Selasa, 01 September 2009

DI BULAN RAMADHAN

Hukum-Hukum Seputar Puasa (III)

Niat Puasa

Niat dalam melaksanakan puasa merupakan rukun yang harus dipenuhi. Rasulullah saw bersabda:

إنّمَا الأَعْمَالُ بالنِّيّاتِ
“Sesungguhnya amal itu ditentukan oleh niatnya.” (HR.Bukhari)


Namun demikian para ulama berbeda pendapat tentang pelaksanaan niat dalam ibadah puasa. Abdullah bin Umar, Jabin bin Zaid dari kalangan sahabat, Malik, al-Laits dan Ibnu Abi Zi’bin berpendapat bahwa niat puasa baik yang wajib dan sunnah adalah di malam hari mulai dari pasca terbenamnya matahari hingga sebelum terbitnya fajar. Abu Hanifah. Syafi’I, Ahmad berpendapat bahwa wajib berniat di malam hari untuk puasa wajib (puasa Ramadlan, nadzar dan kaffarat) sementara puasa sunnah tidak wajib di malam hari dan boleh di siang hari. Pendapat ini adalah yang rajih dengan dalil:


عَنْ حَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ.

Dari Hafsah istri Rasulullah saw dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar maka tidak ada puasa atasnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan ia menshahihkannya demikian pula dengan al-A’dzamy)


Hadits ini berlaku umum baik puasa wajib ataupan sunnah. Namun terdapat riwayat lain yang menjelaskan bahwa Rasulullah berniat puasa setelah terbit fajar.


عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ فَقُلْنَا لَا قَالَ فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا فَأَكَل

Dari Aisyah Ummul Mu’minin ia berkata: pada suatu hari Nabi saw masuk menemui saya dan berkata: “Apakah engkau memiliki sesuatu?” Kami berkata: “Tidak ada.” Beliau lalu bersabda: “(kalau begitu) saya berpuasa.” Kemudian di hari lain beliau mendatangi kami dan kami berkata: “Ya Rasulullah saw kami diberi hadiah hais.” Ia lalu bersabda: “Perlihatkan kepadaku meski sejak pagi saya berpuasa.” Lalu beliau memakannya. (HR. Muslim). Hais adalah makanan yang terbuat dari minyak samin dan keju yang kadang diganti dengan tepung.


Konteks hadits di atas adalah puasa sunnah. Hal ini karena tidak mungkin bagi Rasulullah mencari makanan jika ia wajib berpuasa pada hari itu. Dengan demikian maka hadits sebelumnya telah ditakhsis oleh riwayat diatas sehingga puasa yang harus diniatkan sebelum fajar adalah puasa wajib sementara puasa sunnah dapat dilakukan setelah terbit fajar dengan catatan sebelumnya ia melakukan hal-hal yang membatalkan puasa yaitu makan, minum dan melakukan hubungan seksual.


Hal tersebut senada juga sejalan dengan sikap Ibnu Abbas


عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّهُ كَانَ يُصْبِحُ حَتَّى يُظْهِرَ ، ثُمَّ يَقُوْلُ : وَاللهِ لَقَدْ أَصْبَحْتُ وَمَا أُرِيْدُ الصَّوْمَ ، وَمَا أَكَلْتُ مِنْ طَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ مُنْذُ الْيَوْمِ وَلَأَصُوْمَنَّ يَوْمِي هَذَا

Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a. bahwa beliau dari pagi sampai dzhur kemudian berkata: demi Allah saya tidak menginginkan puasa namun pada hari ini saya belum makan dan minum. Maka saya akan puasa pada hari ini. (HR. at-Thahawy dalam kitab Syarh Ma’ani al-Atsar)


Meski hadits di atas merupakan atsar sahabat sehingga tidak dapat dijadikan dalil namun ia adalah hukum syara’ yang boleh diadopsi apalagi tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut telah ditentang oleh sahabat yang lain. Riwayat tersebut juga menyatakan bahwa niat puasa dapat dilakukan meski telah masuk waktu dhuhur selama sebelumnya belum makan dan minum.


Niat dalam puasa Ramadhan wajib ditunaikan setiap hari karena ibadah tersebut adalah berdiri sendiri yang waktunya mulai dari terbit fajar dan berakhir ketika matahari terbenam. Puasa hari ini tidak rusak karena rusaknya puasa sebelum dan setelahnya. Dengan demikian niat tidak cukup hanya dengan niat berpuasa sebulan penuh namun harus ditunaikan setiap malam.


Menahan diri dari yang membatalkan puasa

Orang yang berpuasa wajib menahan diri dari makan dan minum serta memasukkan sesuatu ke dalam rongga otaknya (dimagh) seperti memasukkan air lewat hidung dan telinga. Allah swt berfirman:


وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian antara benang putih dan benang hitam dari fajar dan sempurnakanlah puasa kalian hingga malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)


Rasulullah saw bersabda:


عَنْ عَاصِمِ بْنِ لَقِيطِ بْنِ صَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ لَقِيطِ بْنِ صَبْرَةَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِى عَنِ الْوُضُوءِ. قَالَ « أَسْبِغِ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
Dari Ashi bin Laqith bin Shabrah dari Bapaknya ia berkata: Ya Rasulullah terangkanlah kepadaku tentang wudlu. Beliau bersabda: sempurnakanlah wudlu, silanglah bagian jari-jemari dan hiruplah air kuat-kuat kehidung kecuali engkau dalam keadaan puasa.” (HR. Abu Daud. Al-Albany menshahihkan hads ini)


Ini merupakan mafhum mubalaghah agar orang yang berpuasa tidak menghisap air ke hidung dengan kuat sehingga air masuk ke rongga otak. Ini berarti memasukkan sesuatu ke rongga otak dalam keadaan berpuasa mengakibatkan batalnya puasa. Oleh karena itu makan, minum, menghirup sesuatu lewat hidung, meneteskan sesuatu ke telinga baik yang dimakan, diminum, seperti nasi, air, tembakau, atau yang biasa diteteskan ke hidung dan telinga membatalkan puasa.


Orang yang berpuasa juga dilarang untuk melakukan hubungan seks baik mengeluarkan sperma atau tidak. Firman Allah swt:


فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Maka sekarang gaulilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah atas kalian dan makan dan minumlah hingga jelas benang putih atas benang hitam dari fajar.” (QS. Al- Baqarah [2] : 187)


Ayat tersebut menjelaskan bahwa dimalam hari diperbolehkan untuk menjima’ istri hingga terbit fajar. Mafhum mukhalafah ayat ini (mafhum al-ghayah) adalah setelah fajar maka kalian tidak boleh menjima’ mereka.


