Kamis, 06 Agustus 2009

Undangan ke Surga

Sabar Dalam Tahap Membangun Fondasi La Ilaha ill-Allah

Monday, 16/03/2009 23:09 WIB Cetak | Kirim | RSS

Ketika Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat berda’wah di Mekkah sebelum hijrah ke Madinah, mereka memfokuskan da’wah Islam kepada urusan membangun fondasi kokoh berupa aqidah yang bersumber dari kalimat La ilaha ill-Allah. Mereka tidak bergesar dari tema fundamental ini karena mereka menyadari bahwa untuk mengubah masyarakat jahiliyyah tidak mungkin dilakukan kecuali dengan membongkar dari fondasinya kepercayaan, ideologi dan konsepsi masyarakat tersebut. Segenap kerusakan moral, ketimpangan sosial-ekonomi, impotensi kepemimpinan dan kezaliman sistem politik serta hukum bersumber dari ketidak-jelasan ideologi, kepercayaan dan konsepsi yang dimiliki masyarakat jahiliyyah. Sehingga percuma saja dilakukan upaya perbaikan bila dilakukan dengan semangat dan metode tambal-sulam. Diperlukan suatu langkah perombakan mendasar sebelum dilakukan upaya perbaikan pada dimensi moral, sosial-ekonomi, kepemimpinan, politik dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dengan tekun dan sabar menyerukan da’wah yang menitikberatkan pada pelurusan kepercayaan, ideologi dan konsepsi. Sebagaimana para Nabi dan Rasul lainnya beliau menyerukan pesan universal dan abadi yaitu:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu". (QS An-Nahl ayat 36)

Tidak ada seorang Nabi maupun Rasul kecuali mengajak umatnya masing-masing untuk memerdekakan diri dari penghambaan manusia kepada sesama manusia (yaitu Thaghut) untuk hanya menghambakan diri kepada Allah semata. Sembahlah Allah semata dan jauhilah Thaghut...! Dan sepanjang sejarah bilamana wujud suatu masyarakat jahiliyyah niscaya suburlah kehadiran aneka thaghut di dalam masyarakat tersebut. Sebaliknya bilamana berdiri suatu masyarakat berlandaskan kepercayaan, ideologi dan konsepsi aqidah Tauhid La ilaha ill-Allah, maka bersihlah masyarakat itu dari eksistensi thaghut. Seluruh masyarakat menyembah dan mengesakan Allah secara komprehensif, baik dalam aspek peribadatan, mu’amalat, hukum dan perundang-undangan maupun kepemimpinan. Berjalanlah masyarakat tersebut sarat dengan perlombaan dalam kebaikan menjunjung tinggi nilai-nilai dan hukum Rabbani. Tidak ada yang dipatuhi dan diberikan loyalitas pada prioritas pertama dan utama selain Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

Selama mayoritas warga di dalam masyarakat masih tenggelam dalam kejahiliyyahan maka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam terus menganjurkan seruan kalimat La Ilaha ill-Allah. Sebab inti kejahiliyyahan terletak pada kepercayaan, ideologi dan konsepsi yang mengakui dan menerima penghambaan manusia kepada sesama manusia, mematuhi para pemimpin yang tidak menjadikan Allah semata sebagai sumber utama pengabdian, loyalitas dan kepatuhan, baik dalam urusan ritual-peribadatan, nilai-nilai moral maupun sistem hukum dan perundang-undangan. Artinya, tidak mungkin sesaatpun Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memandang urusan pembenahan kepercayaan, ideologi dan konsepsi masyarakat menjadi perkara usang alias out of date apalagi jadul (urusan jaman dulu) sebelum tampak perbaikan hal ini pada mayoritas masyarakat yang menjadi sasaran da’wah beliau.

Tetapi resiko menempuh jalan menyerukan kalimat La Ilaha ill-Allah di dalam suatu masyarakat jahiliyyah ialah menghadapi reaksi keras penentangan. Inilah yang dialami oleh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat. Dan ini pulalah yang akan dialami oleh siapapun yang konsisten menyerukan hal serupa di negeri manapun di zaman kapanpun. Sehingga bila tidak cukup sabar menempuhnya pastilah akan tergoda untuk mencari jalan lain yang kiranya bisa mendatangkan resiko yang lebih ringan bahkan diyakini bisa mendatangkan percepatan meraih kemenangan da’wah. Sahabatpun sempat mengalami kondisi seperti itu. Di antaranya apa yang tergambar dalam hadits berikut:

عَنْ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ قَالَ شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ قُلْنَا لَهُ أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لَنَا قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَاللَّهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ

Dari Khabab bin Al-Arat ia berkata: ”Kami mengeluh di hadapan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam saat beliau sedang bersandar di Ka’bah. Kami berkata kepadanya: ”Apakah engkau tidak memohonkan pertolongan bagi kami? Tidakkah engkau berdoa kepada Allah untuk kami?” Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam kemudian bersabda: ”Dahulu seorang lelaki ditanam badannya ke dalam bumi lalu gergaji diletakkan di atas kepalanya dan kepalanya dibelah menjadi dua namun hal itu tidak menghalanginya dari agamanya. Dan disisir dengan sisir besi sehingga terkelupaslah daging dan kulitnya sehingga tampaklah tulangnya namun hal itu tidak menghalanginya dari agamanya. Demi Allah, urusan ini akan disempurnakanNya sehingga seorang penunggang kuda akan berkelana dari San’aa ke Hadramaut tidak takut apapun selain Allah atau srigala menerkam dombanya, akan tetapi kalian tergesa-gesa!” (HR Bukhary 3343)

