Senin, 31 Agustus 2009

DETIK RAMADHAN

Detik-detik Kesucian (5)
Sunday, 07 September 2008
Bulan Ramadhan setiap tahun mengunjungi kita dengan membawa pesan-pesan Ilahiyah dan spiritual Salah satu pesan yang dibawa bulan suci ini adalah pesan taubat, kembali dengan sungguh-sungguh ke pangkuan rahmat Allah dan perhatian kepada nilai-nilai spiritual dan akhlak pada kehidupan individu dan sosial. Semua itu adalah hal-hal yang diperlukan oleh kehidupan dunia kita saat ini. Dari sisi sosiologi, merebaknya kezaliman dan kesewenang-wenangan di dunia, polusi politik dan ekonomi, krisis identitas di tengah kaum muda khususnya di negara-negara industri maju, serta menyebarnya beragam penyimpangan, semua itu membuat orang lupa untuk membersihkan jiwa dan masuk ke alam spiritual.
Al-Qur'an Al-Karim dalam banyak ayatnya dan dengan beragam retorika mengajak manusia kepada ketaqwaan. Taqwa berarti mengontrol semua perilaku diri. Artinya orang hendaknya yang tahu apa yang ia perbuat dan memilih sendiri jalan hidupnya dengan kehendak dan keputusan yang cerdas. Jika seseorang dalam pekerjaan dan posisi apa saja sentitif dengan selalu mengharap keredhaan Allah, maka saat itulah dengan interospeksi diri aia akan tetap berada di jalan yang lurus. Dengan kata lain, seseorang yang menghiasi diri dengan taqwa dan kesucian, ketika berhadapan dengan kesulitan, maka pertolongan dan kemurahan Allah akan meliputinya. Al-Qur'an juga menyebutkan bahwa akhir yang baik adalah milik kaum muttaqin.

Imam Ali (as) menyebut ketaqwaan ibarat kuda cerdik yang setia mengabdi kepada empunya, mempersilahkannya untuk duduk di atas punggungnya dan siap mengantarkan kemana saja ia mau. Sebaliknya, Imam Ali (as) menyebut hawa nafsu seperti kuda liar yang tidak mengizinkan siapa saja duduk di atas punggungnya. Ia selalu berontak dan berlari-lari ke sana kemari tanpa bisa dikendalikan dan terkadang dengan keras ia menghentakkan kaki di tanah. Imam Ali (as) dalam sebuah kalimat singkat berkata, "Wahai hamba-hamba Allah! Saya menyeru kalian kepada ketaqwaan."

Menjaga ketaqwaan adalah salah satu pesan utama yang dibawa oleh para nabi utusan Allah. Dalam berbagai ayat suci, Al-Qur'an Al-Karim menceritakan bagaimana para nabi menyeru kaum mereka kepada ketaqwaan. Jika seseorang bertaqwa maka hidayah dan petunjuk ilahi akan selalu menyertainya. Dengan taqwa ia telah keluar dari kegelapan kebodohan menuju kepada kecerahan ilmu. Ia akan mampu membedakan yang baik dari yang buruk. Dalam surah Al-Hadid ayat 28 disebutkan bahwa Ketaqwaan akan menambah cahaya di dalam hati dan di tengah kehidupan, lalu menuntunnya meniti jalan hidup. Allah swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada RasulNya niscaya Allah memberikan rahmatNya kepada kalian dua bagian dan menjadikan untuk kalian cahaya yang dengan cahaya itu kalian dapat berjalan dan Dia mengampuni kalian dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Dapat dikatakan bahwa tunduk kepada tuntutan hawa nafsu dan kesenangan sementara dunia ini adalah bukti tidak adanya ketaqwaan. Saat itu orang akan tertahan dan tak mampu berjalan ke arah tujuan asli penciptaannya. Sebaliknya, orang yang bertaqwa akan mendapat barakah dan kenikmatan tak terbilang dari Allah. Saat itulah ia akan merasakan kemuliaan dan kesejahteraan. Tentunya yang dengan ketaqwaan bukan hanya surga dan kenikmatan surgawi yang didapat. Ketaqwaan di dunia ini juga mendatangkan banyak keuntungan dan kebaikan yang berlimpah.

Masyarakat yang memilih jalan ketaqwaan dan dengan kesadaran melangkah di jalan itu, maka suasana di masyarakat itu akan sehat dan hubungan antara anggota masyarakatnya akan akrab dan hangat. Al-Qur'an Al-Karim telah menunjukkan jalan yang benar kepada umat manusia dan menyerukan kepada mereka untuk selalu mengingat bahwa Allah senantiasa memantau perilaku kita. Manusia hendaknya tunduk dan khusyuk di hadapan Allah sehingga memperoleh kebahagiaan. Melangkah di jalan yang lurus atau sirath mustaqim memerlukan ketaqwaan. Puasa adalah langkah awal menuju ketaqwaan.


**********


Di jamuan Ilahi yang penuh berkah ini, semua hamba Allah diundang. Seberapakah kemampuan hamba dalam memanfaatkan jamuan ini? Diriwayatkan bahwa suatu hari Nabi Musa (as) pergi ke bukit Thur untuk bermunajat dengan Allah. Di jalan beliau bertemu dengan seorang lelaki tua yang kafir. Lelaki itu bertanya, "Hendak kemanakah engkau?" Musa (as) menjawab, "Aku mau bermunajat dengan Tuhanku di bukit Thur." Lelaki itu berkata lagi, "BIsakah engkau menyampaikan pesan untuk Tuhanmu?" Musa mengangguk dan bertanya, "Apa pesanmu?". Lelaki tua berkata, "Katakan kepadaNya bahwa aku malu melihat ketuhananNya. Katakan bahwa Dia bukan tuhanku dan aku bukan hambaNya. Aku tidak ada urusan denganNya."

Musa pergi ke Thur dan bermunajat dengan Allah, namun ia tidak menyampaikan pesan lelaki tua yang kafir itu kepada Tuhannya. Ketika hendak beranjak pergi meninggalkan bukit suci itu, Allah menegurnya, "Wahai Musa, mengapa tidak engkau sampaikan pesan lelaki tua itu kepadaKu?.

Musa menjawab, "Tuhanku, aku malu menyampaikan kekurangajaran orang itu kepadaMu."
Allah berfirman, "Wahai Musa pergi dan temui orang itu dan katakan kepadanya, jika ia malu karena Aku, katakan bahwa Aku tidak malu karenanya. Dan jika ia tidak ada urusan denganKu katakan bahwa Aku tidak pernah melupakannya. Jangan lari dariKu karena Aku menantinya dengan sambutan hangat."

Sekembalinya Musa dari bukit Thur, lelaki tua yang kafir itu sudah menantinya. Kepada Musa ia bertanya, "Sudahkah kau sampaikan pesanku kepada Tuhanmu?" Musa lantas menyampaikan pesan Tuhan kepadanya. Mendadak wajah lelaki itu berubah menjadi pucat pasi. Pesan Allah yang penuh kasih sayang itu membuatnya menggigil. Ia tertunduk malu dan dengan suara serak menahan gejolak hati, ia berkata, "Wahai Musa! Kau telah membakar jiwaku. Aku menyesal telah menjadi hamba yang congkak. Aku mau kembali ke pangkuan Allah dan bertaubat kepadaNya. Bantulah aku."


***********


Kita berbicara tentang ketaqwaan. Apa saja ciri dan kelebihan orang yang bertaqwa. Al-Qur'an Al-Karim mengenai siri orang bertaqwa mengatakan bahwa salah satu ciri khas orang bertaqwa adalah berinfak di jalan yang diredhai Allah. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang rakus dan tidak sabar menghadapi kesulitan. Ketika memperoleh kekayaan duniawi ia enggan berinfak, hanya mereka yang bertaqwalah yang bisa lepas dari sifat-sifat itu. Al-Qur'an sangat memerhatikan masalah infak dan menyebutnya sebagai jihad harta. Dalam logika Al-Qur'an, infak disejajarkan dengan sholat.