Demikian pula bersenang-senang dengan istri tanpa jima’ pada saat berpuasa maka puasanya tetap sah. Hal ini didasarkan pada hadits riwayat :


عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ هَشِشْتُ فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ. قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَضْمَضْتَ مِنَ الْمَاءِ وَأَنْتَ صَائِمٌ

Dari Jabir bin Abdullah berkata: Umar bin Khattab berkata: saya merasa …..maka saya mencium istri saya maka saya berkata: Ya Rasulullah hari saya membuat sesuatu yang besar sementara saya berpuasa. Beliau bersabda: bagaimana jika kamu berkumur dari air sementara kamu berpuasa?” (HR. Abu Daud. Al-Albany menshahihkan hadits ini)


Berkumur dalam keadaan berpuasa jelas tidak batal. Namun jika sampai menelannya maka puasanya batal. Demikian pula dengan mencium istri dan aktivitas selain jima’, tidak membatalkan puasa. Sebagian ulama mengatakan bahwa mencium wanita sampai mengeluarkan air mani maka puasanya batal berdasarkan hadits di atas. Alasannya berkumur-kumur dapat menyebabkan air masuk ke tenggorokan demikian pula dengan mencium dapat menggerakkan syahwat. Namun pendapat tersebut ditolak oleh Uwaidhah karena takwilnya dianggap lemah. Dengan demikian bersenang-senang dengan istri tanpa jima’ menurut beliau tidak membatalkan puasa.[i]


Orang yang sengaja muntah ketika berpuasa juga membatalkan puasa.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَنْ اسْتَقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ القَضَاءَ وَمَنْ ذَرَعَهُ القَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka hendaknya ia mengqadha puasanya dan barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak ada qadla atasnya.” (HR. Ad- Daruqthny. Seluruh perawinya tsiqah)


Orang yang berpuasa kemudian melakukan hal-hal yang membatalkan puasa dalam keadaan lupa maka ia tidak wajib mengqadla puasanya.


عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَفْطَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَ لَا كَفَّارَةَ
Dari Ummu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadlan dalam keadaan lupa maka tidak ada qadha dan kaffarat. (HR. Ibnu Hibban. Menurut al-Arnauth sanad hadits ini hasan)


Orang-orang yang tidak wajib berpuasa


a. Musafir

Orang yang sedang melakukan perjalanan diperbolehkan untuk tidak berpuasa.


عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها أَنَّهَا قَالَتْ سَأَلَ حَمْزَةُ بْنُ عَمْرٍو الأَسْلَمِىُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصِّيَامِ فِى السَّفَرِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ

Dari Aisyah r.a. ia berkata: Hamzah bin ‘Amr al-Aslamy bertanya kepada Rasulullah tentang puasa dalam perjalanan maka belia bersabda: Jika engkau mau berpuasalah dan jika engkau mau berbukalah.” (HR. Muslim)


Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama apakah berpuasa atau berbuka di dalam perjalanan. Namun menurut Ali Raghib jika ia tidak merasa berat berpuasa dalam perjalanan maka lebih utama baginya untuk berpuasa. Allah swt berfirman:


فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka barangsiapa diantara kalian yang sakit atau dalam perjalanan maka hendaklah ia menggantinya di hari lain dan orang-orang yang merasa berat maka hendaklah mereka membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin dan barangsiapa yang melebihkan kebaikan maka itu adalah kebaikana baginya dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 184)


Namun jika dengan berpuasa membuat dirinya kesulitan maka lebih utama baginya berbuka.


عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نَاسًا مُجْتَمِعِينَ عَلَى رَجُلٍ فَسَأَلَ فَقَالُوا رَجُلٌ أَجْهَدَهُ الصَّوْمُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ

Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah saw melihat orang-orang berkumpul pada seseorang. Beliau lalu bertanya, maka orang-orang menjawab bahwa orang tersebut merasa berat dengan puasanya maka Rasulullah saw bersabda: bukanlah bagian dari kebaikan berpuasa dalam perjalanan.” (HR. an-Nasai dan al-Albany mensahihkannya)


b. Orang Sakit

Bagi orang yang sakit yang masih diharapkan untuk sembuh maka ia diperkenankan untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain. Adapun jika sakitnya diperkirakan sulit untuk sembuh maka ia diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan fidyah. Allah swt berfirman:


وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan Allah tidak menjadikan bagi kalian kesulitan dalam agama ini.” (QS. Al-Haj: 78)


وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan orang-orang yang tidak mampu melakukannya maka mereka harus mengeluarkan fidyah dengan memberi makan orang-orang miskin.”

c. Orang Tua

Orang yang lanjut usia yang merasa berat untuk berpuasa juga diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar fidyah. Dalilnya firman Allah swt:


وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan orang-orang yang tidak mampu melakukannya maka mereka harus mengeluarkan fidyah dengan memberi makan orang-orang miskin.” (al-Baqarah: 184).

Ibnu Abbas berkata tentang ayat (وَعَلَى الذين يُطِيقُونَهُ) “yakni fidyah dimana mereka yang tidak mampu berpuasa yakni orang tua dan orang yang lemah yang tua dan tidak mampu berpuasa maka atas mereka membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin …”[ii]


d. Orang hamil dan menyusui

Bagi wanita hamil dan menyusui maka mereka mendapatkan rukhsah untuk tidak berpuasa sebagaimana halnya seorang musafir namun mereka wajib mengqadla puasa yang mereka tinggalkan di hari lain.


عن أنس بن مالك- رجل من بني عبد الله بن كعب إخوة بني قُشَيْرٍ - قال:أغارت علينا خَيْل لرسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فانتهيت- أو فانطلقت- إلى رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهو يأكل، فقال:” اجلس فأصب من طعامنا هذا “. فقلت: إني صائم!. قال: ” اجلس أُحَدثكَ عن الصلاة وعن الصيام: إن الله تعالى وضع شَطْرَ الصلاةِ- أو نصفَ الصلاة- والصومَ عن المسافر وعن المرضع والحُبْلَى “؛ والله! لقد قالهما جميعاً أو أحدهما. قال: فتَلَهفَتْ نَفْسِي أن لا أكونَ أكلتُ من طعام رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Dari Anas bin Malik bahwa seseorang dari Abdullah bin Ka’ab saudara Bani Qusyair berkata: kami mencari kuda Rasulullah saw lalu saya pergi menemui Rasulullah saw sementara beliau sedang makan. Beliau bersabda kepadaku: duduklah dan makan makanan kami. Saya berkata: saya sedang berpuasa. Duduklah saya akan memberitahukan engkau tentang shalat dan puasa. Sesungguhnya Allah telah meletakkan separuh shalat dan puasa orang yang dalam perjalanan, orang menyusui dan orang hamil. Demi Allah Ia telah mengatakan semuanya atau salah satunya. Ia berkata: maka saya menyesal tidak memakan makanan Rasulullah saw. (HR. Tirmidzy dan menurutnya hadits ini hasan, sementara Ibnu Khuzaimah menshahihkannya)


Dari hadits tersebut Rasulullah saw menjelasakan bahwa musafir, orang hamil dan orang yang menyusui dapat meninggalkan puasa. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa rukhsah bagi orang yang hamil dan menyusui hanya berlaku jika dikhawatirkan membahayakan ibu dan atau anaknya mendasarkan pendapat mereka pada hadits:


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْحُبْلَى الَّتِي تَخَافُ عَلَى نَفْسِهَا أَنْ تُفْطِرَ وَلِلْمُرْضِعِ الَّتِي تَخَافُ عَلَى وَلَدِهَا

Namun demikian hadits ini menurut al-Albany dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh Rabi’ bin Badar yang didhaifkan oleh Ibnu Hibban. Dengan demikian hadits ini tidak dapat digunakan untuk mentakhsis keumuman hadits pertama. Oleh karena itu wanita hamil dan menyusui baik ia khawatir atas diri dan anaknya, atau anaknya saja atau tidak khawatir maka ia boleh tidak berpuasa secara mutlak. Adapun kewajiban untuk mengganti puasa dihari lain maka dalilnya adalah karena puasa merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Namun karena mereka diperbolehkan berbuka karena ada udzur maka menjadi utang yang harus ditunaikan dihari lain. Sabda Rasulullah saw:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا قَالَ: أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ أَكَانَ يُؤَدِّى ذَلِكِ عَنْهَا. قَالَتْ نَعَمْ. قَالَ: فَصُومِى عَنْ أُمِّكِ

Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: seorang wanita datang kepada Rasulullah saw dan berkata: Wahai Rasulullah ibu saya telah meninggal sementara dia memiliki kewajiban untuk berpuasa nadzar, maka apakah saya harus berpuasa untuknya. Rasul bertanya: apakah jika ibumu memiliki utang lalu engkau membayarnya apakah itu dapat menebusnya? Wanita itu menjawab: iya. Lalu Rasul bersabda: maka berpuasalah untuk ibumu. (HR. Bukhari Muslim)


Orang yang hamil dan menyusui juga tidak diwajibkan membayar fidyah karena tidak ada dalil yang memerintahkan keduanya untuk melakukan hal tersebut.[iii]



e. Haid dan Nifas

Keluarnya haid dan nifas merupakan salah satu yang membatalkan puasa. Oleh karena itu wanita yang mengalami haid dan nifas tidak diwajibkan untuk berpuasa di bulan Ramadlan namun wajib mengganti di hari lain ketika ia telah suci. Berbeda halnya dengan shalat, maka wanita yang haid tidak diperintahkan untuk mengqada’ shalat mereka.

أَلَيْسَ إِذا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ: بَلى، قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصانِ دِينِها

“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak shalat dan tidak puasa? Mereka menjawab betul. Beliau bersabda: demikianlah bentuk kekurangan agama mereka.” (HR. Bukhari)


عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

Dari Muadzah ia bertaka: saya bertanya kepada Rasulullah saw: mengapa orang yang haid wajib mengqadla puasanya sementara ia tidak wajib mengqadha shalatnya. Ia balik bertanya: apakah engkau seorang Haruriyyah? Saya menjawab: bukan namun saya bertanya. Ia berkata: kami telah mendapati haidh lalu kami diperintahkan untuk mengqadla puasa namun tidak diperintahkan untuk mengqadla shalat.” (HR. Muslim)


Wanita yang haid dan nifas tidak melaksanakan puasa hingga darah berhenti mengalir dari diri mereka. Jika darahnya berhenti maka ia tidak lagi dikategorikan sebagai orang yang haid dan nifas sehingga wajib menunaikan puasa pada saat itu. Oleh karena itu jika seorang wanita berhenti haid atau nifas sebelum fajar namun ia belum sempat mandi maka ia wajib berpuasa. Hal ini karena syarat wajib berpuasa adalah suci dari haid dan nifas bukan bersuci dari keduanya. Namun demikian ia tetap wajib untuk mandi setelah masa haid dan nifas tersebut.



Puasa Orang Junub

Hal yang sama juga berlaku bagi orang yang junub. Jika ia junub karena telah melakukan hubungan seks, mimpi atau sebab lain dan masuk waktu fajar sementara ia belum bersuci maka maka ia wajib untuk berpuasa dan tidak boleh mengqadha puasanya.


عَنْ أَبي بَكْرٍ أَنَّ مَرْوَانَ أَرْسَلَهُ إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا يَسْأَلُ عَنِ الرَّجُلِ يُصْبِحُ جُنُبًا أَيَصُومُ فَقَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلُمٍ ثُمَّ لاَ يُفْطِرُ وَلاَ يَقْضِى.
Dari Abu Bakar bahwa ia telah diutus oleh Marwan menemui Ummu Salamah r.a. untuk bertanya tentang pria yang masuk waktu subuh dalam keadaaan junub apakah ia berpuasa. Ia menjawab: Rasulullah saw masuk diwaktu Subuh dalam keadaan junub karena jima bukan karena mimpu dan beliau tidak berbuka atau mengqadla puasanya.” (HR. Muslim)


عَنْ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ زَوْجَيِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم , رَضِيَ الله عَنْهُمَا , أَنَّهُمَا قَالَتَا : كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم يُصْبِحُ جُنُبًا فِي رَمَضَانَ مِنْ جِمَاعِ غَيْرِ احْتِلاَمٍ ثُمَّ يَصُومُ

Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi saw r.a. berkata: Rasulullah saw berada di waktu subuh dalam keadaan junub di bulan Ramadlan karena jima’ bukan karena mimpu kemudian beliau berpuasa.” (HR. Ibnu Hibban. Menurut al-Arnauth sanadnya sahih berdasarkan syarat Bukhari-Muslim)


Berbuka tanpa udzur

Ibadah puasa merupakan satu satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh mereka yang telah akil balilg dan tidak ada udzur syari yang meringankin dirinya untuk tidak berpuasa seperti dalam dalam perjalanan, sakit atau lanjut usia. Jika seseorang meninggalkan puasa secara sengaja maka ia akan mendapatkan azab yang pedih di akhirat kelak.


عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِىُّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَقُولُ: بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ فَأَتَيَا بِى جَبَلاً وَعْرًا فَقَالاَ لِىَ : اصْعَدْ فَقُلْتُ : إِنِّى لاَ أُطِيقُهُ فَقَالاَ : إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا أَنَا بَأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ فَقُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ.

Dari Abu Umamah al-Bahily ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Ketika saya tidur tiba-tiba saya didatangi oleh dua orang lalu menarik lengan saya dan membawa saya ke gunung yang berbenjol-benjol dan berkata kepada saya: “Naiklah.” Maka saya berkata: “Saya tidak mampu lalu mereka berkata lag:i”Kami akan memudahkan engkau.” lalu saya pun naik hingga saya berada di puncak gunung tersebut. Tiba-tiba saya mendengar suara yang keras maka saya bertanya: “Suara apakah itu? Mereka mnjawab: “Itu jeritan penduduk neraka.” Saya kemudian dibawa satu kaum yang digantung dengan urat di atas tumit belakang mereka sementara rahang mereka disobek-sobek sehingga mengeluarkan darah. Saya lalu bertanya:”Siapakah mereka?” Salah satu dari keduanya menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum sempurna puasa mereka.” (HR. an-Nasai, Ibnu Hibban, al-Baihaqy. Alhakim mensahihkan hadits ini dan disetujui oleh ad-Dzahaby)







--------------------------------------------------------------------------------


[i] Mahmud Latif ‘Uwaidhah, al- Jâmi li ahkâm as-Shiyâm, hlm. 234

[ii] Ibnu Abbas, Tafsir Ibnu Abbas hlm. 28

[iii] Ali Raghib, Ahkâmu as-Shalâh, hlm. 57
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/08/24/hukum-hukum-seputar-puasa-iii/


Tags: Ramadhan 1430 H

DI BULAN RAMADHAN

01.09.09 Jual Senjata Indonesia ke Israel IlegalHukum-Hukum Seputar Puasa (II)
Penentuan Awal dan Akhir Ramadlan*

Jumhur ulama berpendapat bahwa kesaksian melihat hilal bulan Ramadlan yakni permulaan bulan Ramadlan cukup satu orang. Jika disaksikan oleh seorang muslim yang adil bahwa ia telah melihat hilal Ramadlan maka seluruh kaum muslim wajib untuk berpuasa. Dari Ibnu Abbas r.a.