Khabab merupakan salah seorang sahabat yang mendapat penyiksaan luar biasa dari kaum musyrikin semenjak ia masuk Islam. Ia datang kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengeluhkan nasib para sahabat yang mengalami hal serupa dengan dirinya. Ia hanya memohon Nabi shollallahu ’alaih wa sallam agar mendoakan para sahabat tersebut, agar Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memohon pertolongan Allah bagi mereka. Ia tidak sampai mengusulkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam agar merubah strategi berjuangnya. Ia tidak sedang menyatakan protesnya terhadap jalan penuh resiko karena menyerukan kalimat La Ilaha ill-Allah. Ia hanya memohon Nabi shollallahu ’alaih wa sallam agar mendoakan para sahabat agar mendapat pertolongan Allah.

Namun demikian, keluhan Khabab telah dibalas dengan jawaban tegas Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengingatkan Khabab akan tabiat jalan da’wah yang telah ditempuh orang-orang beriman sepanjang masa. Ini bukanlah jalan melewati taman-taman bunga. Ini bukan jalan bagi mereka yang menyengaja merekayasa jalan da’wah agar menghasilkan berbagai kemudahan dan kesenangan duniawi. Ini bukan jalan bagi mereka yang ingin segera memperoleh kemenangan da’wah dengan meninggalkan seruan asli da’wah Islam yaitu proklamasi umum pembebasan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia menjadi penghambaan manusia kepada Allah semata. Ini bukan jalan bagi mereka yang demi kekuasaan rela mengaburkan seruan La Ilaha ill-Allah menjadi seruan lain, seperti Nasionalisme atau Sosialisme atau bahkan Moralisme.

Ya Allah, teguhkanlah pendirian kami di atas jalanMu. Karuniakanlah sabar sejati di dalam diri kami. Peliharalah istiqomah kami dalam proyek pembangunan Tauhid di dalam diri, keluarga dan masyarakat kami.

oleh Ihsan Tandjung


Undangan ke Surga

Berhala Modern Itu Bernama Nasionalisme

Selasa, 19/05/2009 16:01 WIB Cetak | Kirim | RSS

Ada sebuah ayat di dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan bahwa suatu masyarakat sengaja menjadikan ”berhala” tertentu sebagai perekat hubungan antara satu individu dengan individu lainnya. Sedemikian rupa ”berhala” itu diagungkan sehingga para anggota masyarakat yang ”menyembahnya” merasakan tumbuhnya semacam ”kasih-sayang” di antara mereka satu sama lain. Suatu bentuk kasih-sayang yang bersifat artifisial dan temporer. Ia bukan kasih-sayang yang sejati apalagi abadi. Gambaran mengenai berhala pencipta kasih-sayang palsu ini dijelaskan berkenaan dengan kisah Nabiyullah Ibrahim ’alaihis-salam.

وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ

فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ

بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

“Dan berkata Ibrahim ’alaihis-salam: "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu melaknati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun.” (QS Al-Ankabut ayat 25)

"Berhala-berhala" di zaman dahulu adalah berupa patung-patung yang disembah dan dijadikan sebab bersatunya mereka yang sama2 menyembah berhala patung itu padahal berhala itu merupakan produk bikinan manusia. Di zaman modern sekarang "berhala" bisa berupa aneka isme/ ideologi/ falsafah/ jalan hidup/ way of life/ sistem hidup/ pandangan hidup produk bikinan manusia. Manusia di zaman skrg juga "menyembah" berhala-berhala modern tersebut dan mereka menjadikannya sebagai "pemersatu" di antara aneka individu dan kelompok di dalam masyarakat. Berhala modern itu menciptakan semacam persatuan dan kasih-sayang yang berlaku sebatas kehidupan mereka di dunia saja. Berhala modern itu bisa memiliki nama yang beraneka-ragam. Tapi apapun namanya, satu hal yang pasti bahwa ia semua merupakan produk fikiran terbatas manusia. Ia bisa bernama Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme, Liberalisme, Nasionalisme atau apapun selain itu.

Semenjak runtuhnya tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara ummat Islam 85 tahun yang lalu bangsa-bangsa Muslim di segenap penjuru dunia mulai menjalani kehidupan sosialberlandaskan sebuah faham yang sesungguhnya asing bagi mereka. Faham itu bernama Nasionalisme. Ketika Khilafah Islamiyyah masih tegak dan menaungi kehidupan sosial ummat, mereka menghayati bahwa hanya aqidah Islam Laa ilaha illa Allah sajalah yang mempersatukan mereka satu sama lain. Hanya aqidah inilah yang menyebabkan meleburnya sahabat Abu Bakar yang Arab dengan Salman yang berasal dari Persia dengan Bilal yang orang Ethiopia dengan Shuhaib yang berasal dari bangsa Romawi. Mereka menjalin al-ukhuwwah wal mahabbah (persaudaraan dan kasih sayang) yang menembus batas-batas suku, bangsa, warna kulit, asal tanah-air dan bahasa. Dan yang lebih penting lagi bahwa ikatan persatuan dan kesatuan yang mereka jalin menembus batas dimensi waktu sehingga tidak hanya berlaku selagi mereka masih di dunia semata, melainkan jauh sampai kehidupan di akhirat kelak. Mengapa? Karena ikatan mereka berlandaskan perlombaan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Hidup lagi Maha Abadi.