Allah SWT dalam menggambarkan signifikansi masalah infak membawakan sebuah permisalan yang apik. Dalam sebuah ayat Al-Qur'an Allah menyebutkan bahwa permisalan infak di jalan Allah seperti benih yang berkembang menjadi tujuh bulir yang masing-masing bulir itu menumbuhkan seratus biji. Selain itu Allah juga menjanjikan balasan yang berlipat kali lebih besar. Semua itu terjadi jika infak dilakukan tanpa riya' dan kecongkakan serta hanya untuk mengharap keredhaan Allah.

Dalam mengamalkan perintah infak inilah, selama bulan Ramadhan kita menyaksikan masjid-masjid dan mushalla-mushalla menggelar jamuan sederhana untuk mereka yang menunaikan ibadah puasa. Meski sederhana, tetapi jamuan itu penuh kehangatan dan kerbah dari Allah SWT.

DETIK RAMADHAN

Detik-Detik Kesucian (4)
Sunday, 07 September 2008

Sejak dulu hingga era teknologi kini, sejarah kehidupan manusia senantiasa diiringi kecenderungan terhadap agama dan spiritualitas. Dalam berbagai keadaan, ketergantungan dan keterikatan terhadap kekuatan metafisika, senantiasa memenuhi benak manusia. Para nabi diutus Tuhan untuk menjelaskan dimensi pembangun agama agar manusia mendapatkan manfaat dari ajaran ilahi bagi pertumbuhan kesempurnaannya. Dengan bimbingan para nabi, sebagian orang mendapatkan hidayah hidup di jalan yang benar. Orang-orang yang tercerahkan, merasakan bahwa agama ilahi tidak akan melalaikan kehidupan manusia dari dimensi manapun dan membantu manusia dalam memahami lebih baik eksisitensi alam ini. Mereka memahami bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Pengatur dan tiada satupun kekuatan yang bisa menandinginya.
Kecenderungan terhadap agama dan spiritual, berakar dari fitrah manusia. Para nabi sebagai guru manusia, sangat memperhatikan kecenderungan internal manusia tersebut dan mereka membimbing manusia meniti jalan keselamatan. Namun kecenderungan terhadap agama dan spiritualitas di sepanjang sejarah dan di setiap tempat tidaklah sama. Pasca Renaisans, orang-orang Barat, mengambil jarak dengan agama dan spiritulitas. Namun kondisi tersebut tidak berlangsung lama, karena muncul dampak tragisnya berupa perang, kefasadan, dan kriminalitas. Bagi umat manusia, kesalahan tersebut ditebus dengan harga sangat mahal. Itulah petaka ketika manusia jauh dari agama. Hingga kini kita menyaksikan munculnya kembali kecenderungan manusia terhadap agama. Ketika kehidupan modern tidak mampu memenuhi kebutuhan mendalam manusia terhadap agama. Untuk itu, jumlah orang yang condong terhadap agama semakin meningkat.

Spiritualitas merupakan sebuah tuntutan fundamental bagi pertumbuhan jiwa manusia. Dalam pandangan al-Quran, manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk meningkat. Untuk itulah agama menyusun program khusus yang bisa membantu manusia mencapai kesempurnaan. Islam memiliki program yang komprehensif dan rapi yang mencakup dimensi dunia dan akhirat. Penerapan berbagai program ini, sebagian merupakan kewajiban, namun sebagian lainnya dilakukan secara sukarela. Puasa merupakan ibadah yang dalam kondisi khusus seperti bulan Ramadhan atau karena nadzar diwajibkan bagi manusia. Dalam ajaran agama, puasa sunah begitu dianjurkan. Suatu hari Rasulullah saw berkata kepada seseorang bernama Abu Amamah, beliau bersabda,"Berpuasalah, karena tiada amal yang sepadan dengannya dan tiada pahala lain yang dapat menandinginya".

Dengan menyerukan berpuasa, Allah swt membimbing manusia menuju kedudukan tinggi dan melepaskan diri dari belenggu kecenderungan hawa nafsu. Dalam budaya puasa, dengan mengabaikan sejumlah kenikmatan dan kelezatan secara temporal, manusia berupaya untuk keluar dari belenggu kebiasaan yang mencegah perjalanannya menuju kesempurnaan.

Ketenangan hati merupakan hadiah berharga puasa. Ketenangan adalah seni yang sangat berharga hingga masyarakat era modern ini rela mengeluarkan biaya yang besar untuk mendapatkannya. Ketika berpuasa, hawa nafsu terkekang dan dengan belindung kepada Allah swt,manusia akan mencapai ketenangan sejati. Oleh sebab itu, orang yang berpuasa merasakan ketenangan spiritual karena merasa dekat dengan Allah swt. Dengan dasar ini, dalam kalimat singkat nan indah Imam Baqir as berkata,

الصیام تسکین القلوب
"Puasa sumber ketenangan hati".

**********

Galibnya manusia tidak anti-spiritual. Walaupun demikian, terkadang kesulitan lahiriyah sejumlah kewajiban agama menimbulkan sikap menyepelekan pelaksanaannya. Namun hal tersebut berbeda ketika dilakukan bersama-sama sebagaimana dalam ibadah puasa. Puasa di bulan Ramadhan, seperti memasuki sebuah kota yang seluruh warganya seirama mereka berada dalam atmosfer yang dipenuhi kecintaan dalam menggapai satu tujuan. Kebersamaan dan keseiringan ini memperkuat semangat seseorang untuk menunaikan kewajibannya. Keberhasilan dalam berpuasa dengan berbagai kesulitannya seperti haus dan lapar, bisa mempersiapkan seseorang untuk menunaikan kewajiban agama lainnya. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah menyebut puasa sebagai pintu memasuki kota penghambaan. Beliau bersabda, "Terdapat pintu untuk segala, dan pintu ibadah serta penghambaan adalah puasa"

Kurma adalah buah yang berasal dari pohon di daerah panas. Pada bulan Ramadhan, kurma merupakan salah satu menu terpenting yang tersaji pada hidangan buka puasa dan sahur kaum muslimin. Buah kurma mengandung energi dan diperkaya oleh gula natural dan fiber yang berguna bagi manusia. Riset menunjukan bahwa kurma bisa mencegah berbagai penyakit kanker seperti kanker lambung dan sistem pencernaan. Kurma membuang acid tambahan dalam lambung. Acid tambahan, menyebabkan pengasaman sehingga timbul rasa sakit. Ketika timbul rasa sakit, kurma bisa dimakan untuk meredakannya. Dokter spesialis nutrisi, Dr. Robabah Syeikh al-Islam mengatakan, konsumsi kurma pada bulan Ramadhan terutama pada saat berbuka sangat baik untuk menjamin kebutuhan gula darah selama berpuasa.

Dalam sejarah tercatat seorang bernama ‘Atha Salimi yang bekerja sebagai tukang tenun. Suatu hari ia menenun kain yang sangat indah, dengan mengerahkan segenap kemampuan dan ketelitiannya. Lalu ia membawanya ke pasar untuk dijual. Pembelinya adalah orang yang ahli dan seniman di bidang kain tenun ia pun dan menyebutkan beberapa kekurangan dari kain tenun itu. Mendengar ungkapan tersebut, Atha termenung. Di samping pembeli itu, ia bersedih dan meneteskan air matanya. Pembeli itu menyesali perkataannya dan meminta maaf kepada Atha. Kemudian Atha menjawab, "Tangisanku ini bukan karena kekurangan yang kau sebutkan dari kain tenunanku. Semula aku mengira kain yang tenunanku ini tidak memiliki kekurangan. Namun, ketika aku perlihatkan pada orang yang mahir seperti Anda, terdapat beberapa kekurangan. Saat itu, aku tidak mengerti mengapa seketika aku teringat hari kiamat. Aku menangis karena membayangkan pada hari kiamat kelak aku hadir di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui, bagaimana nasibku kelak ? Betapa banyak aib perbuatanku yang tidak kuketahui".

Suatu hari, Allah swt berfirman kepada nabi Daud as, "Wahai Daud berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berdosa dan peringatkanlah orang-orang yang benar. Dengan rasa takjub, nabi Daud bertanya, "Bagaimana mungkin orang-orang yang berdosa kuberi kabar gembira dan orang-orang yang baik aku takut-takuti?"