جَاءَ أَعْرَابِيُّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ : أَبْصَرْتُ الهِلاَلَ اللَّيْلَةَ فَقَالَ : أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا الله وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ قَالَ : قُمْ يَا فُلَانُ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ فَلْيَصُوْمُوْا غَدًا
Seorang orab datang kepada Rasulullah saw dan berkata: saya telah melihat hilal malam ini. Maka Rasul berkata kepadanya: “Apakah engkau berasaksi bahwa tiada tuhan selaian Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya?” Ia menjawab: “iya.” Rasul kemudian bersabda: “Berdirilah wahai Fulan dan serukan kepada manusia agar mereka berpuasa besok.” (HR. Ibnu Khuzaimah. Al-A’dzamy menshahihkannya)

عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ، فَأَخْبَرْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي رَأَيْته، فَصَامَ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: orang-orang melihat hilal lalu saya menginformasikan hal tersebut kepada Rasulullah saw bahwa saya telah melihatnya maka ia berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.” (HR. Al-Hakim, Ibnu Hibban dan mereka menshahihkannya)

Dengan demikian kesaksian seorang muslim yang adil bahwa ia telah melihat hilal telah cukup untuk menjadi dasar bagi seluruh kaum muslim untuk berpuasa. Hal yang sama juga berlaku dalam mengakhiri puasa.

عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النََبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْبَحَ صَائِمًا لِتَمَامِ الثَّلاَثِيْنَ مِنْ رَمَضَانَ فَجَاءَ أَعْرَابِيَّانِ فَشَهِدَا أَنْ لَا إِلهَ إَلَّا اللهُ وَإِنَّهُمَا أَهْلَاهُ بِالأَمْسِ فَأَمَرَهُمْ فَأَفْطِرُوْا
Dari seorang sahabat Nabi saw ia berkata: “Bahwa Nabi saw di suatu pagi berpuasa untuk menyempurnakan 30 hari Ramadlan. Lalu datang dua orang Arab yang bersaksi bahwa bahwa tiada tuhan selain Allah dan keduanya telah melihat hilal kemarin maka Rasul memerintahkan orang-orang untuk berbuka.” (HR. ad-Daruqthny dan ia menshahihkannya)


عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رضى اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّىَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلاَثِينَ

Muhammad bin Ziyad berkata saya mendengar Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya dan jika bulan tertutup awal awan maka sempurnakanlah 30 hari.” (HR. Muslim)

Pada hadits di atas Rasul menegaskan bahwa mengawali dan mengakhiri puasa ditentukan dari terlihatnya hilal. Sementara lafadz ‘melihat’ pada hadits berbentuk umum karena terdiri dari isim yang didhafahkan, sehingga mencakup penglihatan satu orang atau lebih. Adapun adanya dua orang Arab yang menyaksikan bahwa telah terlihat hilal Syawal maka hal tersebut merupakan gambaran terhadap realitas dan tidak menunjukkan bahwa jika dilihat oleh satu orang maka tidak diterima.


Penggunaan Metode Hisab Falak

Jumhur ulama berpendapat bahwa hisab falak tidak dapat dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan awal akhir Ramadlan. Alasannya jika manusia dibebankan untuk menggunakan hal tersebut maka akan membuat mereka kesulitan karena ilmu tidak diketahui kecuali oleh sekelompok orang sementara syara memerintahkan seseuatu yang diketahui oleh mayoritas dari mereka. Ibnu Surraij dikatakan sebagai salah satu ulama yang membolehkan menggunakan metode tersebut bagi orang-orang yang memiliki ilmu tersebut. Sabda Rasulullah ( فَاقْدُرُوْا لَهُ ) merupakan seruan kepada orang yang menguasai ilmu tersebut sementara hadits (فَأَكْمِلُوْا العِدَّةَ) merupakan seruan untuk seluruh ummat Islam. Pernyataan tersebut juga dinisbahkan kepada Ibnu Abdillah dan Ibnu Qutaibah.

Namun demikian kalimat ( فَاقْدُرُوْا لَهُ )tidaklah berarti sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Surraij. Pertama: perintah berpuasa dan berbuka dengan melihat hilal adalah perintah yang bersifat umum.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطُرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda: bulan itu 29 hari. Jangalah kalian berpuasa hingga melihatnya dan janganlah kalian berbuka hingga kalian melihatnya dan jika kalian terhalang melihatnya maka perkirakanlah.” (HR. Bukhari Muslim)

Hadits tersebut diserukan kepada seluruh ummat Islam baik melihat hilal, berpuasa, berbuka dan memperkirakannya. Jadi tidak ada pengkhususan untuk melakukan perkiraan yang khusus bagi orang yang memiliki ilmu falak saja.

Kedua, sebagaimana diketahui bahwa hadits saling menafsirkan antara satu dengan yang lain. Terdapat sejumlah hadits yang menjelasakan bahwa ( فَاقْدُرُوْا لَهُ ) tidaklah sebagaimana yang difahami oleh Ibnu Surraij antara lain:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله، قَالَ: قَالَ النَّبَيُّ صلى الله عليه وسلم، أَوْ قَالَ: قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Dari Abu Hurairah ia berkata Rasulullah saw atau Abu Qasim bersabda: berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya dan jika kalian terhalangi melihatnya maka sempurnakanlah perhitungan bulan Sya’ban 30 hari.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasai, Ibnu Hibban)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْمًا
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Jika kalian meliat hilal maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya maka berbukalah dan jika kalian terhalangi melihatnya maka berpuasalah 30 hari.” (HR. Muslim)

Dengan demikian jelas bahwa maksud ( فَاقْدُرُوْا لَهُ ) adalah hitung dan sempurnakan menjadi 30 hari.[1] Hal ini tentu dapat dilakukan oleh semua orang tanpa membutuhkan adanya keahlian khusus. Bahkan terdapat sebuah hadits yang dengan jelas menyatakan:

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
“Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka karena melihatnya….” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits tersebut menyatakan bahwa perintah berpuasa tidak hanya terlebih dahulu melihat hilal namun juga berisi larangan untuk tidak berpuasa hingga melihatnya. Oleh karena itu penentuan puasa hanya berdasarkan hisab falak jelas bertentangan dengan hadits tersebut.

Namun demikian perlu ditegaskan bahwa bukan berarti pemanfaatan ilmu falak tidak boleh dan tidak dibutuhkan. Penjelasan di atas hanya ingin menyatakan bahwa hisab falak bukan penentu untuk memulai awal dan akhir Ramadlan karena syara’ telah menegaskan bahwa memulai dan mengakhiri puasa Ramadlan harus dengan melihat hilal.

Peran hisab falak saat ini sangat penting dalam memberikan petunjuk kapan waktu yang tepat untuk melihat hilal sehingga memudahkan bagi orang yang bermaksud menyaksikannya. Demikian pula keberadaan alat-alat yang dapat membantu memperbesar dan memperdekat jarak objek ketika mengintai munculnya hilal adalah hal yang mubah untuk digunakan.

Memang metode hisab falak sangat akurat dalam menentukan awal dan akhir bulan hingga hitungan menit dan detik bahkan yang terjadi beberapa tahun yang akan datang sehingg peluang kesalahan dalam penetapan puasa sangat kecil. Meski demikian perlu difahami bahwa Allah swt tidak memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dengan tingkat kebenaran yang pasti. Jika demikian maka tentu akan menyulitkan kaum muslim. Ia hanya memerintahkan kita untuk menyembahnya berdasarkan pendapat yang dianggap paling benar. Jika pendapat tersebut benar secara pasti maka demikianlah, namun jika salah maka ia tetap diterima dan mendapatkan pahala serta telah bebas dari hisab. Ibadah dalam Islam tidaklah dilakukan dengan dengan pendekatan hisab dan keilmuan. Ia adalah hukum syara’ yang diperintahkan kepada kaum muslim untuk diikuti bersarkan pemahaman dan ijtihad mereka. Dengan cara tersebut Allah swt menerima apa yang mereka lakukan baik yang mendapatkan benar ataupun salah.