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf ayat 67)

Orang-orang beriman tidak ingin menjalin pertemanan yang sebatas akrab di dunia namun di akhirat kemudian menjadi musuh satu sama lain. Oleh karenanya, mereka tidak akan pernah mau mengorbankan aqidahnya yang mereka yakini akan menimbulkan kasih-sayang hakiki dan abadi. Sesaatpun mereka tidak akan mau menggadaikan aqidahnya dengan faham atau ideologi selainnya. Sebab aqidah Islam merupakan pemersatu yang datang dan dijamin oleh Penciptanya pasti akan mewujudkan kehidupan berjamaah sejati dan tidak bakal mengantarkan kepada perpecahan dan bercerai-berainya jamaah tersebut.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

”Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dalam jamaah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS Ali Imran ayat 103)

Sewaktu ummat Islam hidup di bawah naungan Syariat Allah dalam tatanan Khilafah Islamiyyah mereka tidak mengenal bentuk ikatan kehidupan sosial selain Al-Islam. Mereka tidak pernah membangga-banggakan perbedaan suku dan bangsa satu sama lain. Betapapun realitas suku dan bangsa memang tetap wujud, tetapi ia tidak pernah mengalahkan kuatnya ikatan aqidah di dalam masyarakat. Sedangkan setelah masing-masing negeri kaum muslimin mengikuti jejak langkah Republik Turki Modern Sekuler, maka mulailah mereka mengekor kepada dunia barat yang hidup dengan membanggakan Nasionalisme masing-masing bangsa. Padahal bangsa-bangsa Barat tidak pernah benar-benar berhasil membangun soliditas sosial melalui man-made ideology tersebut. Akhirnya bangsa-bangsa Muslim mulai sibuk mencari-cari identitas Nasionalisme-nya masing-masing. Mulailah orang Indonesia lebih bangga dengan ke-Indonesiaannya daripada ke-Islamannya. Bangsa Mesir bangga dengan ke-Mesirannya. Bangsa Saudi bangga dengan ke-Saudiannya. Bangsa Turki bangga dengan ke-Turkiannya. Lalu perlahan tapi pasti kebanggaan akan Islam sebagai perekat hakiki dan abadi kian tahun kian meluntur.

Sehingga di dalam kitab Fi Zhilalil Qur’an Asy-Syahid Sayyid Qutb rahimahullah menulis komentar mengenai surah Al-Ankabut ayat 25 di atas sebagai berikut:

Ia (Ibrahim) ’alaihis-salam berkata kepada mereka (kaumnya), “Kalian menjadikan berhala-berhala sebagai sesembahan selain Allah, yang kalian lakukan bukan karena kalian mempercayai dan meyakini berhaknya berhala-berhala itu untuk disembah. Namun, itu kalian lakukan karena basa-basi kalian satu sama lain, dan karena keinginan untuk menjaga hubungan baik kalian satu sama lain, untuk menyembah berhala ini. Sehingga, seorang teman tak ingin meninggalkan sesembahan temannya (ketika kebenaran tampak baginya) semata karena untuk menjaga hubungan baik di antara mereka, dengan mengorbankan kebenaran dan akidah!”

Hal ini terjadi di tengah masyarakat yang tak menjadikan akidah dengan serius. Sehingga, mereka saling berusaha menyenangkan temannya dengan mengorbankan akidahnya, dan melihat masalah akidah itu sebagai sesuatu yang lebih rendah dibandingkan jika ia harus kehilangan teman! Ini adalah keseriusan yang benar-benar serius. Keseriusan yang tak menerima peremehan, santai, atau basa-basi.

Kemudian Ibrahim’alaihis-salam menyingkapkan kepada mereka lembaran mereka di akhirat. Hubungan sesama teman yang mereka amat takut jika terganggu karena akidah, dan yang membuat mereka terpaksa menyembah berhala karena untuk menjaga hubungan itu, ternyata di akhirat menjadi permusuhan, saling kecam, dan perpecahan.

”...Kemudian di hari Kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kamu melaknati sebagian (yang lain)....”

Hari ketika para pengikut mengingkari orang-orang yang diikutinya, orang-orang yang dibeking mengkafirkan orang-orang yang membekingnya, setiap kelompok menuduh temannya sebagai pihak yang menyesatkannya, dan setiap orang yang sesat melaknat teman yang menyesatkannya!

Kemudian kekafiran dan saling melaknat itu tak bermanfaat sama sekali, serta tak dapat menghalangi azab bagi siapapun.

”...Dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong pun.”

Mereka (kaumnya Nabi Ibrahim ’alaihis-salam) pernah menggunakan api untuk membakar Ibrahim ’alaihis-salam, tapi Allah kemudian membela dan menyelamatkan Ibrahim ’alaihis-salam dari api itu. Sementara mereka tak ada yang dapat menolong mereka dan tak ada keselamatan bagi mereka!