Allah swt berfirman, "Wahai Daud, sampaikan kepada orang-orang yang berdosa bahwa aku menerima taubatnya. Berilah peringatan kepada orang-orang benar agar memperhatikan tingkah lakunya, jangan sampai mereka congkak atas perbuatan (baik) yang dilakukannya."

HADIS PILIHAN

Hadis Pilihan
Gerbang Penyucian
Kamis, 11 September 2008 16:32 Site Admin
Rasulullah saw bersabda:

"Wahai manusia! Sesiapa memperbaiki akhlaknya pada bulan ini, kelak ia akan melintasi Shirat (dengan mudah), ketika semua kaki tergelincir pada waktu itu!

Sesiapa meringankan beban hamba sahayanya pada bulan ini, maka Allah akan memperingan hisab baginya.

Sesiapa mencegah perbuatan buruk, Allah akan mencegah murka darinya saat petemuan dengan-Nya.

Sesiapa menghormati seorang anak yatim, maka Allah akan menghormatinya ketika ia berjumpa dengan-Nya.

Sesiapa menyambung tali silaturahmi pada bulan ini, maka Allah akan mengucurkan rahmat kepadanya ketika ia berjumpa dengan-Nya.

Sesiapa memutuskan tali silaturahmi pada bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya ketika ia bertemu dengan-Nya.

Sesiapa malakukan salat sunnah pada bulan ini, maka Allah akan menetapkannya sebagai insan yang bebas dari api neraka.

Sesiapa menjalankan kewajiban pada bulan ini, niscaya ia akan mendapatkan pahala orang yang melaksanakan tujuh puluh kewajiban di bulan lain.

Sesiapa memperbanyak shalawat kepadaku pada bulan ini, maka Allah akan memperberat timbangannya (baiknya) ketika semua timbangan menjadi ringan.

Sesiapa membaca satu ayat al-Quran pada bulan ini, ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengkhatamkan al-Quran di bulan selainnya!"

Imam Ja’far Shadiq as bersabda:

“Jangan sampai puasamu seperti saat berbuka puasamu.”
[Beliau juga berkata] : “Berpuasa bukan sekadar menahan makan dan minum.
Jagalah lidah kalian di siang hari dari berkata bohong!
Hindarkanlah pandangan kalian dari hal-hal yang haram!
Janganlah bertikai dengan sesama!
Jauhkanlah rasa iri hati!
Janganlah menggunjing!
Janganlah berdebat!
Janganlah bersumpah bohong!
Bahkan hindarilah bersumpah meskipun benar!
janganlah mencerca!
Janganlah mengejek!
Janganlah berbuat zalim!
Janganlah bertindak bodoh!
Berlapang dadalah!
Janganlah lupa kepada Allah dan salat!
Jangan membicarakan apa pun yang tidak pantas diucapkan!
Bersabarlah!
Jujurlah!
Jauhilah orang-orang jahat!
Hindarilah perkataan jelek, berdusta!
Janganlah bermusuhan dengan sesama manusia!
Jangalah berprasangka jelek, menggunjing, dan mengadu-domba!

Yakinlah bahwa kalian telah mendekati akhirat!

Sabtu, 29 Agustus 2009

Perdebatan dalam Islam dan katolik

Debat Imam Ridha as dengan Agamawan Katolik dan Yahudi (Bagian 1)
Rabu, 14 Nopember 2007 22:09 Administrator
E-mail Cetak PDF

Catatan redaksi: Dalam memperingati hari lahir (wilâdah) Imam Ali bin Musa ar-Ridha as, redaksi akan memuat sebagian peri kehidupan manusia mulia ini, yang salah satunya adalah kisah Imam dalam menyikapi berbagai persoalan, arus pemikiran, dan keyakinan yang berkembang pada masanya. Kisah kali mengetegahkan perdebatan Imam dengan agamawan Katolik dan Yahudi, yang sengaja dihadirkan al-Makmun, penguasa Abbasiyah saat itu, untuk menguji Imam.

Kisah yang dinukil dari kitab Bihâr al-Anwâr ini diriwayatkan oleh Hasan bin Muhammad al-Nufali yang berkata, “Al-Makmun memerintahkan Fadhl bin Sahl untuk mengumpulkan para alim (ashhab al-maqalat) seperti orang Katolik (Jatsaliq), Yahudi, para sesepuh Sabean, Hirbidz al-Akbar, para penganut Zoroaster, Nastas al-Rumi, dan para teolog. Fadhl bin Sahl pun mengumpulkan mereka dan memberitahu al-Makmun bahwa mereka sudah berkumpul.

Al-Makmun berkata, ‘Bawa mereka ke hadapanku.’ Fadhl melakukannya. Al-Makmun menyambut mereka lalu berkata kepada mereka, ‘Aku mengumpulkan kalian di sini untuk kebaikan, dan aku ingin kalian berdebat dengan sepupuku dari Madinah yang telah datang di hadapanku. Datanglah ke sini besok pagi, dan jangan ada di antara kalian yang lalai.’ Mereka berkata, ‘Kami dengar dan kami taat, wahai Amirul Mukminin! Kami akan berada di sini besok pagi...’

Keesokan paginya, Fadhl bin Sahl datang kepada Imam Ridha as dan berkata, ‘Semoga aku menjadi tebusanmu. Sepupumu sedang menunggumu. Orang-orang telah berkumpul. Bagaimana pandanganmu tentang yang datang ke hadapannya?’ Imam Ridha as berkata kepadanya, ‘Kamu mendahuluiku dan aku akan datang kepadamu, insya Allah.’ Lalu, Imam berwudhu seperti hendak melakukan salat dan ia meminum sedikit air (semacam air gandum), dan kami pun meminum air yang sama. Lalu ia berangkat dan kami berangkat bersamanya, sampai kami masuk ke hadapan al-Makmun.

Kemudian al-Makmun menoleh kepada orang Katolik seraya berkata, ‘Wahai Katolik! Inilah sepupuku, Ali bin Musa bin Ja`far, seorang keturunan Fatimah putri Nabi kami dan Ali bin Abi Thalib. Maka, aku ingin kalian berbicara dengannya dan berdebat sewajarnya.’

Katolik berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin! Bagaimana aku bisa berdebat dengan seseorang yang bersandar pada sebuah kitab yang aku tolak dan kepada nabi yang aku tidak beriman kepadanya?’

Imam Ridha as berkata kepadanya, ‘Wahai Kristiani! Jika aku berdebat denganmu lewat Injilmu, akankah kamu mengakuinya?’

Katolik itu berkata, ‘Dapatkah aku menolak apa yang dibicarakan di dalam Injil? Ya, demi Tuhan. Aku akan mengakui sekalipun aku tidak menyukainya.’

Imam Ridha as berkata kepadanya, ‘Tanyakanlah apa saja yang melintas di pikiranmu, dan pahamilah jawabannya.’

Katolik itu berkata, ‘Apa yang kamu katakan tentang Yesus dan kitabnya? Apakah kamu mengingkarinya?’

Imam Ridha as berkata, ‘Aku mengakui kenabian Yesus dan kitabnya, dan kabar gembira kepada umatnya yang kepadanya para rasul juga mengakuinya. Dan aku mengingkari kenabian Yesus yang tidak mengakui kenabian Muhammad saw dan kitabnya dan yang tidak memberi kabar gembira tentangnya (Muhammad) kepada umatnya.’

Katolik itu berkata, ‘Bukankah hal ini berarti kamu memandang suatu keputusan dari dua saksi yang adil dan tegas?’
Imam Ridha berkata, ‘Ya.’

Katolik berkata, ‘Maka bawalah dua saksi bagi kenabian Muhammad dari suatu umat selain umatmu yang tidak ditolak oleh umat Kristen, dan mintalah kepada kami yang seperti itu dari umat selain umat kami.’

Imam Ridha as berkata, ‘Sekarang kamu adil, wahai Kristiani! Apakah kamu tidak menerima orang-orang adil kami terdahulu yang berada bersama al-Masih, Yesus putra Maryam?’

Katolik berkata, ‘Siapakah orang adil itu? Beritahu aku namanya?’

Imam Ridha as berkata, ‘Apa yang kamu katakan tentang Yuhanna Daylami (Yohanes)?’

Katolik berkata, ‘Baik! Kamu telah menyebut orang yang paling mencintai al-Masih.’