Syara’ telah menetapkan tata cara pelaksanaan ibadah puasa beserta metode untuk memulai dan mengakhirinya yakni dengan melihat hilal Ramadlan dan hilal Syawal dengan pandangan mata. Jika memang hisab merupakan metode maka tentu telah digunakan oleh Rasulullah dan para Sahabat namun yang terjadi justru sebaliknya metode tersebut diabaikan oleh beliau. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dari Nabi saw bersabda:


عن بْن عُمَرَ رضى الله عنهما يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِى الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا. يَعْنِى تَمَامَ ثَلاَثِينَ.
Dari Ibnu Umar r.a. ia mencerikatan dari Nabi saw berkata: “Kami adalah ummat yang ummi, tidak dapat menulis dan memperkirakan bulan. Bulan itu begini, begini dan begini—beliau menekuk telunjuknya yang ketiga—dan bulan itu begini, begini dan begini yakni disempurnakan 30 hari.” (HR. Muslim)

Padahal Islam adalah agama yang sempurna sehingga ia tidak memerlukan ilmu baru atau kesimpulan-kesimpulan yang bersumber dari akal dalam mensyariatkan hukum berserta metodenya. Meski demikian hal tersebut boleh digunakan hanya sebagai sarana, uslub dan alat selama ia tidak menggantikan peranan hukum syara dan metodenya serta tidak mengubah hukum dan metodenya sedikitpun.

Lalu mengapa dalam masalah puasa kita tidak dapat menggunakan hisab namun boleh igunakan untuk menetapkan waktu shalat? Jawabannya adalah karena metode penetapan pelaksanaan puasa dan haji telah ditetapkan oleh syara’. Untuk puasa sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya sementara untuk haji didasarkan pada hadits berikut:

عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ الْحَارِثِ الْجَدَلِيُّ مِنْ جَدِيلَةَ قَيْسٍ أَنَّ أَمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قَالَ عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
Dari Abu Malik al-Asyja’iy, Husain bin Harits al-Jadaly dari Jadilah Qais menceritakan kami bahwa amir Makkah berkhutbah kemudian berkata. Rasulullah saw telah menetapkan atas kami agar kami melaksanakan ibadah haji berdasarkan ru’yat. Namun jika kami tidak melihatnya namun disaksikan oleh seorang saksi yang adil maka kami melaksanakan ibadah haji berdasarkan kesaksian tersebut. (HR. Ad-Daruqthny dan ia menshahihkannya).

Sementara itu syara tidak menetapkan metode penetapan waktu pelaksanaan shalat. Syara’ hanya menjelaskan tanda-tanda yang menunjukkan masuknya waktu masing-masing shalat sehingga kita menggunakan tanda-tanda tersebut untuk menetapkan kapan waktu-waktu tersebut. Metode penetapan waktu puasa dan haji tidak dapat diqiyaskan dengan metode penetapan shalat karena dalam masalah ibadah qiyas tidak dapat diberlakukan kecuali memang terdapat dalil yang mengandung illat dalam masalah tersebut.

Dengan demikian penggunaan hisab falak tidak dapat dijadikan sebagai metode untuk menggantikan metode yang telah ditetapkan oleh syara yakni melihat dengan mata. Allah menghisab kita terhadap apa yang kita ketahui dan bukan yang tersembunya atas kita. Kita berpuasa dan berbuka dengan pandangan mata baik kita benar ataupun salah karena syara’ telah memerintahkan kita dengan cara tersebut. Namun sekali lagi ditekankan bahwa hisab falak tetap boleh digunakan sebagai alat bantu untuk mempermudah pelaksanaan rukyat.


Perbedaan Matla’

Para ulama berbeda pendapat apakah terlihatnya hilal di satu negeri juga berlaku bagi negeri lain. Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim bin Abdullah bin Abdullah bin Umar dan Ishak bin Rahuwaih berpendapat bahwa penduduk satu negeri tidak wajib berpuasa karena telah terlihatnya hilal di negari yang lain sebagaimana yang dituturkan oleh at-Tirmidzy. Hal yang sama juga dinukil oleh al-Mawardy dari madzhab as-Syafii.[2]

Abu Hanifah, Malik, Laits bin Sa’ad berpendapat bahwa jika hilal telah terlihat di satu negeri maka ia berlaku untuk seluruh negeri untuk berpuasa. Ibn Mundzir telah menukil hal tersebut dari banyak ulama termasuk dari sebagian ulama Syafii. Ibnu Qudamah menyatakan: “Jika hilal telah terlihat di satu negeri maka ia berlaku untuk negeri yang lain.”[3] Al-Qurthuby dalam kitab al-Istidzkar menyatakan: para ulama berbeda mengenai hukum terlihatnya hilal Ramadlan atau Syawal oleh suatu negeri sementara tidak bagi yang lain. Malik sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Qasim, orang-orang Mesir berpendapat jika telah ditetapkan bahwa penduduk suatu negeri telah melihat hilal maka penduduk yang lain wajib mengqadla puasa dihari mereka tidak berpuasa pada hari lain. Pendapat ini merupakan pendapat al-Laits, as-Syafii, penduduk Kufah dan Ahmad.[4]

Sementara itu ulama syafii sendiri yang berpendapat bahwa terlihatnya hilal di satu negeri tidak berlaku di negeri lain, berbeda pendapat tentang detail masalah tersebut. Diantara mereka ada yang berpendapat: jika kedua negeri tersebut berdekatan maka maka dihukumi satu negeri namun jika jarak keduanya jauh maka-yang paling kuat menurut Syekh Abu Hamid, Syekh Abu Ishak, Al Ghazaly dan kebanyakan dari mereka—tidak wajib berpuasa atas penduduk negeri lain yang tidak melihatnya. Pendapat yang lain menyatakan: ia wajib berpuasa sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu Thayyib, ar-Rawyani. Ibnu Mundzir berkata: “Ia adalah madzhab yang dhahir dan dipilih oleh seluruh sahabat kami dan al-Baghawy juga mengutip hal tersebut dari imam as-Syafii sendiri.

Mereka juga berbeda pendapat dalam masalah batasan dekat dan jauh. Ada yang berpendapat jarak yang berjauhan itu adalah adanya perbedaan matla’ seperti Hijaz, Irak dan Khurasan. Dan yang saling berdekatan seperti Baghdad, Kufah, dan Ray. Ada pula yang berpendapat: ditentukan berdasarkan persamaan dan perbedaan daerahnya sementara yang lain tidak perlu ditentukan dengan hal tersebut.

Mereka yang berpendapat tentang perbedaan matla’ yakni orang yang telah melihat hilal di satu negeri tidak berlaku bagi negeri lain mendasarkan pendapat mereka pada hadits yang diriwayatkan oleh Kuraib.[5]

عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَىَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِى آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ أَوَلاَ تَكْتَفِى بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم
Dari Kuraib bahwa Ummu Fadhli binti al-Harits telah mengutusnya kepada Muawiyah di Syam ia berkata: “Saya tiba di Syam lalu menuniakan hajatnya dan di malam hari nampak pada saya hilal Ramadlan sementara saat itu saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat kemudian saya tiba di Madinah di akhir bulan lalu Ibnu Abbas bertanya kepada saya kemudian ia menyebut hilal dan berkata kapan engkau melihat hilal? Saya menjawab: “Kami melihatnya malam Jumat.” Ia bertanya lagi: “Engkau melihatnya?” Saya menjawab: “Betul dan orang-orang juga melihatnya lalu mereka berpuasa sebagaimana halnya Muawiyah.” Ia berkata: “Akan tetapi kami melihatnya malam Sabtu lalu kami berpuasa hingga menyempurnakannya 30 hari atau kami melihatnya.” Saya bertanya: “Apakah tidak cukup dengan penglihatan Muawiyah dan puasanya? Ia berkata: “Tidak, demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kami.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzy dan Ahmad).