Saudaraku, marilah kita tinggalkan segala bentuk “berhala modern” yang sadar ataupun tidak selama ini kita “sembah”. Kita jadikan faham selain Islam sebagai sebuah perekat antara satu sama lain, padahal persatuan dan kasih-sayang yang dihasilkannya hanya bersifat fatamorgana. Marilah hanya AL-ISLAM yang kita jadikan "faktor pemersatu" yang pasti terjamin akan mempersatukan kita di dunia dan di akhirat. Al-Islam bukan produk manusia melainkan produk Allah Yg Maha Tahu dan Maha Sempurna pengetahuannya.

Sedemikian hebatnya pengaruh Nasionalisme sehingga sebagian orang yang mengaku berjuang untuk kepentingan ummat-pun takluk di bawah ideologi buatan manusia yang satu ini. Betapa ironisnya perjuangan para politisi Islam tatkala mereka rela untuk menunjukkan inkonsistensi-nya di hadapan seluruh ummat demi meraih penerimaan dari fihak lain yang jelas-jelas mengusung Nasionalisme. Seolah kelompok yang mengusung ideologi Islam harus siap mengorbankan apapun demi mendapatkan keridhaan kelompok yang mengusung Nasionalisme. Seolah memelihara persatuan dan soliditas berlandaskan Nasionalisme jauh lebih penting dan utama daripada mewujudkan al-ukhuwwah wal mahabbah (persaudaraan dan kasih sayang) berlandaskan aqidah Islam.

Sedemikian dalamnya faham Nasionalisme telah merasuk ke dalam hati sebagian orang yang mengaku memperjuangkan aspirasi politik Islam sehingga rela mengatakan bahwa ”Isyu penegakkan Syariat Islam merupakan isyu yang sudah usang dan tidak relevan.” Tidakkah para politisi ini menyadari bahwa ucapan mereka seperti ini bisa menyebabkan rontoknya eksistensi Syahadatain di dalam dirinya? Dengan kata lain ucapannya telah mengundang virus ke-murtad-an kepada si pengucapnya. Wa na’udzubillahi min dzaalika.

Sebagian orang berdalih bahwa jika kita mengusung syiar ”Penegakkan Syariat Islam” lalu bagaimana dengan nasib orang-orang di luar Islam? Saudaraku, disinilah tugas kita orang-orang beriman untuk mempromosikan Islam sebagai "faktor pemersatu" yg bersifat Rahmatan lil 'aalamiin. Tidakkah terasa aneh bila "mereka" bisa dan boleh dibiarkan mendikte aneka isme/ ideologi/ falsafah/ jalan hidup/ way of life/ sistem hidup/ pandangan hidup produk bikinan manusia kepada kita umat Islam, sedangkan kita umat Islam tidak mampu –bahkan kadang tidak mau- mempromosikan (baca: berda'wah) menyebarluaskan ajaran Allah kepada "mereka"? Wallahua'lam.-

وَلَا تُؤْمِنُوا إِلَّا لِمَنْ تَبِعَ دِينَكُمْ قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللَّهِ

أَنْ يُؤْتَى أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ رَبِّكُمْ

”Dan Janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu". (QS Ali Imran ayat 73)

Undangan ke Surga

Nabi Muhammad Dibenci Karena Aqidahnya

Kamis, 23/07/2009 17:50 WIB Cetak | Kirim | RSS

Setiap muslim meyakini bahwa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan sosok manusia paripurna. Beliau memiliki akhlak agung yang tiada tandingannya. Karena akhlaknya, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dicintai dan dihormati segenap kalangan. Tua-muda, laki-perempuan semua sangat terkesan dengan pribadi agungnya. Kemuliaan kepribadian Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bukan baru hadir setelah beliau diangkat Allah menjadi Nabi. Bahkan sejak masa jahiliyah masyarakat musyrik Quraisy Mekkah menjuluki beliau dengan ”Al-Amin” (laki-laki terpercaya). Hal ini bahkan diabadikan di dalam firman Allah:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

’Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS Al-Qolam ayat 4)

Namun siapapun yang mengenal sejarah hidup Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam pasti tahu bahwa dalam hidupnya beliau juga memiliki musuh. Dan tidak sedikit di antaranya yang sedemikian benci kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sehingga berniat membunuh manusia mulia ini. Sehingga muncullah suatu pertanyaan di dalam benak fikiran kita. Jika akhlak Nabi shollallahu ’alaih wa sallam diakui sedemikian mulia, lalu mengapa beliau masih mempunyai musuh? Mengapa masih ada manusia yang berniat membunuhnya jika semua orang sepakat bahwa akhlak beliau sedemikian mengagumkan?

Saudaraku, hal ini hanya menggambarkan kepada kita bahwa sesungguhnya ada hal lain yang jauh lebih utama daripada perkara akhlak yang menyebabkan manusia menjadi siap bermusuhan dengan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Hal itulah yang dinamakan dengan ”Al-Aqidah” atau keimanan. Siapapun orang yang memusuhi Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam pastilah orang yang tidak suka dengan ajaran aqidah atau keimanan yang dibawakannya. Mereka tidak bisa memungkiri kemuliaan akhlak Nabi shollallahu ’alaih wa sallam, namun mereka sangat tidak suka dengan ajaran aqidah Tauhid yang Nabi shollallahu ’alaih wa sallam da’wahkan kesana-kemari. Sebab menurut mereka, ajaran Tauhid mengancam eksistensi ajaran mereka. Ajaran mereka, yaitu kemusyrikan, menyuarakan eksistensi banyak ilah (tuhan), sedangkan ajaran aqidah Tauhid menegaskan hanya ada satu ilah di muka bumi yaitu Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Lalu seseorang yang berikrar syahadat Tauhid diharuskan mengingkari eksistensi berbagai ilah lainnya untuk hanya menerima dan mengakui Satu ilah saja.