Imam Ridha berkata, ‘Aku bersumpah kepadamu, tidakkah Injil mengatakan bahwa Yohanes berkata, ‘Al-Masih memberitahuku tentang agama Muhammad al-Arabi dan dia memberiku kabar gembira tentangnya, bahwa dia akan datang sepeninggalnya; lalu aku memberi kabar gembira tentangnya kepada para rasul, maka aku beriman kepadanya?’[1]

Katolik itu berkata, ‘Yohanes menyebutkan ini dari al-Masih dan ia memberi kabar gembira tentang kenabian seseorang dan tentang bangsanya serta wakilnya. Namun, ia tidak menetapkan kapan ini akan terjadi dan ia tidak menyebutkan nama orang ini kepada kami sehingga kami dapat mengakuinya.’

Imam Ridha as berkata, ‘Jika kami membawa seseorang yang membaca Alkitab dan ia membacakannya bagimu penyebutan Muhammad dan bangsanya serta umatnya, akankah kamu beriman kepadanya?’
Ia berkata, ‘Sungguh.’

Imam Ridha as berkata kepada Nastas al-Rumi, ‘Bagaimana ingatanmu terhadap Alkitab?’
Ia berkata, ‘Aku tidak mengingatnya.’

Lalu Imam Ridha menoleh kepada Ra’sul Jalut (Yahudi) dan berkata, ‘Tidakkah kamu membaca Alkitab?’
Ra’sul Jalut (Yahudi) berkata, ‘Ya, demi jiwaku.’

Imam Ridha berkata, ‘Bacakanlah Alkitab untukku. Jika penyebutan Muhammad dan bangsanya serta umatnya ada di dalamnya, bersaksilah kepadanya untukku, dan jika tidak ada, maka jangan bersaksi untukku.’

Lalu ia membaca Alkitab sampai tiba pada penyebutan (nama) Nabi saw ia berhenti.

Kemudian Imam Ridha berkata, ‘Wahai Kristiani! Aku bertanya kepadamu, demi hak al-Masih dan ibunya, apakah kamu tahu bahwa aku mengetahui Injil?’

Katolik itu berkata, ‘Ya.’ Lalu ia membacakan bagi kami penyebutan Muhammad, bangsanya, dan umatnya.

Lalu Imam Ridha berkata, ‘Apa yang hendak kamu katakan wahai Kristiani? Inilah ucapan Yesus putra Maryam. Jika kamu mengingkari apa yang dikatakan di dalam Injil, maka kamu mengingkari Musa dan Yesus, salam atas mereka, dan bila kamu mengingkari penyebutan ini, maka kamu akan menjadi orang yang kafir kepada Tuhanmu, nabimu, dan kitabmu.’

Katolik itu berkata, ‘Aku tidak akan mengingkari apa yang jelas bagiku di dalam Injil. Aku akan mengakuinya.’

Imam Ridha berkata, ‘Bersaksilah kepada apa yang telah ia akui.’ Lalu ia berkata, ‘Wahai Katolik! Tanyakanlah apa saja yang melintas dalam pikiranmu.’

Katolik berkata, ‘Beritahukan kami tentang para rasul Yesus putra Maryam. Berapa jumlah mereka? Dan berapa orang alim dalam Injil?’

Imam Ridha as berkata, ‘Kamu telah datang kepada orang yang tahu. Mengenai rasul, mereka berjumlah dua belas orang, dan yang paling mulia dan paling berilmu di antara mereka adalah Lukas. Mengenai orang alim Kristen, mereka ada tiga orang: Yohanes Agung dari Ajj, Yohanes Qirqisa, dan Yohanes Daylami dari Zijar, dan yang terakhir inilah yang menyebutkan Nabi saw, bangsanya, dan umatnya, dan adalah dia pula yang membawa kabar gembira tentangnya kepada umat Yesus dan kepada Bani Israil.’

Lalu Imam Ridha as berkata kepadanya, ‘Wahai Kristiani! Sesungguhnya kami sungguh-sungguh, demi Allah, beriman kepada Yesus yang beriman kepada Muhamamd saw dan kami tidak membenci apa pun tentang Yesusmu kecuali kelemahannya dan sedikitnya ia berpuasa dan berdoa.’

Katolik berkata, ‘Demi Allah! Kamu merusak ilmumu dan melemahkan urusanmu. Aku membayangkan tidak ada yang kurang darimu dan bahwa kamu adalah orang yang paling berilmu di antara umat Islam.’
Imam Ridha as bertanya, ‘Bagaimana bisa begitu?’

Katolik menjawab, ‘Karena kamu mengatakan tentang Yesus yang lemah dan sedikit berpuasa dan berdoa, padahal Yesus tidak pernah membatalkan puasanya dan tidak tidur semalam pun; ia terus-menerus berpuasa dan tidak tidur.’

Imam Ridha as bertanya lagi, ‘Maka, untuk siapakah ia berpuasa dan berdoa?’
Katolik itu tercengang dan berhenti berbicara.

Imam Ridha berkata, ‘Wahai Kristiani! Aku ingin bertanya kepadamu tentang suatu persoalan.’

Katolik berkata, ‘Tanyalah. Jika mengetahuinya, aku akan menjawabmu.’

Imam Ridha as berkata, ‘Mengapa kamu menyangkal bahwa Yesus menghidupkan orang yang mati dengan seizin Allah Azza wa Jalla?’

Katolik itu berkata, ‘Aku menyangkalnya karena barangsiapa yang menghidupkan orang mati dan mengobati orang buta serta lepra adalah tuhan yang berhak disembah.’

Imam Ridha berkata, ‘Elia juga melakukan hal-hal seperti yang Yesus lakukan: berjalan di atas air, menghidupkan orang mati, dan menyembuhkan orang buta serta lepra, tetapi umatnya tidak menjadikannya sebagai Tuhan, dan tidak seorang pun dari mereka yang menyembahnya alih-alih menyembah Allah Azza wa Jalla. Dan Nabi Yehezkiel juga melakukan hal serupa seperti Yesus putra Maryam karena beliau menghidupkan 35.000 orang setelah mereka mati selama enam puluh tahun.’[2]
Bersambung…

[1]Lihat Yohanes 1:19-25; 14:26; 15:26; 16: 7-14
[2]Lihat Yehezkiel 37:1-13

DETIK RAMADHAN

Detik-Detik Kesucian (3)
Sunday, 07 September 2008
Sejak dulu hingga era teknologi kini, sejarah kehidupan manusia senantiasa diiringi kecenderungan terhadap agama dan spiritualitas. Dalam berbagai keadaan, ketergantungan dan keterikatan terhadap kekuatan metafisika, senantiasa memenuhi benak manusia. Para nabi diutus Tuhan untuk menjelaskan dimensi pembangun agama agar manusia mendapatkan manfaat dari ajaran ilahi bagi pertumbuhan kesempurnaannya. Dengan bimbingan para nabi, sebagian orang mendapatkan hidayah hidup di jalan yang benar. Orang-orang yang tercerahkan, merasakan bahwa agama ilahi tidak akan melalaikan kehidupan manusia dari dimensi manapun dan membantu manusia dalam memahami lebih baik eksisitensi alam ini. Mereka memahami bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Pengatur dan tiada satupun kekuatan yang bisa menandinginya.
Kecenderungan terhadap agama dan spiritual, berakar dari fitrah manusia. Para nabi sebagai guru manusia, sangat memperhatikan kecenderungan internal manusia tersebut dan mereka membimbing manusia meniti jalan keselamatan. Namun kecenderungan terhadap agama dan spiritualitas di sepanjang sejarah dan di setiap tempat tidaklah sama. Pasca Renaisans, orang-orang Barat, mengambil jarak dengan agama dan spiritulitas. Namun kondisi tersebut tidak berlangsung lama, karena muncul dampak tragisnya berupa perang, kefasadan, dan kriminalitas. Bagi umat manusia, kesalahan tersebut ditebus dengan harga sangat mahal. Itulah petaka ketika manusia jauh dari agama. Hingga kini kita menyaksikan munculnya kembali kecenderungan manusia terhadap agama. Ketika kehidupan modern tidak mampu memenuhi kebutuhan mendalam manusia terhadap agama. Untuk itu, jumlah orang yang condong terhadap agama semakin meningkat.

