-Nya. Ayat-ayat argumentatif cukup banyak. Tapi hampir bisa disepakati bahwa ayat-ayat argumentatif tersebut berkenaan dengan keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya.[9].

Argumen-argumen keesaan Tuhan dalam al-Qur’an sangat beragam. Ada pula membagi argumentasi-argumentasi dalam al-Qur’an menjadi empat; argumentasi penciptaan dan kreasi (al-khalq wa al-ibda’), argumentasi keteraturan alam (al-nidham), argumentasi fitrah dan argumentasi rasional. [10]. Namun semuanya dapat diringkas menjadi dua kelompok; argumen kosmologis dan argumen antropologis. Argumen-argumen kosmologis dalam al-Qur’an juga bermacam-macam; Terdapat sejumlah ayat yang berkenaan dengan makro-kosmos, seperti ayat-ayat sebagai berikut: [11]
خلق السموات بغير عمد ترونها , والقى فى الارض رواسى ان تميد بكم و بث فيها من كل دابة و انزلنا من السماء ماء فأنبتنا فيها من كل زوج كريم , هذا خلق الله فأرونى ماذا خلق الذين من دونه بل الظالمون فى ضلال مبينالم تر ان الله انزل من السماء ماء فاخرجنا به ثمرات مختلفا الوانها ومن الجبال جدد بيض و حمر مختلف الوانها و غرابيب سود , ومن الناس و الدواب و الانعام مختلف الوانه كذلك انما يخشى الله نن عباده العلماء
Ada banyak pula ayat-ayat yang menyinggung tema mikro-kosmos, seperti ayat-ayat sebagai berikut : [12]
اقرأ باسم ربك الذى خلق , خلق الانسان من علق, “هل اتى على الانسان حين من الدهر لم يكن شيئا مذكورا , انا خلقناه من نطفة امشاج نبتليه فجعلناه سميعا بصيرا""ولئن سالتهم من خلقهم ليقولن الله"

Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat argumentatif tentang keesaan (al-wahdaniyah) Tuhan. Salah satunya adalah firman Allah: “Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?”[13] Nabi Yusuf mengajak berfikir teman satu selnya, manakah yang rasional, meyakini beberapa tuhan yang beraneka macam ataukah satu Tuhan?. Dari ayat introgratif ini, Al-Qur’an memperkenalkan sebuah argumen ontologis tentang keberadaan Tuhan yang paling mudah dipahami, yaitu Burhan An-Nadhm (keteraturan).

Keteraturan yang dimaksudkan di sini adalah keharmonisan dan keterikatan antar setiap bagian atau antar masing-masing person baik dari esensi yang sama, maupun berlainan menuju suatu tujuan tertentu, seperti keharmonisan antar bagian-bagian pohon atau keseimbangan yang merupakan konsekuensi antara kehidupan manusia dan hewan. Jika setiap fenomena alam diatur oleh beberapa tuhan, maka tentu alam akan menjadi kacau. Bayangkan bila air dikendalikan oleh satu Tuhan, mendung diurus oleh Tuhan lain, matahari berada di bawah kendali Tuhan lain, maka hujan yang merupakan akibat dari akumulasi fenomena sebelumnya itu tidak akan pernah terwujud. Dengan kata lain, seandainya benar bahwa mereka adalah Tuhan-Tuhan, maka masing-masing tidak membutuhkan hasil penciptaan dan pengaturan Tuhan lainnya. Seandainya membutuhkan, maka berarti Tuhan yang membutuhkan selain dirinya itu bukanlah Tuhan. Itulah kontradiksi. Bila setiap fenomena alam diciptakan oleh beberapa Tuhan, niscaya matahari tidak akan butuh pada mendung, mendung tidak akan membutuhkan angin, dan begitulah seterusnya. Ketika masing-masing fenomena alam itu berdiri sendiri, maka akan bercerai-berai. Ketika bercerai-berai, maka tidak akan mewujudkan fenomena yang namanya hujan.[14] Karena itulah “khair” (yang bisa diartikan baik dan bisa pula diartikan lebih baik) dalam ayat “Apakah beberapa tuhan yang berpencaran lebih baik dari satu Tuhan Yang Maha Perkasa” mungkin bisa diartikan secara modern dengan “lebih rasional”.
Menurut Muhammad Taqi Misbah pengetahuan dan pengakuan manusia akan Allah, dalam ayat tersebut, adalah pengetahuan yang sifatnya huduri-syuhudi (ilmu huduri) dan bukan hushuli[15]. "Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai anak-anak Adam, agar kalian tidak menyembah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata. Dan sembahlah Aku. Itulah jalan yang lurus[16]." Sebagian ulama berpendapat, bahwa perintah ini terjadi di alam sebelum alam dunia, dan dijadikan sebagai bukti, bahwa mengenal Allah adalah sebuah fitrah.
"Di kala mereka menaiki kapal, mereka berdoa (memanggil) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun, ketika Allah menyelamatkan mereka ke daratan, mereka kembali berbuat syirik[17]." Ayat ini menjelaskan, bagaimana fitrah itu mengalami pasang surut dalam diri manusia. Biasanya, fitrah itu muncul saat manusia merasa dirinya tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan. Dalam kitab tafsir Al-amtsal disebutkan, bahwa kesulitan dan bencana dapat menjadikan fitrah manusia tumbuh, karena cahaya tauhid tersimpan dalam jiwa setiap manusia. Namun, fitrah itu sendiri bisa tertutup, disebabkan oleh tradisi dan tingkah laku yang menyimpang, atau pendidikan yang keliru. Lalu ketika bencana dan kesulitan dari berbagai arah menimpanya, sementara dia tidak berdaya menghadapinya, maka pada saat seperti itu dia berpaling kepada Sang Pencipta[18]. Oleh karena itu, para ahli ma’rifat dan ahli hikmah berkeyakinan, bahwa dalam suatu musibah besar, yaitu kesadaran manusia terhadap (keberadaan) Allah muncul kembali