Sehingga dalam catatan Siroh Nabawiyyah (sejarah perjuangan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam) kita sempat menemukan bagaimana paman Nabi, yakni Abu Tholib, diminta oleh para pemuka Musyrik Quraisy untuk melobi Nabi shollallahu ’alaih wa sallam agar mau menghentikan seruan da’wah Tauhid-nya dengan imbalan apapun yang diinginkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Tetapi apa jawaban Nabi shollallahu ’alaih wa sallam terhadap permintaan mereka?

”Demi Allah, hai Pamanku...! Jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud agar aku meninggalkan urusan ini, maka saya tidak akan melakukannya, sampai Allah memenangkannya atau aku hancur dalam melaksanankannya...!”

Pada dasarnya seruan Tauhid inilah seruan abadi para Nabi dan Rasul utusan Allah. Umat manusia sepanjang zaman didatangi oleh para Nabi dan Rasul secara bergantian dengan membawa misi mengajak manusia agar menghamba semata kepada Allah dan menjauhi Thoghut.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

’Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu". (QS An-Nahl ayat 36)

Sebelum para Nabi dan Rasul mengajarkan apapun, mereka senantiasa mendahulukan pengajaran akan hakikat fundamental pengesaan Allah. Tiada gunanya segenap amal-sholeh dan amal-ibadah diajarkan kepada manusia jika tidak dilandasi sebuah pemahaman sekaligus keyakinan mendasar akan keesaan Allah. Bahkan Al-Qur’an menggambarkan bahwa hakikat kebencian kaum kafir hingga tega menyiksa sesama manusia lainnya ialah dikarenakan manusia lain itu memiliki keimanan akan keesaan Allah semata.

وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

”Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mu'min itu melainkan karena orang-orang mu'min itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS Al-Buruuj ayat 8-9)

Inilah hakikat permusuhan dan konfrontasi di dunia. Permusuhan yang sesungguhnya ialah permusuhan karena pertentangan aqidah bukan yang lainnya. Seorang mu’min sepatutnya menyadari bahwa Nabi kita yang mulia akhlaknya itu tidak pernah dibenci lantaran akhlaknya. Namun setiap bentuk kebencian dan permusuhan yang diarahkan kepada beliau senantiasa bertolak dari ketidak-relaan manusia untuk menerima sekurang-kurangnya mentolerir keberadaan aqidah Tauhid yang diajarkan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam.

Maka sudah sepantasnya kita selalu introspeksi dan evaluasi diri. Jika dalam kehidupan ini kita ternyata dimusuhi manusia, maka jangan bersedih dulu. Sebab Nabipun pernah dimusuhi. Namun selanjutnya kita perlu lihat, apakah manusia memusuhi kita lantaran akhlak kita atau aqidah kita. Jika ternyata kita dibenci lantaran akhlak kita, maka sudah sepatutnya kita ber-istighfar dan memperbaiki diri. Karena Nabi shollallahu ’alaih wa sallam tidak pernah dibenci manusia lantaran akhlaknya. Namun jika kita dibenci lantaran aqidah kita, maka sepatutnya kita bersyukur dan bersabar. Sebab Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabatnya-pun dibenci karena aqidahnya. Itupun dengan satu catatan, yaitu kita selama ini memang sudah terus-menerus berusaha meluruskan dan mengokohkan aqidah Tauhid kita setiap hari. Semoga saudaraku...

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

”Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran ayat 139)

Renungan

Berguru dari Wahyu

oleh Nursalam AR Kamis, 06/08/2009 07:51 WIB Cetak | Kirim | RSS

Ia lelaki tinggi besar usia 40-an berkulit hitam. Tongkrongannya garang. Maklum, sebagaimana pengakuannya kepadaku, ia bekas preman semasa mudanya. Setelah berkeluarga dan terlebih lagi punya anak tiga, ia insyaf dan memilih pekerjaan yang halal. Meskipun sebagai makelar jasa penerjemahan. Boleh dibilang ia salah satu kolega bisnisku.

Aku tidak tahu siapa nama lengkapnya. Aku memanggilnya Pak Wahyu. Singkat saja. Sesingkat kunjungannya setiapkali ia datang ke kantorku. Ya, kantorku adalah rumahku. Saat itu, sejak sebelum menikah dan masih tinggal bersama orangtuaku, dan hingga kini aku adalah penerjemah freelance, yang khusus menerjemahkan dokumen-dokumen hukum seperti akte notaris dan kontrak bisnis. Sebagai penerjemah yang belum memiliki sertifikat sworn translator atau penerjemah bersumpah, kehadiran Pak Wahyu yang menjadi penghubung antara biro penerjemahan atau perusahaan dengan penerjemah sangat membantuku yang memutuskan terjun bebas sebagai penerjemah freelance selepas bekerja di sebuah griya produksi terkemuka.