Menurut penganut pendapat pertama riwayat di atas menujukkan bahwa sikap Ibnu Abbas r.a. yang tidak menjadikan penglihatan penduduk Syam merupakan ketetapan yang berasal dari Nabi saw. Dengan kata lain pendapat Ibnu Abbas yang menolak pernyataan “apakah kita tidak mencukupkan penglihatan Muawiyah dan puasanya?” dengan ucapan: “tidak demikianlah yang diperintahkan Rasulullah saw kepada kita,” menunjukkan bahwa Rasulullah saw telah memerintahkan kaum muslim untuk tidak mengambil penglihatan orang-orang yang berada di negeri lain.

Pemahaman tersebut perlu didiskusikan. Pertama, perlu dibedakan antara perintah Nabi saw. dengan pemahaman Ibnu Abbas terhadap perintah Nabi saw. Jika memang terdapat perintah dari Nabi saw maka itu adalah dalil syara’ yang wajib dijadikan sandaran. Namun hal tersebut merupakan hasil pemahaman seorang sahabat maka statusnya adalah ijtihad sebagaimana halnya hasil mujtahid lain yang merupakan hukum syara’ yang dapat diikuti atau ditinggalkan.

Kedua, Ibnu Abbas telah mendengar sabda Rasulullah saw ( صُوْمُوا لِرُؤْيَتِهِ) (وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ ) dan memahami bahwa setiap masyarakat dari kaum muslim harus melihat hilal agar dapat berpuasa dan melihatnya lagi sehingga mereka berbuka. Sementara penglihatan selain masyarakat tersebut tidak cukup lalu ucapan beliau mengatakan “demikianlah yang diperintahkan Rasul kepada kita.” Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa ia merupakan hasil pemahaman Ibnu Abbas terhadap perintah Nabi saw di atas. Oleh karena itu yang harus dijadikan landasan adalah hadits yang berkaitan dengan ru’yatul hilal yang salah satunya diriwayatkan oleh beliau bukan pemahaman beliau terhadap hadits tersebut.[6]

Adapun ulama yang menyatakan bahwa jika satu negeri telah melihat hilal maka ia berlaku untuk negeri yang lain untuk berpuasa, didasarkan pada sejumlah hadits yang memerintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena melihat hilal. Mereka berpendapat bahwa terlihatnya hilal merupakan sebab terlaksananya puasa dan sebab terlaksananya berbuka. Jika terdapat sebab maka terdapat pula musabab yaitu puasa dan berbuka. Perkataan Rasulullah ( لِرُؤْيَتِهِ ) adalah isim jenis yang diidhafahkan sehingga ia termasuk lafadz umum. Demikian pula sabda beliau ‘hingga kalian melihatnya’ (حَتَّى تَرَوْا) , jika kalian melihatnya ( إذا رأيتم ) kata gantinya (dhamir) adalah isim jama’. Isim jama’ merupakan lafadz umum sehingga berlaku umum bagi kaum muslim. Sehingga siapapun dari mereka yang telah melihatnya maka berlaku bagi seluruh kaum muslim yang lain sehingga mereka wajib berpuasa pada hari tersebut. Inilah pendapat yang benar terhadap hadits yang berkenaan dengan ru’yatul hilal. Dengan demikian pendapat Ibnu Abbas yang dijadikan landasan pendapat pihak yang mengadopsi rukyat berdasarkan wilayah adalah pendapat yang marjuh.[7]

Pada tahun 1966 Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah di Kairo juga telah mengeluarkan keputusan bahwa ru’yatul hilal berdasarkan perbedaan matla’ meski negeri-negeri namun masih berada padaa malam yang sama tidak tepat. Oleh karena itu ketika hilal telah terlihat di salah satu negeri Arab maka hal tersebut juga berlalu bagi negeri-negeri lainnya.

Hal yang sama juga ditetapkan oleh Majlis al-Fatwa al-A’la di Palestina yang menguatkan pendapat bahwa penglihatan di satu tempat berlaku bagi tempat yang lain.

Negara Bangsa

Sayangnya pendapat para ulama di atas yang menyatakan bahwa rukyat hilal di satu negeri berlaku untuk negeri lain diabaikan oleh para penguasa mereka. Hal itu terjadi karena beberapa hal:

a.Seluruh negeri-negeri Islam saat ini telah mengadopsi faham sekularisme yang memisahkan urusan politik dengan agama. Akibatnya persoalan penetapan awal akhir Ramadlan tidak lagi didasarkan pada pendapat yang paling kuat dalilnya namun lebih didasarkan pada kemaslahatan mereka. Parahnya lagi mereka malah memintah kepada pada ulama untuk mendatangkan nash-nash yang mendukung pendapat mereka. Bukannya mereka menjadikan nash syara sebagai dasar keputusan mereka. Dengan demikian penguasalah yang membuat syariat sementara para ulama hanya menyetujui. Jika bertetangan maka yang dilaksanakan adalah pandangan penguasa.
b.Di samping itu umat Islam saat ini telah dibagi-bagi oleh negara-negara penjajah ke dalam puluhan negara bangsa yang terpisah antara satu dengan yang lain. Akibatnya masing-masing umat Islam di suatu negara menganggap dirinya bukan bagian dari ummat Islam yang secara syar’i harus bersatu. Akibatnya masing-masing negara menetapkan keputusan politik mereka termasuk dalam masalah keagamaan tanpa memperhatikan kaum muslim lainnya. Oleh karena itu dalam penentuan awal dan akhir Ramdlan masing-masing negara menetapkan sendiri keputusan mereka tanpa mempertimbangkan negeri-negeri yang lain apakah ada diantara mereka yang telah melihat hilal terlebih dahulu. Jika Malaysia telah melihat hilal namun Indonesia tidak melihatnya maka penduduk Malaysia berpuasa sementara penduduk Indonesia belum berpuasa termasuk mereka yang berada di daerah perbatasan meski jaraknya hanya sejengkal dan memiliki kesamaan matla’ berbeda dalam memulai dan mengakhiri puasa. Hal inilah yang sering dijumpai di negeri-negeri Islam. Jadi perbedaan tersebut bukan diakibatkan oleh perbedaan matla’ dimana para fuqaha berbeda pendapat namun lebih karena perbedaan batas negara, batas imaginer buatan penjajah yang telah mengkotak-kotakkan ummat Islam.
Inilah yang menjadi sebab bertahannya perbedaaan di negeri-negeri Islam khususnya yang berkenaan dengan awal dan akhir Ramadlan. Jika sekiranya neger-negeri tersebut menganggap diri mereka sebagai bagian dari ummat Islam yang lain maka akan dijumpai penyatuan sikap terhadap berbagai masalah termasuk dalam penetapan awal dan akhir Ramadlan. Di sinilah relevensi pentingnya eksistensi seorang khalifah yang menyatukan kaum muslim termasuk dalam penetapan awal dan akhir Ramadlan.