Ayat-ayat Kosmologis

Selain menegaskan bahwa masalah tauhid adalah fitrah, al-Qur’an juga berusaha mengajak manusia berpikir dengan akalnya bahwa di balik terciptanya alam raya dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya (membuktikan) adanya Sang Pencipta.

Allamah al-Hilli, teolog kenamaan Syiah, menjelaskan, bahwa para ulama dalam upaya membuktikan wujud Sang Pencipta mempunyai dua jalan. Salah satunya, adalah dengan jalan membuktikan wujud Allah melalui fenomena-fenomena alam yang membutuhkan ‘sebab’, seperti diisyaratkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini: "Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di alam raya ini (afaq) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia itu benar (haq). Inilah jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim as. Pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. seperti ini dalam mencari Tuhan, yang sebenarnya iatujukan untuk mengajak kaumnya berpikir, merupakan metode Afaqi yang efektif sekali.[19]

Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat langsung ayat-ayat yang menjelaskan pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. tersebut dalam al-Qur’an[20]. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengajak kita untuk merenungkan fenomena alam dan keunikan-keunikan makhluk yang ada di dalamnya, sangatlah banyak. Tentang hal ini, kami mencoba mengklasifikasikan kepada dua kelompok:

Pertama, ayat-ayat tentang benda-benda mati di langit dan di bumi. Misalnya, ayat yang berbunyi, "Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memiliki akal[21]." Atau ayat lain berbunyi, "Sesungguhnya, pada pergantian malam dan siang dan apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertaqwa.[22]" Kedua ayat tersebut dan ayat-ayat lainnya, memandang langit dan seisinya serta bumi dan segala yang terkandung di dalamnya, sebagai tanda dan bukti wujud Allah swt.. Karena secara akal, tidak mungkin semua itu ada dengan sendirinya, di samping semuanya itu akan mengalami perubahan atau hadits. Kedua, ayat-ayat tentang keunikan berbagai ragam binatang. Antara lain nya ayat yang berkenaan dengan kehidupan lebah, "Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pada pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari berbagai buah-buahan, dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan. (Lalu) dari perut lebah tersebut akan keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Padanya terdapat obat untuk manusia. Sesungguhnya, pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.[23]" Seekor lebah akan hinggap dari satu bunga kepada bunga yang lain, untuk menghisap cairan yang terkandung di dalamnya, lalu (darinya) dihasilkan madu yang lezat dan dapat dimanfaatkan sebagai penawar penyakit.