Biasanya ia datang siang hari dengan jaket hitam khasnya. Mengetuk pintu dengan ketukan – yang lebih mirip gedoran – berulangkali dan uluk salam, yang kontras dengan posturnya, yang sangat pelan. Alhasil lebih kentara ketukan khasnya yang terdengar. Awalnya kami kaget, bahkan ayahku sempat mengeluh. Tapi lama-lama kami terbiasa dan menjadikan gaya ketukan Pak Wahyu itu sebagai penanda kehadirannya.

Yang tidak aku sukai, jika ia punya waktu luang dan mau ngobrol berlama-lama, adalah kebiasaannya merokok. Di keluargaku saat itu memang hanya ayahku yang perokok. Itu pun dibarengi protes dari anak-anaknya termasuk aku. Beliau pun mengurangi konsumsi rokoknya. Tapi, dengan Pak Wahyu, entah mengapa aku sungkan menegurnya. Faktor hubungan bisnislah yang membatasi. Inilah susahnya.

Namun lebih banyak hal yang aku suka dari sosok Pak Wahyu. Ia jujur. Saking jujurnya bahkan ia tak segan-segan memperlihatkan isi dompetnya jika klien lambat memberikan fee. Atau saat pembayaran kepadaku lewat dari yang ia janjikan.

“Bener, Lam,” ujarnya dengan logat Betawi yang medok,”Belom bayar tuh orang!” Tak jarang ia curhat soal hubungan dengan para kliennya. Ujung-ujungnya, ia berpesan,”Diem-diem aje ye,Lam. Ini elo aja yang tau. Ga enak gue nanti!”

Juga soal keluarganya. Soal anak-anaknya yang mulai masuk kuliah dengan permasalahan biayanya. Hingga istrinya yang turut membantu ekonomi rumah tangga dengan menjadi makelar pengurusan KTP di kelurahan. Aku pun jadi pendengar yang baik. Termasuk untuk cerita-ceritanya betapa ia bekerja gila-gilaan dari pagi hingga sering tengah malam. Tanpa bermaksud rasis, ia sering berujar,”Gue ini orang Betawi, Lam, tapi kerja kayak orang Jawa!” Kepercayaan diri dan optimismenya memang hal lain yang aku sukai.

Tapi yang paling aku sukai adalah saat Pak Wahyu datang tak hanya dengan dokumen yang akan diterjemahkan. Jika di setang motornya tergantung kantong plastik hitam, itu pemandangan yang menyenangkan. Biasanya berupa bingkisan kue-kue jajanan pasar seperti kue cincin, bika ambon dan dadar gulung bikinan istrinya. Patut kuakui istri Pak Wahyu adalah pembuat kue jempolan. Sama seperti almarhumah ibuku.

Hingga, pada Agustus 2006, selepas Subuh aku mendapat kabar bahwa Pak Wahyu meninggal dunia. Langsung dari istrinya sendiri. Padahal sehari sebelumnya ia masih datang ke rumahku untuk membayar terjemahan. Ia juga bilang bahwa hari itu ia bakal pulang malam karena akan menagih piutang honor terjemahan pada klien yang bermasalah.

Tak berapa lama ponselku berdering. Ada telepon dari Pak Mul. Ia mengajak barengan melayat ke rumah Pak Wahyu. Pak Mul adalah pemilik biro penerjemahan, yang juga kolega Pak Wahyu. Aku yang memperkenalkan Pak Wahyu kepada Pak Mul.

“Mas Salam, sudah lama kenal Pak Wahyu?” tanya Pak Mul di belakang kemudi mobilnya. Saat itu kami dalam perjalanan menuju rumah duka.

“Setahun lebih kayaknya,” jawabku sambil merapatkan jaket. Pagi itu dingin dan muram.

“Sudah tahu dong rumahnya,” tukas Pak Mul. Rupanya Pak Mul juga belum mengetahui alamat rumah Pak Wahyu.

Aku tercekat. “Belum pernah ke sana, Pak.” Aku memang tak pernah bertanya tentang alamat rumah kepada Pak Wahyu.

Ketika Pak Mul mengontak istri Pak Wahyu via ponselnya untuk menanyakan alamat, aku terbenam dalam perenungan yang menggelisahkan.

Ternyata, selama setahun lebih berhubungan bisnis dengan Pak Wahyu, aku tidak mengenal betul siapa dirinya. Berkunjung ke rumahnya pun baru sekali itu. Dan justru pada hari kematiannya. Entah mengapa, selama setahun sebelumnya, aku merasa tak perlu mengenal banyak siapa dan apa urusan kolega bisnisku tersebut. Pak Wahyu memang banyak curhat soal keluarganya. Namun aku tak banyak bercerita soal diriku dan keluargaku. Bagiku, hubungan kami adalah business as usual, hanya sebatas bisnis. Tidak lebih.

Padahal tiga bulan sebelumnya saat aku memperkenalkan Pak Wahyu ke Pak Mul, aku dengan yakin mengatakan bahwa aku mengenal Pak Wahyu dan menjamin bahwa ia orang yang dapat diandalkan untuk urusan jasa penerjemahan termasuk mengurus perizinan dokumen-dokumen terjemahan bersumpah ke departemen terkait seperti kantor imigrasi dan departemen kehakiman.

Apakah aku sahabat yang baik bagi Pak Wahyu?

Apakah aku sudah mengenal Pak Wahyu?