Oleh karena itu setiap muslim di tempat manapun ia berada wajib untuk berpuasa jika telah mendengar pengumuman dari negeri muslim manapun selama masih dalam malam yang sama. Demikian pula dengan mengakhiri Ramadlan kecuali dari negeri yang menjadikan hisab falak sebagai sandaran keputusan mereka. Ini karena metode tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan di atas adalah metode yang keliru. Wallahu a’lam bis shawab (muis)






--------------------------------------------------------------------------------


* Disadur dari Kitab al-Jâmi’ li Ahkâmi as-Shiyâm, karya Mahmud Latif Uwaidhah dengan sejumlah penambahan

[1] Lihat, Ibu Hajar, Fath al-Bâry, I/121

[2] Ibid, IV/123

[3] Ibnu Qudamah, al-Mughny, I/10

[4] Al-Istidzkar, III/282

[5] As-Syaukany, Nailu al-Authâr, VI/267

[6] Ibid, VI/267

[7] Lihat juga as-Syaukany, Nailu al-Authâr, VI/267

DI BULAN RAMADHAN

Hukum-Hukum Seputar Puasa (I)

Keutamaan Puasa



Definisi Puasa
Puasa secara bahasa berarti: menahan (الِإمْسَاكُ), diam الصُمْتُ)), tidak bergerak (الرُكُوْدُ) dan yang semakna dengannya. Allah swt berfirman:

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”. (QS. Maryam [19]:26)


Adapun menurut syara’ puasa adalah: menahan diri dari segala yang membatalkan yakni makan, minum, hubungan seks’ memasukkan air ke tenggorokan melalui hidung (isti’âth), muntah dengan sengaja (istiqâ) dengan niat bertaqarrub kepada Allah swt mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.[i]




Keutamaan Puasa


Banyak riwayat yang menjelaskan keutamaan ibadah puasa antara lain:


1. Puasa merupakan ibadah yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan ibadah lainnya


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Setiap satu amal kebaikan anak Adam dilipatgandakan menjadi 10 kali lipat hingga 700 kali lipat. Allah swt ‘azza wa jalla berfirman: “Kecuali puasa karena ia untuk saya maka saya yang akan membalas untuknya karena ia telah mengabaikan syahwat dan makanannya demi saya. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: kegembiraan ketika ia berbuka dan kegembiraan ketika ia berjumpa dengan tuhannya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dibandingkan dengan bau minyak kasturi.” (H.R. Muslim)


Salah satu keutamaan puasa menurut hadits di atas adalah bahwa untuk puasa Allah sendiri yang akan membalasnya. Kalimat tersebut menurut Ibnu Atsir telah dita’wilkan oleh para ulama dengan beragam. Namun inti dari makna tersebut adalah puasa merupakan rahasia antara Allah dengan seorang hamba dan tidak nampak dari orang lain. Dengan demikian orang yang benar-benar berpuasa tidak mungkin melakukan kecuali ia ikhlas untuk taat. Beliau juga menjelaskan bahw takwil yang menurutnya paling baik tentang hadits tersebut bahwa semua ibadah yang dijadikan sarana manusia untuk bertaqarrub kepada Allah swt seperti shalat, puasa, sedekah, i’tikaf, menyendiri, doa, kurban dll telah digunakan oleh orang-orang musyrik untuk menyembah tuhan-tuhan mereka dan apa-apa yang mereka jadikan sekutu atas Allah. Tidak terdengar satupun dari kelompok orang-orang musyrik di masa lampau yang menyembah dan bertaqarrub kepada tuhan-tuhan mereka dengan puasa. Puasa tidak dikenal kecuali berasal dari syariat. Oleh karena itu Allah swt berfirman: puasa itu untukku dan aku yang akan membalasnya. Artinya tak seorang pun yang menyekutukan Aku dalam puasa dan selain Aku tidak ada yang disembah dengan puasa. Oleh karena itu hanya Aku yang membalasanya oleh diri-Ku dan tidak mewakilkan kepada seseorang yang disembah atau selainnya karena ia khusus untuk-Ku.[ii]


An-Nawawy menambahkan bahwa frase “saya yang akan membalasnya” menunjukkan besarnya keutamaan puasa dan besarnya pahala yang diperoleh darinya. Hal ini karena jika Allah yang menginformasikan bahwa Ia sendiri yang akan membalasnya. Ini menunjukkan besarnya kadar pahala dan luasnya pemberian terhadapnya sebagaimana sabda Rasulullah saw: “bau mulut orang yang berpuasa di Hari Kiamat nanti lebih harum di sisi Allah dibandingkan dengan bau kasturi”[iii]


2. Puasa dapat menghapuskan dosa. Dari Hudzifah bahwa beliau mendengar Rasulullah saw bersabda:


فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِى أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَنَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ يُكَفِّرُهَا الصِّيَامُ وَالصَّلاَةُ وَالصَّدَقَةُ وَالأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْىُ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Dosa seseorang kepada istrinya, hartanya, dirinya, anaknya dan keluarganya dihapuskan oleh shalat, puasa, sedekah, amar ma’ruf dan nahi munkar.” (HR. Bukhari Muslim)


3. Puasa merupakan ibadah yang dapat melindungi seseorang dari siksa api neraka.


عن أبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ اللهُ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائمٌ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ لِلصَّائمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Allah swt berfirman: “Setiap perbuatan anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, maka ia adalah untuk saya dan saya yang akan membalasnya. Puasa itu adalah perisai. Jika seorang diantara kalian berpuasa maka janganlah ia berbicara cabul, berbuat gaduh. Jika ada yang mengejeknya atau memeranginya maka hendaklah ia berkata saya sedang berpuasa. Demi jiwa Muhammad yang berada di tangannya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau kasturi. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: ketika ia berbuka puasa maka ia bergembira dan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya maka ia bergembira dengan puasanya.” (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).


Ibnu Hajar telah merangkum pendapat para ulama mengenai makna junnah. Junah menurut Ibnu Abdi al-Bâr adalah pelindung dari api neraka. Penulis kitab an-Nihayah mengartikannya sebagai pelindung bagi pelakunya dari hal-hal yang menyakiti dirinya akibat syahwat. Sementara al-Qurthuby berpendapat bahwa puasa merupakan pelindung jika dilakukan sesuai syariat sehingga orang yang berpuasa seharusnya melindungi dirinya dari hal-hal yang dapat merusak dan mengurangi pahalanya sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Jika kalian berpuasa maka janganlah kalian berkata keji…dst. Makna junnah juga berarti pelindung berdasarkan faidahnya yaitu melemahkan syahwat. Kata tersebut juga dapat diartikan pelindung berdasarkan apa yang diperoleh berupa pahala dan dilipatgandakannya amal. Hal senada juga dinyatakan oleh Qadhi Iyyad dalam al-Ikmal bahwa puasa merupakan pelindung dari dosa atau dari api neraka atau keduanya. Makna yang terakhir juga dikuatkan oleh an-Nawawy. Ibnu al-Araby berpendapat puasa merupakan perisai dari api neraka karena ia menahan diri dari syahwat sementara neraka itu diliputi oleh syahwat. Dengan demikian jika seseorang menahan dirinya dari syahwat di dunia maka hal tersebut menjadi pelindung baginya dari api neraka di akhirat.”[iv] Hal tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah saw:



الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنْ الْقِتَالِ
“Puasa adalah perisai api neraka sebagaimana perisai kalian dalam peperangan.” (HR. al-Khuzaimah. Al-’Adzmaiy berkata: sanadnya shahih)



Allah swt memberikan keistimewaan bagi orang-orang yang gemar berpuasa di Hari kiamat nanti.