Di samping ayat fitrah dan Afaqi, terdapat pula ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang ketuhanan melalui pendekatan argumentasi rasional (Burhan Aqli). Antara lain sebagai berikut:

Pertama: "Seandainya di langit dan di bumi terdapat beberapa Tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan rusak.[24]" Dalam terminologi ilmu mantiq (logika aristotelian) argumentasi di atas disebut dengan qiyas istitsna’i. Qiyas ini terdiri dari dua unsur yang disebut dengan muqaddam dan tali.Ia mempunyai mempunyai beberapa bentuk, salah satunya ialah, jika tali itu benar maka muqaddam benar juga, dan jika tali keliru maka dengan sendirinya muqaddam keliru. Dalam aplikasi kehidupan sehari-hari mereka seringkali memberi contoh seperti ini, jika matahari terbit maka siang tiba, namun jika siang belum tiba berarti matahari belum terbit. Jika Tuhan itu berbilang maka alam raya ini tidak teratur dan seimbang, namun kenyataannya alam raya ini teratur dan seimbang, berarti Tuhan tidak berbilang. Dalil ini disebut para mutakallimin dan filosof dengan istilah dalil tamanu’ (bukti kontradiksi)’.

Kedua: "Tidaklah Allah mempunyai anak dan tidak pula ada Tuhan di samping -Nya. (karena jika mempunyai anak dan ada Tuhan selain-Nya), maka masing-masing Tuhan akan membawa ciptaan-Nya sendiri dan sebagian akan lebih unggul dari sebagian yang lainnya[25]." Ayat ini juga menggunakan qiyas yang sama dengan ayat sebelumnya. Maksud ayat tersebut, ialah bahwa jika Tuhan itu banyak, maka masing-masing dari mereka mempunyai ciptaan sendiri-sendiri sebagai bukti kekuasaannya, dan mereka akan mengaturnya sesuai dengan kemauan mereka. Tiada yang dapat memaksa dan menghalangi kemauan mereka. Jika ada satu Tuhan yang mengalah atau dikalahkan kemauannya oleh yang lainnya, maka dia sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan harus Maha Kuat dan Maha Kuasa yang tidak mungkin terkalahkan. Lebih jelas lagi, jika Tuhan itu banyak, maka mampukah sebagian mengalahkan yang lainnya? Jika dapat, maka yang kalah bukanlah Tuhan, sebaliknya jika tidak dapat, maka Tuhan yang tidak bisa mengalahkan Tuhan yang lain sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan adalah Maha Kuasa.

Ketiga: "Katakanlah, sendainya terdapat beberapa Tuhan di samping-Nya, sebagai mana yang mereka yakini, niscaya mereka mencari jalan menuju Tuhan, Pemilik ‘Arsy.[26]"

Ayat ini juga menggunakan pendekatan yang sama dengan ayat sebelumnya, yaitu qiyas istitsna’i. Allamah Thabathabai dalam mengomentari ayat di atas berkata, "Kesimpulan dalil ini ialah bahwa jika terdapat beberapa tuhan di samping Allah swt., sebagaiman yang mereka yakini, dan setiap mereka dapat meraih apa yang dimiliki-Nya, maka mereka ingin meraih kekuasaan dan akan menyingkirkan-Nya, sehingga mereka akan lebih berkuasa. Lantaran, keinginan untuk berkuasa merupakan ciri dari segala sesuatu yang wujud. Namun tiada satupun yang dapat melakukan hal itu.[27]" Dalam ayat tersebut disingung kata-kata ‘Arsy, sebagai tempat yang sangat agung dan tinggi, serta merupakan lambang kebesaran dan kekuasaan yang paling tinggi. Mereka pasti ingin menguasainya, sebagai bukti kebesaran mereka.

Keempat: "Katakanlah,’Tidakkah kalian perhatikan, jika Allah jadikan untuk kalian malam terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepada kalian?’ Maka apakah kalian tidak mendengar?[28]" Dalam ayat lain Allah berfirman: "Katakanlah,’Tidakkah kalian renungkan, jika Allah jadikan untuk kalian siang terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepada kalian untuk beristirahat?’ Tidakkah kalian perhatikan?"