Khalifah Umar bin Khattab biasa melakukan investigasi terhadap setiap kandidat pejabat yang akan diangkatnya.

“Dia orang hebat wahai Amirul Mukminin,” ujar salah seorang kenalan kandidat pejabat yang dinominasikan oleh sang khalifah.

Khalifah Umar tidak percaya begitu saja. Ia lantas bertanya,“Apakah kamu pernah bermalam bersamanya?”

“Tidak.”

“Apakah kamu pernah menempuh perjalanan jauh (safar) bersamanya?”

“Belum.”

“Apakah kamu pernah memberinya amanah untuk ditunaikan?”

“Tidak pernah.”

Khalifah Umar bin Khattab kemudian menyimpulkan,”Kalau begitu kamu belum mengenalnya.”

Ya, di pagi muram empat tahun lalu, aku banyak belajar dari Pak Wahyu. Belajar mengenal makna sahabat; belajar tentang silaturahim; belajar tentang kejujuran dan kerja keras, dan belajar tentang semangat dan optimisme.

Peristiwa kematiannya pun mengajarkan satu hal tersendiri. Menurut sang istri, di malam jelang wafatnya, Pak Wahyu pulang larut malam dalam kondisi basah kuyup kehujanan sehabis menagih piutang pada salah satu klien. Jelang Subuh, ia mengeluh pusing dan matanya gelap. Tak lama kemudian Pak Wahyu meninggal dunia. Saat kubuka kain penutup jenazah, senyumnya damai dan wajah hitamnya terlihat lebih cerah berseri. Inna lillahi wa inna ilahi roji'un.

Satu hal itu adalah betapa kematian dapat menjemput kita kapan pun, di mana pun dan dalam kondisi apapun baik didahului sakit atau datang tiba-tiba. Nah, sudahkah kita siap dijemputnya?

Jakarta, 18 Juni 2009
www.nursalam.multiply.com
www.facebook.com/nursalam.ar

Renungan

Berguru dari Wahyu

oleh Nursalam AR Kamis, 06/08/2009 07:51 WIB Cetak | Kirim | RSS

Ia lelaki tinggi besar usia 40-an berkulit hitam. Tongkrongannya garang. Maklum, sebagaimana pengakuannya kepadaku, ia bekas preman semasa mudanya. Setelah berkeluarga dan terlebih lagi punya anak tiga, ia insyaf dan memilih pekerjaan yang halal. Meskipun sebagai makelar jasa penerjemahan. Boleh dibilang ia salah satu kolega bisnisku.

Aku tidak tahu siapa nama lengkapnya. Aku memanggilnya Pak Wahyu. Singkat saja. Sesingkat kunjungannya setiapkali ia datang ke kantorku. Ya, kantorku adalah rumahku. Saat itu, sejak sebelum menikah dan masih tinggal bersama orangtuaku, dan hingga kini aku adalah penerjemah freelance, yang khusus menerjemahkan dokumen-dokumen hukum seperti akte notaris dan kontrak bisnis. Sebagai penerjemah yang belum memiliki sertifikat sworn translator atau penerjemah bersumpah, kehadiran Pak Wahyu yang menjadi penghubung antara biro penerjemahan atau perusahaan dengan penerjemah sangat membantuku yang memutuskan terjun bebas sebagai penerjemah freelance selepas bekerja di sebuah griya produksi terkemuka.

Biasanya ia datang siang hari dengan jaket hitam khasnya. Mengetuk pintu dengan ketukan – yang lebih mirip gedoran – berulangkali dan uluk salam, yang kontras dengan posturnya, yang sangat pelan. Alhasil lebih kentara ketukan khasnya yang terdengar. Awalnya kami kaget, bahkan ayahku sempat mengeluh. Tapi lama-lama kami terbiasa dan menjadikan gaya ketukan Pak Wahyu itu sebagai penanda kehadirannya.

Yang tidak aku sukai, jika ia punya waktu luang dan mau ngobrol berlama-lama, adalah kebiasaannya merokok. Di keluargaku saat itu memang hanya ayahku yang perokok. Itu pun dibarengi protes dari anak-anaknya termasuk aku. Beliau pun mengurangi konsumsi rokoknya. Tapi, dengan Pak Wahyu, entah mengapa aku sungkan menegurnya. Faktor hubungan bisnislah yang membatasi. Inilah susahnya.

Namun lebih banyak hal yang aku suka dari sosok Pak Wahyu. Ia jujur. Saking jujurnya bahkan ia tak segan-segan memperlihatkan isi dompetnya jika klien lambat memberikan fee. Atau saat pembayaran kepadaku lewat dari yang ia janjikan.

“Bener, Lam,” ujarnya dengan logat Betawi yang medok,”Belom bayar tuh orang!” Tak jarang ia curhat soal hubungan dengan para kliennya. Ujung-ujungnya, ia berpesan,”Diem-diem aje ye,Lam. Ini elo aja yang tau. Ga enak gue nanti!”

Juga soal keluarganya. Soal anak-anaknya yang mulai masuk kuliah dengan permasalahan biayanya. Hingga istrinya yang turut membantu ekonomi rumah tangga dengan menjadi makelar pengurusan KTP di kelurahan. Aku pun jadi pendengar yang baik. Termasuk untuk cerita-ceritanya betapa ia bekerja gila-gilaan dari pagi hingga sering tengah malam. Tanpa bermaksud rasis, ia sering berujar,”Gue ini orang Betawi, Lam, tapi kerja kayak orang Jawa!” Kepercayaan diri dan optimismenya memang hal lain yang aku sukai.