عن سَهْلٍ رضي الله عنه، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ: الرَّيَّانُ، يدْخلُ مِنْهُ الصَّائمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ: أَيْنَ الصَّائمُونَ، فَيَقُومُونَ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

Dari Sahal r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda: “Sesunguhnya di surga terdapat sebuah pintu yang dinamakan ar-Rayyan. Yang masuk di dalamnya adalah oran-orang yang berpuasa dan selain mereka tidak dapat masuk. Dikatakan: Dimana orang-orang yang berpuasa? Mereka pun berdiri dan tidak seorang pun dapat masuk ke dalamnya kecuali mereka. Ketika mereka masuk maka pintu itu pun tertutup sehingga tak seorang pun yang dapat masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan an-Nasai)


4. Orang-orang yang berpuasa tidak akan ditolak doanya oleh Allah swt.


ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ تُحْمَلُ عَلَى الْغَمَامِ وَتُفْتَحُ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَيَقُولُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ وَعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكَ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ

“Tiga orang yang tidak akan ditolak doanya: Imam yang adil, orng yang berpuasa hingga ia berbuka dan dan orag orang yang didzalimi. Doanya diangkat ke awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Tuhan azza wa jalla berfirman: demi kemuliaanku saya pasti menolong engkau setelah ini. (H.R. Ahmad. Menurut al-Arnauth shahih, ibnu Hibban, al-Baihaqy)


5. Puasa merupakan metode yang efektif untuk meredam gejolak syahwat.


عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ بَيْنَا أَنَا أَمْشِي مَعَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Dari ‘Alqamah ia berkata: ketika saya berjalan bersama Abdullah r.a. ia berkata: Kami bersama Rasulullah saw lalu beliau bersabda: “Barangsiapa diantara kalian yang sanggup maka menikahlah karena ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa karena ia merupakan wijâ’. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasai dan at-Tirmidzy). Wijâ’ artinya mengekang testis atau mengekang pembuluh darahnya sehingga menahan syahwat.



Keutamaan Bulan Ramadlan

Berikut sejumlah riwayat yang menggambarkan keutamaan khusus dari bulan Ramadlan dan pelaksanaan ibadah puasa di dalamnya.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ.

Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Apabila masuk bulan Ramadlan pintu rahmat dibuka, pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Imam Nawawy mengatakan: Menurut Qadhy Iyyad rahimahullah hadits ini bermakna lahir dan hakikat. Makna hakekatnya adalah pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan dibelenggu merupakan tanda masuknya bulan Ramdlan dan besarnya penghormatan atas bulan tersebut. Belenggu atas setan adalah mereka tercegah untuk menyakiti dan memperngaruhi orang-orang beriman. Makna Majaz hadits tersebut adalah isyarat atas banyaknya pahala dan pengampunan dan setan memiliki sedikit peluang untuk menggoda dan menghinakan kaum mu’min. dengan demkian mereka seperti terbelenggu dan belenggu mereka adalah sesuatu yang lain dan manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh hadits di atas bahwa pintu rahmat dibuka dan dalam riwayat yang lain dikatakan kedurhakaan mereka dibelenggu. Al Qadli berkata: maksud pintu neraka dibuka adalah Allah membukakan bagi hamba-Nya berbagai ketaatan di bulan ini yang tidak terjadi dibulan lain secara umum seperti puasa, shalat malan dan berbagai kebaikan lainnya serta mencegah dari berbagai pelanggaran. Dan hal tersebut menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam surga dan pintunya demikian pula penutupan pintu neraka dan belenggu atas setan merupakan ungkapan atas tercegahnya seseorang dari berbagai pelanggaran.[v]



عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Shalat lima waktu dan juma’t ke Jum’at berikutnya, Ramadlan ke Ramadlan berikutnya menghapus dosa (seseorang) di antara waktu tersebut selama ia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ فَانْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ

Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Amat hinalah orang disebut namaku di sisinya namun ia tidak bershalawat atasku. Hina pula orang yang memasuki bulan Ramadlan lalu keluar namun (dosanya) belum diampuni dan hina pula orang yang mendapati orang tuanya dalam keadaan tua namun tidak menjadikannya masuk ke dalam surga.” (HR. at-Tirmidzy, Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim. Menurut at-Trmidzy hadits ini hasan gharib).



أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

Abu Hurairah berkata kepada mereka: Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah maka (dosanya) yang lalu akan diampuni dan barangsiapa yang menunaikan shalat malam pada malam lailatul qadar dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim)


Makna imânan pada hadits tersebut menurut an-Nawawy adalah pembenaran bahwa ia benar-benar bermaksud memperoleh kemuliaannya. Sementara ihtisâban berarti ia hanya menginginkan Allah semata dan bukan dimaksudkan untuk riya kepada manusia dan hal-hal lain yang bertentangan dengan sifat-sifat ikhlas. Maksud dari qiyamu ramadhan adalah melaksanakan shalat tarawih yang telah disepakati oleh para ulama tentang kesunnahannya.[vi] Hal senada dinyatakan oleh Ibnu Hajar bahwa al-imân pada hadits tersebut bermakna keyakinan terhadap kebenaran wajibnya puasa dan al-ihtisâb bermakna mengharap pahala dari Allah swt.[vii]


Selain itu pelaksanaan ibadah “umrah di bulan Ramadlan pahalanya setara dengan pelaksanaan ibadah haji.


عَنْ مَعْقِلِ بْنِ أَبِي مَعْقِلٍ رَضِيَ الله عَنْهُ: أَنَّ أُمَّهُ أَتَتْ النَّبِي صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم فَقَالَتْ…إِنِّي امْرَأَةٌ قَدْ سَقِمْتُ وَكَبِرْتُ وَأَخَافُ أَنْ لاَ أُدْرِكَ الْحَجَّ حَتَّى أَمُوتَ, فَهَلْ شَيْءٌ يَجْزِئني مَنِ الْحَجِّ ؟ فَقَالَ: نَعَمْ ، عُمْرَةٌ فِي رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً فَاعْتََمِرِي فِي رَمَضَانَ

Dari Ma’qil bin Ma’qil r.a. bahwa ibunya mendatangi Rasulullah saw dan berkata:…”Saya adalah perempuan yang sakit dan sudah tua. Saya takut tidak akan mendapati pelaksanaan ibadah haji hingga saya meninggal dunia. Apakah ada sesuatu yang dapat menggantikan pahala haji untuk saya? Beliau bersabda: Iya. Umrah di bulan Ramadlan setara dengan haji maka umrahlah di bulan Ramadlan.” (HR. Ibnu Abi Khuzaimah dan diriwtkan pula oleh ashab as-sunan yang empat secara ringkas. Al-Hakim mengatakan hadits ini shahih). (muis)





--------------------------------------------------------------------------------


[i] Mahmud latif Uwaidhah, al-Jâmi’ li ahkâmi as-Shiyâm, hlm. 13

[ii] Ibnu al-Atsir, an-Nihayah fi gharîbi al-Hadîts,, 748

[iii] An-Nawawy, Syarhu an-Nawâwy ‘ala Muslim, VIII/29

[iv] Ibnu Hajar, Fathu al-Bâry, IV/104

[v] An-Nawawy, Syarhu an-Nawâwy ala Muslim, VIII/188

[vi] An-Nawawy, Syarhu an-Nawâwy ala Muslim, VI/39

[vii] Ibnu Hajar, op.cit. VI/115