Kedua ayat ini dengan tegas membantah kaum musyrikin yang menganggap patung-patung sebagai Tuhan. Andaikan patung-patung itu Tuhan, maka mereka harus bisa mengubah hukum alam ini, karena Tuhan adalah Dzat yang Mahakuasa.
Kelima: ‘Sesungguhnya Allah mendatangkan (menerbitkan) matahari dari ufuk timur, maka terbitkanlah ia dari ufuk barat?’ Maka terdiamlah orang kafir[29]." Ayat ini menceritakan perdebatan antara Nabi Ibrahim as. dengan raja Namrudz yang mengaku sebagai Tuhan. Iaingin mematahkan argumen Namrudz, dengan cara menyuruhnya agar memperlihatkan kekuasaan dan keperkasaannya dengan menerbitkan matahari dari ufuk barat bukan dari ufuk timur.

Permintaan Nabi Ibrahim as. seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh Raja Namrudz, sehingga tampak jelas di mata khalayak banyak, bahwa Raja Namrud bukan Tuhan semesta alam. Nabi Ibrahim as. dikenal sebagai seorang nabi yang bijak dan cerdik, yang sering memojokkan lawan bicaranya dengan argumentasi yang sederhana namun akurat, sehingga lawan bicaranya dibuat tidak berkutik. Allah swt. sering mengutip dalam kitab-Nya tentang perdebatan iadengan orang musyrik, misalnya dalam surah al-Anbiya, ayat 62 sampai ayat 65.

Keenam: "Sungguh telah kafir orang-orang yang meyakini, bahwa Tuhan itu adalah al-Masih putera Maryam. Katakanlah,’Maka siapakah yang dapat menahan Allah, jika hendak mematikan al-Masih putera Maryam dan Ibunya atau seluruh yang hidup di muka bumi ini?[30]"

Penuhanan Nabi Isa sudah berlangsung sejak zaman diturunkannya Al-Qur'an, bahkan jauh sebelumnya. Melalui ini, Allah ingin menyatakan, bahwa Isa al-Masih as. bukanlah Tuhan, tapi seorang manusia pilihan Allah. Karena terbukti (menurut kaum Nashrani), bahwa al-Masih telah meninggal, apapun alasan kematiannya. Hal ini mengindikasikan, bahwa al-Masih itu tidak lain dari ciptaan Allah semata, karena ciri khas Tuhan adalah kekal dan sejati.

Ketujuh: "(Tuhan) Pencipta langit dan Bumi, bagaimana mungkin Dia mempunyai putera, padahal Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu[31]”. Dalam ayat lain Allah berfirman: "Wahai manusia, kalian adalah faqir (membutuhkan) kepada Allah, sementara Allah adalah Mahakaya lagi Maha Terpuji[32]."

Kata faqir berarti sesuatu atau seseorang yang tidak mempunyai apa-apa. Allah ingin menegaskan, bahwa manusia itu benar-benar faqir , artinya benar-benar ia membutuhkan kepada Allah dalam segala perkara dan keadaan, hatta wujudnya (eksistensi dirinya). Atau dengan meminjam istilah Mulla Sadra, seorang filosuf Muslim dan penulis kitab al-Hikmah al-Muta’aliyah, yaitu bahwa selain Allah adalah faqir wujudi. Pengertian benar-benar faqir, diambil dari huruf alim lam Ta'alarif pada kata 'al-Fuqara’ (lihat teks arabnya) yang berkonotasi pembatasan atau pengkhususan (hashr). Sedangkan kata al-Ghani, berarti yang tidak membutuhkan apapun.

Sifat ghani hanya ada pada Allah saja. Jadi hanya Allah sajalah yang tidak membutuhkan apa-apa (al-ghina) kepada yang lain, merupakan ciri khas Tuhan semesta alam.

Kedelapan: "Dialah Yang Awal dan yang Akhir, yang tampak dan Yang Tersembunyi, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu[33]." Allah yang pertama dan terdahulu, sehingga tiada yang lebih dahulu, sehingga tiada yang lebih dahulu dari-nya. Akan tetapi, pada saat yang sama Dia yang Paling Akhir, sehingga tiada yang lebih akhir dari-Nya. Dia pula yang paling Tampak dan Jelas, dan tiada yang lebih jelas dari-Nya, akan tetapi pada saat yang sama Dia yang Tersembunyi, itu semua ada pada-Nya, karena Dialah ‘illat (prima kausa) segala sesuatu dan tidak tergantung kepada selain-Nya (al-Ghani), sementara segala sesuatu bergantung kepada-Nya dalam segala sesuatu dan keadaan (al-faqir).