Spiritualitas merupakan sebuah tuntutan fundamental bagi pertumbuhan jiwa manusia. Dalam pandangan al-Quran, manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk meningkat. Untuk itulah agama menyusun program khusus yang bisa membantu manusia mencapai kesempurnaan. Islam memiliki program yang komprehensif dan rapi yang mencakup dimensi dunia dan akhirat. Penerapan berbagai program ini, sebagian merupakan kewajiban, namun sebagian lainnya dilakukan secara sukarela. Puasa merupakan ibadah yang dalam kondisi khusus seperti bulan Ramadhan atau karena nadzar diwajibkan bagi manusia. Dalam ajaran agama, puasa sunah begitu dianjurkan. Suatu hari Rasulullah saw berkata kepada seseorang bernama Abu Amamah, beliau bersabda,"Berpuasalah, karena tiada amal yang sepadan dengannya dan tiada pahala lain yang dapat menandinginya".

Dengan menyerukan berpuasa, Allah swt membimbing manusia menuju kedudukan tinggi dan melepaskan diri dari belenggu kecenderungan hawa nafsu. Dalam budaya puasa, dengan mengabaikan sejumlah kenikmatan dan kelezatan secara temporal, manusia berupaya untuk keluar dari belenggu kebiasaan yang mencegah perjalanannya menuju kesempurnaan.

Ketenangan hati merupakan hadiah berharga puasa. Ketenangan adalah seni yang sangat berharga hingga masyarakat era modern ini rela mengeluarkan biaya yang besar untuk mendapatkannya. Ketika berpuasa, hawa nafsu terkekang dan dengan belindung kepada Allah swt,manusia akan mencapai ketenangan sejati. Oleh sebab itu, orang yang berpuasa merasakan ketenangan spiritual karena merasa dekat dengan Allah swt. Dengan dasar ini, dalam kalimat singkat nan indah Imam Baqir as berkata,
الصیام تسکین القلوب
"Puasa sumber ketenangan hati".

**********

Galibnya manusia tidak anti-spiritual. Walaupun demikian, terkadang kesulitan lahiriyah sejumlah kewajiban agama menimbulkan sikap menyepelekan pelaksanaannya. Namun hal tersebut berbeda ketika dilakukan bersama-sama sebagaimana dalam ibadah puasa. Puasa di bulan Ramadhan, seperti memasuki sebuah kota yang seluruh warganya seirama mereka berada dalam atmosfer yang dipenuhi kecintaan dalam menggapai satu tujuan. Kebersamaan dan keseiringan ini memperkuat semangat seseorang untuk menunaikan kewajibannya. Keberhasilan dalam berpuasa dengan berbagai kesulitannya seperti haus dan lapar, bisa mempersiapkan seseorang untuk menunaikan kewajiban agama lainnya. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah menyebut puasa sebagai pintu memasuki kota penghambaan. Beliau bersabda, "Terdapat pintu untuk segala, dan pintu ibadah serta penghambaan adalah puasa"

Kurma adalah buah yang berasal dari pohon di daerah panas. Pada bulan Ramadhan, kurma merupakan salah satu menu terpenting yang tersaji pada hidangan buka puasa dan sahur kaum muslimin. Buah kurma mengandung energi dan diperkaya oleh gula natural dan fiber yang berguna bagi manusia. Riset menunjukan bahwa kurma bisa mencegah berbagai penyakit kanker seperti kanker lambung dan sistem pencernaan. Kurma membuang acid tambahan dalam lambung. Acid tambahan, menyebabkan pengasaman sehingga timbul rasa sakit. Ketika timbul rasa sakit, kurma bisa dimakan untuk meredakannya. Dokter spesialis nutrisi, Dr. Robabah Syeikh al-Islam mengatakan, konsumsi kurma pada bulan Ramadhan terutama pada saat berbuka sangat baik untuk menjamin kebutuhan gula darah selama berpuasa.

Dalam sejarah tercatat seorang bernama ‘Atha Salimi yang bekerja sebagai tukang tenun. Suatu hari ia menenun kain yang sangat indah, dengan mengerahkan segenap kemampuan dan ketelitiannya. Lalu ia membawanya ke pasar untuk dijual. Pembelinya adalah orang yang ahli dan seniman di bidang kain tenun ia pun dan menyebutkan beberapa kekurangan dari kain tenun itu. Mendengar ungkapan tersebut, Atha termenung. Di samping pembeli itu, ia bersedih dan meneteskan air matanya. Pembeli itu menyesali perkataannya dan meminta maaf kepada Atha. Kemudian Atha menjawab, "Tangisanku ini bukan karena kekurangan yang kau sebutkan dari kain tenunanku. Semula aku mengira kain yang tenunanku ini tidak memiliki kekurangan. Namun, ketika aku perlihatkan pada orang yang mahir seperti Anda, terdapat beberapa kekurangan. Saat itu, aku tidak mengerti mengapa seketika aku teringat hari kiamat. Aku menangis karena membayangkan pada hari kiamat kelak aku hadir di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui, bagaimana nasibku kelak ? Betapa banyak aib perbuatanku yang tidak kuketahui".

Suatu hari, Allah swt berfirman kepada nabi Daud as, "Wahai Daud berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berdosa dan peringatkanlah orang-orang yang benar. Dengan rasa takjub, nabi Daud bertanya, "Bagaimana mungkin orang-orang yang berdosa kuberi kabar gembira dan orang-orang yang baik aku takut-takuti?"

Allah swt berfirman, "Wahai Daud, sampaikan kepada orang-orang yang berdosa bahwa aku menerima taubatnya. Berilah peringatan kepada orang-orang benar agar memperhatikan tingkah lakunya, jangan sampai mereka congkak atas perbuatan (baik) yang dilakukannya."

DETIK RAMADHAN

Detik-Detik Kesucian (2)
Sunday, 07 September 2008
Tulisan ini kita mulai dengan mengutip penggalan doa Abu Hamzah Tsumali. Inilah merupakan munajat yang penuh hikmah dan makrifat yang sangat menyegarkan ketika dibaca pada pagi hari.
"Segala syukur untuk-Nya. Selain-Nya tiada yang kuseru. Ketika yang lain kuseru mereka tidak menjawab. Syukur untuk-Nya yang menyelesaikan segala urusanku dan kembali aku mulia dihadapan-Nya. Jika aku menyerahkan urusanku pada orang lain, maka aku akan terhina... Segala syukur kepada Tuhan yang telah bersikap sedemikian sabar terhadapku, seolah-olah aku tidak pernah bersalah. Tuhanku, Engkaulah yang terbaik untukku dan paling layak untuk dipuji.

Terkait efek puasa terhadap jiwa manusia Rasulullah saaw bersabda, "Barang siapa yang ingin meminimalkan kegundahan hatinya, maka berpuasalah pada bulan Ramadhan dan 3 hari setiap bulan. Dalam hadis lainnya, Rasulullah bersabda, "Puasa bulan Ramadhan dan 3 hari setiap bulan, menghilangkan kegelisahan hati".

Ungkapan indah ini menunjukkan faedah puasa bagi jiwa dan mental manusia. Beberapa abad lalu dikenal sebagai abad depresi. Bahkan kini, pada abad 21 pun kita menghadapi krisis spiritualitas, kompetisi ekstrim dan berbagai manifestasi menakjubkan kehidupan industri, yang dampaknya semakin memperparah depresi manusia. Perubahan cepat sosial, memudarnya nilai dan tradisi masyarakat, dan yang lebih penting lagi lagi rapuhnya fondasi keyakinan keagamaan, kian meningkatkan kegelisahan dan masalah yang dihadapi umat manusia. Keyakinan religius dan tradisi sosial positif merupakan sebuah variabel yang mendukung manusia menghadapi berbagai masalah destruktif.