Tapi yang paling aku sukai adalah saat Pak Wahyu datang tak hanya dengan dokumen yang akan diterjemahkan. Jika di setang motornya tergantung kantong plastik hitam, itu pemandangan yang menyenangkan. Biasanya berupa bingkisan kue-kue jajanan pasar seperti kue cincin, bika ambon dan dadar gulung bikinan istrinya. Patut kuakui istri Pak Wahyu adalah pembuat kue jempolan. Sama seperti almarhumah ibuku.

Hingga, pada Agustus 2006, selepas Subuh aku mendapat kabar bahwa Pak Wahyu meninggal dunia. Langsung dari istrinya sendiri. Padahal sehari sebelumnya ia masih datang ke rumahku untuk membayar terjemahan. Ia juga bilang bahwa hari itu ia bakal pulang malam karena akan menagih piutang honor terjemahan pada klien yang bermasalah.

Tak berapa lama ponselku berdering. Ada telepon dari Pak Mul. Ia mengajak barengan melayat ke rumah Pak Wahyu. Pak Mul adalah pemilik biro penerjemahan, yang juga kolega Pak Wahyu. Aku yang memperkenalkan Pak Wahyu kepada Pak Mul.

“Mas Salam, sudah lama kenal Pak Wahyu?” tanya Pak Mul di belakang kemudi mobilnya. Saat itu kami dalam perjalanan menuju rumah duka.

“Setahun lebih kayaknya,” jawabku sambil merapatkan jaket. Pagi itu dingin dan muram.

“Sudah tahu dong rumahnya,” tukas Pak Mul. Rupanya Pak Mul juga belum mengetahui alamat rumah Pak Wahyu.

Aku tercekat. “Belum pernah ke sana, Pak.” Aku memang tak pernah bertanya tentang alamat rumah kepada Pak Wahyu.

Ketika Pak Mul mengontak istri Pak Wahyu via ponselnya untuk menanyakan alamat, aku terbenam dalam perenungan yang menggelisahkan.

Ternyata, selama setahun lebih berhubungan bisnis dengan Pak Wahyu, aku tidak mengenal betul siapa dirinya. Berkunjung ke rumahnya pun baru sekali itu. Dan justru pada hari kematiannya. Entah mengapa, selama setahun sebelumnya, aku merasa tak perlu mengenal banyak siapa dan apa urusan kolega bisnisku tersebut. Pak Wahyu memang banyak curhat soal keluarganya. Namun aku tak banyak bercerita soal diriku dan keluargaku. Bagiku, hubungan kami adalah business as usual, hanya sebatas bisnis. Tidak lebih.

Padahal tiga bulan sebelumnya saat aku memperkenalkan Pak Wahyu ke Pak Mul, aku dengan yakin mengatakan bahwa aku mengenal Pak Wahyu dan menjamin bahwa ia orang yang dapat diandalkan untuk urusan jasa penerjemahan termasuk mengurus perizinan dokumen-dokumen terjemahan bersumpah ke departemen terkait seperti kantor imigrasi dan departemen kehakiman.

Apakah aku sahabat yang baik bagi Pak Wahyu?

Apakah aku sudah mengenal Pak Wahyu?

Khalifah Umar bin Khattab biasa melakukan investigasi terhadap setiap kandidat pejabat yang akan diangkatnya.

“Dia orang hebat wahai Amirul Mukminin,” ujar salah seorang kenalan kandidat pejabat yang dinominasikan oleh sang khalifah.

Khalifah Umar tidak percaya begitu saja. Ia lantas bertanya,“Apakah kamu pernah bermalam bersamanya?”

“Tidak.”

“Apakah kamu pernah menempuh perjalanan jauh (safar) bersamanya?”

“Belum.”

“Apakah kamu pernah memberinya amanah untuk ditunaikan?”

“Tidak pernah.”

Khalifah Umar bin Khattab kemudian menyimpulkan,”Kalau begitu kamu belum mengenalnya.”

Ya, di pagi muram empat tahun lalu, aku banyak belajar dari Pak Wahyu. Belajar mengenal makna sahabat; belajar tentang silaturahim; belajar tentang kejujuran dan kerja keras, dan belajar tentang semangat dan optimisme.

Peristiwa kematiannya pun mengajarkan satu hal tersendiri. Menurut sang istri, di malam jelang wafatnya, Pak Wahyu pulang larut malam dalam kondisi basah kuyup kehujanan sehabis menagih piutang pada salah satu klien. Jelang Subuh, ia mengeluh pusing dan matanya gelap. Tak lama kemudian Pak Wahyu meninggal dunia. Saat kubuka kain penutup jenazah, senyumnya damai dan wajah hitamnya terlihat lebih cerah berseri. Inna lillahi wa inna ilahi roji'un.

Satu hal itu adalah betapa kematian dapat menjemput kita kapan pun, di mana pun dan dalam kondisi apapun baik didahului sakit atau datang tiba-tiba. Nah, sudahkah kita siap dijemputnya?

Jakarta, 18 Juni 2009
www.nursalam.multiply.com
www.facebook.com/nursalam.ar