Kesembilan: "Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya[34]". Ayat ini ringkas, namun menjelaskan wujud dan semua sifat kesempurnaan Allah swt.. Tiada sesuatu apapun pun yang menyerupai Allah dalam segala hal, karena andaikan ada sesuatu yang menyerupai Allah, maka Dia bukan lagi Maha Esa. Dia sangat jauh berbeda dengan makhluk-Nya. Dengan kesendirian-Nya dalam wujud dan sifat kesempurnaan, tapi pada saat yang sama Dia sangat dekat dengan makhluk-Nya, lantaran makhluk merupakan bagian dari wujud-Nya dan dalam liputan-Nya.

Pendek kata, kita bisa menggali premis-premis ontologis dan filosofis dari al-Qur’an. Tuhan bisa dikenali dan eksistensi serta keesaan-Nya dapat dibuktikan melalui ayat-ayat al-Qur’an, selama ia diperlakukan sebagai proposisi-proposisi ontologis. Itu berarti al-Qur’an dapat dipersembahkan sebagai sebuah teks rasional dan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan keandalannya. Bagi umat Islam, ayat-ayat al-Qur’an, selain sebagai proposisi-proposisi ekstemporal, adalah wahyu ilahi yang melampaui aksioma-aksioma logis.



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Ja’far Subhani, Allah Khaliq Al-kaun, Maktab Ad-Dakwah Al-Islamiyah, hal. 67, Qom, 1999.
[2] Abdul Aziz bin Al-Dardir, At-Tafsir al-maudhu’i li ayat at-tauhid, 25; Dr. Musthafa Muslim, Mabahits fi At-tafsir al-Maudhu’i, Dar al-Qalam, Damaskus 1989, hal. 106.

[4] QS: Al-Thur: 35
[5] Al-Fakhr Al-Razi, At-Tafisr Al-Kabir, hal 258, Dar Al-A’lami li Al-Mathbu’at, Beirut, 1989
[6] A.S. Hornby & E.C. Parnwell, Reader’s Dictionary, 347, Oxford Progressive English.
[7] M. H. M. H. Thabathabai, Nihayah Al-Hikmah, hal 32, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom
[8] QS Asy-Syura, 11
[9] M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Al-Qur’an, hal. 37 Mu’assasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
[10] Dr. Musthapha Moslem, Mabahits fi At-tafisr al-maudhu’i, hal. 121-161, cet 1, Dar Al-Qalam, 1989.
[11] QS: Luqman, 11 – 12
[12] QS: Al-alaq 1-2
[13] QS Yusuf: 39
[14] Ja’far Subhani, Muhadharat fi Al-Ilahiyat, 21-23, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom. M. Taqi Misbah Yazdi, Ma'arif Al-Qur'an, 87-94, Mu’assasah An-Nasyr Al-Islami, Qom, 1985.
[15] M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Al-Qur’an juz 1 hal 33. Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
[16] QS: Yasin, ayat 60-61
[17] QS: al-Ankabut ayat 65
[18] Naser Makarim Syirazi, Tafsir Al-amtsal, 2001, juz 16 hal 340-34, Dar Al-Ridha, Qom.
[19] Al-Hilli, Al-Bab Al-Hadi- Asyar, hal 7, Muasssah An-Basyr Al-Islami, Qom, 1985.
[20] QS: Al-An’am: 75-79
[21].QS: Fush-shilat: 53
[22] QS. Yunus: 6.
[23] QS. An-Nahl : 68-69
[24] QS: Al-Anbiya: 22
[25] QS: Al-Mukminun: 91
[26] QS. al-Isra: t 42
[27] M. H. M. H. Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, vol. 13 hal. 106-107, Dar Al-A’lami li Al-Mathbu’at, Beirut.
[28] QS. al-Qashash: 71-72
[29] QS: al-Baqarah: 258
[30] QS al-maidah: 17
[31] QS al-An’am: 101
[32] QS Fathir: 15
[33] QS al-Hadid: 3
[34] QS: asy-Syura :11
Terakhir Diperbaharui ( Senin, 11 Juni 2007 11:55 )