Menurut para psikolog, kegelisahan dalam batas tertentu dan nomal memiliki efek positif dan konstruktif bagi seseorang sekaligus menjadi pemicu munculnya rasa tanggung jawab, keseriusan dalam bekerja, serta munculnya mekanisme stimulan psikis dan skill. Dalam hal ini, pada umumnya yang dikhawatirkan manusia saat ini adalah kegelisahan ekstrim yang akan mengurangi kemampuan psikologis dan menimbulkan kegagalan serta berbagai macam gangguan. Berbagai eksperimen menunjukan bahwa orang-orang yang beragama memiliki kemampuan lebih besar dalam menahan tekanan psikologis dan memiliki tingkat kegelisahan yang lebih sedikit dalam hidupnya. Orang-orang yang beragama memiliki pandangan yang sistematis dan realistis tentang kehidupan dan kematian. Selain itu, di lingkungan religius, mereka mendapat dukungan sosial dan psikologi yang lebih akrab. Atas dasar tersebut, mereka lebih mampu menghadapi berbagai kesulitan hidup. Ajaran-ajaran agama seperti tawakal, menerima takdir ilahi, harapan kepada masa depan dan lain-lain, menjauhkan seseorang dari kegelisahan yang merusak saat ia berada di dua persimpangan atau dalamkeputusan sulit. Oleh karena itu, pengaruh setiap amal ibadah seperti shalat dan puasa, dalam memperkokoh tekad dan meningkatkan kepercayaan diri, menciptakan ketenangan dan kesehatan psikologi individu ini, perlu diperhatikan.

Salah satu penyakit yang dalam ilmu psikologi kontemporer dikategorikan sebagai gangguan kegelisahan adalah rasa waswas berpikir dan bertindak. Dalam kondisi waswas seperti ini, penderita akan selalu terlibat pemikiran yang tidak diinginkan yang bersifat berita dan ia merasa tidak dapat lari darinya. Di samping beberapa metode yang biasa ditempuh untuk mengobatinya, puasa berpengaruh besar dalam pencegahan dan penyebaran penyakit waswas. Puasa merupakan program ibadah yang berdiri di atas poros kehendak manusia. Mengingat esensi puasa adalah pencegahan atas perealisasian sejumlah tuntutan kecenderungan dalam diri manusia, maka puasa secara langsung memperkuat tekad manusia. Berpuasa selain memiliki faedah spiritual dan pendidikan, juga merupakan sebuah terapi psikologi sebulan untuk meningkatkan tekad dan menciptakan perubahan perilaku.

Di sisi lain, berbagai bukti menunjukan bahwa puasa berpengaruh dalam proses penyembuhan stres. Dr. Ayub Malik dalam bukunya berjudul Puasa Islami dan Masalah Kedokteran, menulis, ciri-ciri terapi yang ada dalam puasa kaum muslimin, adalah dapat membantu proses pemulihan penderita stres. Salah satu di antaranya adalah perubahan pola tidur dan bangun. Pada bulan Ramadhan, ketika seseorang bangun untuk makan sahur dan melakukan ibadah di waktu sahur, terjadi perubahan pola tidur seseorang sepanjang satu bulan dan hal ini bisa menjadi anti depresi. Penelitian terhadap 1700 pasien menunjukan bahwa perubahan rutinitas terancana seperti tidur, bisa memulihkan stres dari 30 hingga 50 %. Meski pengaruhnya bersifat sementara.

Tentang urgensi suci Ramadhan, filsuf dan mufasir besar Ayatullah Jawadi Amoli mengatakan, "Bulan Ramadhan adalah bulan jamuan Tuhan. Pada bulan ini manusia menjadi tamu Allah swt. Dalam jamuan tersebut, selain rezeki lahiriah yang dianugerahkan Tuhan, manusia dikaruniai rezeki lain. Salah satu yang terpenting dari hidangan langit yang dianugerahkan Allah kepada manusia adalah pengenalan terhadap Al-Quran dan Ahlul Bait as. Menurut Rasul saw, al-Quran tidak terpisahkan dari itrah, maka di bulan ini kita harus mengambil manfaat dari keduanya. Al-Quran disebut sebagai hablullah atau tali Allah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di satu sisi al-Quran berada di tangan Tuhan dan di sisi lain berada di tangan manusia, maka peganglah erat-erat. Ini bukan tali yang akan putus jika ditarik oleh enam atau tujuh milyar manusia. Inilah tali yang sangat kuat, yang memenuhi seluruh keperluan manusia. Barang siapa yang bertanya dan memiliki keperluan, maka AlQuran akan menjawabnya. Al-Quran adalah kitab kehidupan. Sebuah ajaran praktis dari Allah swt bagi pembangunan manusia yang di samping mengatur dan memajukan urusan kehidupan materinya, manusia juga dapat memberikan warna ilahi kepada hal tersebut. Agar manusia membangun kehidupannya berdasarkan fitrah dan keinginan Allah. Al-Quran membimbing kita di jalan yang paling kokoh. Optimalkan kapasitasmu menjadi tamu kitab ini. Untuk itu bacalah dan tingkatkanlah. Jangan kalian menjual diri kalian dengan harga yang murah".

Bulan Ramadhan senantiasa mengingatkan keikhlasan dan ketulusan niat hamba Allah. Ali bin Abi Thalib as adalah manusia sempurna yang syahid di bulan Ramadhan. Di akhir nasehat kepada putranya, Imam Ali as menyampaikan beberapa poin penting dan penuh makna. Salah satu di antaranya adalah perhatian terhadap al-Quran dan mengamalkan ajarannya. Imam Ali as berkata, "Allah, Allah, tentang al-Quran jangan sampai orang lain mendahului kalian mengamalkan al-Quran".

DETIK RAMADHAN

Detik-Detik Kesucian (1)
Sunday, 07 September 2008
Awal setiap gerakan bisa menjadi permulaan babak baru dalam kehidupan manusia. Sebagian orang, merasa cukup hidup terkungkung dalam rutinitasnya. Sebagian lain, menyukai setiap harinya senantiasa baru. Namun yang penting, bagaimana akhir kebaruan tersebut. Yaitu, setiap manusia memulai pekerjaan barunya, pada akhirnya akan memikirkan agar setiap pekerjaan yang dilakukannya mencapai akhir yang diharapkan.
Allah swt menganugerahkan alam semesta yang terbentang luas untuk manusia, sehingga ia bisa memulai hidup dengan benar, menempuh jalan yang lurus dan berakhir dengan kebaikan. Ajakan Tuhan kepada manusia untuk memasuki atmosfir yang dipenuhi kesucian dan spiritualitas, sebagai kesempatan yang tepat untuk merubah dan memperbaharui diri. Bulan Ramadhan adalah salah satu kesempatan yang berharga tersebut.

Sekejap lagi, Ramadhan tahun ini menjenguk batin kita dan membawanya menuju samudera karunia Ilahi. Pada momentum maknawi tersebut, setiap hari dan malam dari kita mengiringinya. Lalu, pernahkah kita merasakan lebih dekat kepada Allah di bulan Ramadhan? Jika dimana, inilah pemulaan yang tepat mencapai akhir yang baik.

Jika kita mengisi dan mengenali bulan Ramadhan secara lebih baik, tidak diragukan lagi, kehidupan kita akan mengalami perubahan. Ramadhan merupakan kesempatan istimewa bagi manusia yang mencari Tuhannya. Ramadhan dipersiapkan oleh Allah agar kita merasakan sebuah perubahan baru dalam kehidupan.

Dengan mengendalikan kecenderungan naluri hewani di bulan Ramadhan, para pencari kelezatan sejati menikmati hidangan ruhani. Di bulan ini, tersaji aneka hidangan langit, bagi siapa saja yang hendak menikmati karunia ilahi tersebut. Tuan rumah hidangan ini adalah Allah swt yang mengundang seluruh hambanya dalam sebuah resepsi agung. Berbagai sajian seperti sahur penuh berkah, berbuka penuh makna, lantunan al-Quran penuh cinta, shalat penuh kekhusuan dan rintihan doa dan munajat, semua itu adalah berkah langit yang dianugerahkan Allah swt kepada hamba-Nya.

Bulan Ramadhan merubah nada monoton rutinitas kehidupan, agar manusia kembali sadar diri. Bagi orang-orang yang menempuh jalan hakikat, bulan Ramadhan merupakan lentera penerang. Pintu-pintu rahmat dan ampunan Allah swt senantiasa terbuka bagi manusia. Hanya orang-orang lalailah yang tidak memanfaatkan karunia Tuhan swt.

***********************
Langkah pertama yang harus dilakukan di bulan Ramadhan adalah memahami dengan baik tujuan dan falsafahnya. Sebagaimana visi yang berasal dari al-Quran dan Rasul-rasul-Nya. Dengan demikian, seorang mukmin harus merenungkan mengapa dan untuk apa manusia diperintahkan berpuasa. Ketika bulan Ramadhan datang, Imam Sajad as. memohon kepada Allah kesadaran dan marifah, sebagaimana dalam aluanan doanya,"Ya Allah, sampaikan shalawat dan salam atas Muhammad dan Ahlul baitnya, anugerahkan kepada kami pengetahuan tentang keutamaan bulan Ramadhan dan memuliakannya".

Ibnu Masud Ashari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Jika seorang hamba menyadari apa yang ada di bulan Ramadhan, dengan sepenuh hati ia menghendaki agar setiap bulan dalam setahun sebagai bulan Ramadhan".
**************************
Demikianlah salah satu keistimewaan bulan Ramadhan. Sebab itu Ramadhan sering disebut sebagai bulan penuh berkah. Karena memiliki berbagai keutamaan, karakteristik tersebut dianugerahkan Allah swt bagi manusia. Dengan datangnya bulan Ramadhan, orang-orang yang berpuasa merasakan atmosfer yang dipenuhi kasih sayang Allah swt dan saat-saat yang penuh berkah. Untuk itulah bulan Ramadhan dinamakan syahrul mubarak, yang berarti bulan penuh berkah.

Sebagaimana yang Anda ketahui, manusia terdiri dua dimensi yaitu dimensi material maupun aspek hewani kita dan dimensi spiritualnya. Dimensi spiritual manusia merupakan karunia khusus Allah swt kepada manusia. Inilah sebuah hakikat yang terbentuk berdasarkan substansi eksistensi manusia yaitu ruh, sedangkan yang lain bergantung padanya. Sebagaimana Allah swt dalam surah al-Hijr ayat 29 berfirman, "Aku telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku". Jika tidak ada ruh ini, manusia laksana hewan. Jelas kiranya, dimensi dari eksistensi manusia ini memerlukan pertumbuhan dan perkembangan. Untuk menjamin keperluan ini, memerlukan sesuatu non materi.

Program maknawi bulan Ramadhan dibuat untuk mengatur dan mengendalikan kecenderungan biologis manusia, sehingga manusia bisa mencapai kesempurnaannya. Walaupun puasa memberikan berkah materi bagi pribadi dan masyarakat, namun tujuan utama dari bulan Ramadhan adalah spriritual dan jiwa manusia. Di bulan ini, puasa, doa, lantunan al-Quran, berinfak dan berbuat baik, membantu orang-orang yang membutuhkan dan amal lainnya, sebagai sarana menumbuhkan dan menyempurnakan spiritual manusia. Untuk itu, inilah saat-saat kita mereguk kejernihan Ramadhan. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda, "Pada bulan ini, inayah dan rahmat Allah datang terus-menerus. Maka, bagi orang-orang yang mengharapkan karunia ilahi, manfaatkanlah saat-saat mulia ini.

Kami mengucapkan selamat atas datangnya bulan suci Ramadhan, marilah kita dengarkan bersama Khotbah Rasulullah saw menyambut masuknya bulan suci Ramadhan,
"Wahai manusia, telah datang bulan Tuhan (yaumullah) yang dipenuhi berkah dan rahmat serta ampunan kepada kita semua. Inilah bulan yang terbaik di hadapan Allah swt. Setiap harinya menjadi hari-hari terbaik dan setiap malamnya adalah malam-malam terbaik serta setiap detiknya adalah detik-detik terbaik... di bulan ini, setiap hembuasan nafas kalian adalah zikir kepada Allah dan tidur kalian adalah ibadah. Pada bulan ini, ketika berdoa menghadap Allah, Allah mengabulkan permohonan kalian. Maka, bermohonlah dengan ikhlas dan penuh pengharapan kepada Allah yang memberi taufik menunaikan puasa dan inayah membaca al-Quran. Maka, merugilah orang yang tidak memohon ampunan dan rahmat Allah di bulan yang penuh berkah ini."

Kamis, 27 Agustus 2009

BANGGAKAH AKAN KESENANGAN SEMU

Antara ”Miss Universe ” dan” Sapi Perah”
Friday, 21 August 2009 14:51
E-mail Print PDF
Tak akan ada gadis sumbing terpilih menjadi ratu kecantikan, meski IQ-nya tinggi. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-268

Oleh: Dr. Adian Husaini*

Hidayatullah.com--Menjelang bulan suci Ramadhan 1430 Hijriah, media massa Indonesia banyak menyiarkan berita tentang prestasi yang diraih oleh Zivanna Letisha Siregar, anak Indonesia yang ikut dalam Kontes Ratu Kecantikan Sejagad (Miss Universe) 2009.

Hasil jajak pendapat di missuniverse.com pada Kamis (20/8/2009) menunjukkan, Zizi – panggilan Zivanna – menduduki peringkat ketiga, satu prestasi yang belum pernah diraih oleh putri Indonesia sebelumnya. Prestasi itu diraih karena banyaknya orang Indonesia yang mendukungnya lewat polling. Media massa pun gegap gempita mendukungnya. Banyak yang secara terbuka bangga dan berharap, Zizi akan menang dalam kontes Miss Universe tersebut.

Menariknya, hampir tidak tampak lagi suara yang mempersoalkan keikutsertaan wakil Indonesia tersebut di pentas pemilihan Ratu Sejagad. Nyaris tak terdengar suara MUI, Departemen Agama, NU, Muhammadiyah, dan sebagainya. Seolah-olah kehadiran Zizi di pentas kecantikan internasional itu memang sudah direstui oleh bangsa Indonesia. Padahal, dalam kontes tersebut, Zizi menampilkan pakaian bikini yang pada tahun-tahun sebelumnya selalu mengundang kontroversi.

Begitu kuatnya arus global informasi tersebut, sehingga mampu menyekat suara-suara yang berbeda. Semua seperti digiring untuk bungkam. Seolah-olah banyak yang sudah tahu akan resiko yang dihadapi jika berani mempersoalkan hal-hal seperti ini, maka akan dengan mudah dikecam sebagai manusia yang sok moralis, menghambat kebebasan berekspresi, kaum radikal, dan sebagainya.

Mungkin, sadar akan kekuatan besar seperti itulah, maka banyak yang memilih diam, atau enggan berkomentar. Semua seperti sadar bahwa sekarang adalah zaman kebebasan. Ini zaman liberal. Semua serba boleh. Maksiat atau tidak maksiat tidak peduli lagi. Yang penting seru! Yang penting enak ditonton! Yang penting menghibur! Yang penting menghasilkan uang! Persetan dengan semua nilai moral atau agama!

Padahal, diukur dari sudut pandang Islam, jelas keikutsertaan dalam kontes kecantikan seperti kontes Miss Universe adalah perbuatan haram. Itu jelas dosa! Itulah kemungkaran yang sangat nyata; mengumbar aurat di muka umum. Mungkin Zizi dan para pendukungnya berpikir bahwa tubuh yang dimilikinya adalah miliknya sendiri, dan dia merasa seratus persen berhak menggunakannya untuk tujuan apa saja sesuai kehendaknya. Tidak ada urusan dengan aturan Allah SWT. Mungkin, mereka juga berpikir, bahwa toh, tindakan itu tidak merugikan orang lain! Tidak mengganggu lain. Apa salahnya!

Salah satu media internet yang mengkritik keras keikutsertaan putri Indonesia dalam ajang Miss Universe 2009 itu adalah www.voa-islam.com. Situs ini secara tegas mengkritik kontes tersebut: ”Beginikah kiblat kemajuan sebuah peradaban di mana wanitanya harus berani meludahi ajaran para Nabi, terutama Nabi Muhammad Saw? Beginikah simbol sebuah kemajuan peradaban, di mana wanitanya akan dihormati manakala berani membuka dada dan paha? Ataukah beginikah standar kecantikan wanita manakala layak tubuhnya dijadikan simbol penglaris dagangan saja?”

Dalam suasana gegap gempitanya paham kebebasan dan – meminjam istilah Taufik Ismail -- ”Gerakan Syahwat Merdeka” di Indonesia, memang suara-suara yang menyerukan agar manusia Indonesia menjadi manusia-manusia yang lebih adil dan beradab menjadi tenggelam. Padahal, ada al-Quran sudah mengajak perempuan untuk menutup auratnya: "Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya ke dadanya" (QS An-Nur:31).

Nabi Muhammad saw juga pernah bersabda: "Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain, dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian." (HR. Muslim)

Betapa pun, Zizi adalah Muslimah. Bahkan, konon, ia adalah lulusan sebuah SMU Islam di Jakarta. Yang harus dilakukan jika seorang Muslim/Muslimah ketika melakukan tindakan dosa adalah bertobat. Bukan malah bangga dengan tindakannya dan mengajak orang lain untuk mengikuti tindakan dosanya. Apakah Zizi, kedua orang tua, dan pendukungnya yang Muslim tidak tahu bahwa tindakan mengumbar aurat seperti itu adalah tindakan dosa? Sebagai sesama Muslim, kita WAJIB mengimbau dan menasehatinya. Kita tidak bertanggung jawab atas tindakannya. Masing-masing kita akan bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri di hadapan Allah.

Sapi perah

Jika Zizi dan para pendukungnya enggan mendengar pendapat yang masih berbau agama, ada baiknya juga disimak pendapat Dr. Daoed Joesoef, seorang cendekiawan yang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai tokoh sekular. Daoed Joesoef pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) selama satu periode (1977-1982). Semasa hidupnya, Daoed Joesoef dikenal dengan pemikirannya yang sekular.

Pemikirannya yang sekular telah banyak mengundang kritik dari para tokoh Islam. Tetapi, ada satu sisi pemikirannya sejalan dengan tokoh-tokoh Islam di Indonesia, yaitu kritik-kritiknya yang keras dan tajam terhadap keberadaan kontes ratu-ratuan. Daoed Joesoef adalah doktor lulusan Sorbonne Perancis (1972) dan Ketua Dewan Direktur CSIS (1972-1998). Ia juga pernah menjadi anggota pengurus organisasi ”Angkatan Seni Rupa Indonesia” di Medan (1946), dan Ketua cabang Yogyakarta untuk organisasi ”Seniman Indonesia Muda” (1946-1947).

Betapa sekularnya pemikiran Daoed Joesoef bisa disimak dari sikapnya yang tidak mau mengucapkan salam Islam saat menjabat Menteri P&K. Dalam memoarnya yang terbit tahun 2006 berjudul ”Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran”, Daoed Joesoef memberikan alasan: ”Aku katakan, bahwa aku berpidato sebagai Menteri dari Negara Republik Indonesia yang adalah Negara Kebangsaan yang serba majemuk, multikultural, multiagama dan kepercayaan, multi suku dan asal-usul, dan lain-lain, bukan negara agama dan pasti bukan negara Islam.”

Tentu saja, jika diukur pada tataran sekarang, pandangan dan sikap Daoed Joesoef semacam itu tampak ganjil. Tetapi, tidak semua pendapat Daoed Joesoef perlu ditolak. Ada pendapatnya yang sangat menarik untuk disimak dan direnungkan. Sebagai cendekiawan, pandangannya terhadap berbagai jenis kontes ratu kecantikan, bisa dikatakan sangat tajam dan mendasar.

Saat menjadi Menteri P&K pula, Daoed Joesoef menyatakan secara terbuka penolakannya terhadap segala jenis pemilihan miss dan ratu kecantikan. Ketika itu memang sedang marak-maraknya promosi aneka ragam miss, ada Miss Kacamata Rayban, Miss Jengki, Miss Fiat, Miss Pantai, di samping pemilihan ratu ayu daerah, ratu ayu Indonesia, yang langsung dikaitkan dengan berbagai jenis keratuan internasional. Dan semuanya, tulis Daoed Joesoef, ”menyatakan demi manfaat dan kegunaan (pariwisata) serta keharuman nama dan martabat Indonesia.”

Apa kata Daoed Joesoef tentang semua jenis ratu-ratuan tersebut? ”Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang adalah suatu penipuan, di samping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah. Sebagai ekonom aku tidak a priori anti kegiatan bisnis. Adalah normal mencari keuntungan dalam berbisnis, namun bisnis tidak boleh mengenyampingkan begitu saja etika. Janganlah menutup-nutupi target keuntungan bisnis itu dengan dalih muluk-muluk, sampai-sampai mengatasnamakan bangsa dan negara,” tulis Daoed Joesoef.

Menurut mantan dosen FE-UI ini, wanita yang terjebak ke dalam kontes ratu-ratuan, tidak menyadari dirinya telah terlena, terbius, tidak menyadari bahaya yang mengancam dirinya. Itu ibarat perokok atau pemadat yang melupakan begitu saja nikotin atau candu yang jelas merusak kesehatannya. Lebih jauh, Daoed Joesoef menyampaikan kritik pedasnya: ”Pendek kata kalau di zaman dahulu para penguasa (raja) saling mengirim hadiah berupa perempuan, zaman sekarang pebisnis yang berkedok lembaga kecantikan, dengan dukungan pemerintah dan restu publik, mengirim perempuan pilihan untuk turut ”meramaikan” pesta kecantikan perempuan di forum internasional.”

Dari 900 halaman lebih memoarnya tersebut, Daoed Joesoef memberikan porsi cukup panjang (hal. 649-657) untuk menguraikan buruknya praktik-praktik ratu-ratuan bagi perempuan itu sendiri. Perempuan tentu boleh tampil cantik. Tapi, Daoed Joesoef mengingatkan tiga hal. Pertama, jangan ia diumbar, dibiarkan untuk dieksploitasi seenaknya oleh orang/pihak lain hingga membahayakan dirinya sendiri. Kedua, jangan memupuknya secara berlebihan, karena bagaimana pun kecantikan itu hanya setebal kulit. Ketiga, kecantikan yang dipupuk dan lalu dijadikan standar personalitas perempuan berpotensi menjadi liang kubur perempuan yang bersangkutan. Bila kecantikan itu redup, karena hanya setebal kulit, berarti perempuan itu tidak dapat lagi memenuhi standar yang telah dipatoknya sendiri. Orang lain, termasuk suaminya, akan membelakanginya, lalu berpaling ke perempuan cantik lain.

Semasa belajar di Paris, Daoed Joesoef mengaku pernah membaca sebuah kasus seorang guru matematika dipecat oleh Menteri Pendidikan Nasional Perancis, gara-gara guru tersebut mengikuti kontes ratu kecantikan daerah yang merupakan awal dari pemilihan ratu kecantikan nasional. Ketika itu tidak ada media yang membelanya, karena publik menganggap kegiatan seperti itu tidak pantas dilakukan seorang guru. Karena itu, menurutnya, jika ada pendidik yang membela kegiatan pemilihan ratu ayu, pantas sekali dipertanyakan bagaimana keadaan nuraninya.

”Apa kata inteleknya tidak perlu dipersoalkan, karena sekarang ini keintelektualan bisa disewa per hari, per minggu, per bulan, per tahun, bahkan permanen, dengan honor yang lumayan. Artinya, even seorang intelek bisa saja melacurkan kemurnian inteleknya karena nurani sudah diredam oleh uang,” tulis Daoed Joesoef.

Daoed Joesoef menolak argumentasi bahwa kontes kecantikan juga menonjolkan sisi-sisi intelektual perempuan dan banyak pesertanya yang mahasiswi. Juga ia menolak alasan bahwa penggunaan pakaian renang dalam kontes semacam itu adalah hal yang biasa. ”Namun tampil berbaju renang melenggang di catwalk, ini soal yang berbeda. Gadis itu bukan untuk mandi, tapi disiapkan, didandani, dengan sengaja, supaya enak ditonton, bisa dinikmati penonjolan bagian tubuh keperempuanannya, yang biasanya tidak diobral untuk setiap orang,” tulis Daoed Joesoef lebih jauh.

Bahkan, Daoed Joesoef menyamakan peserta kontes kecantikan itu sama dengan sapi perah: ”setelah dibersihkan lalu diukur badan termasuk buah dada (badan)nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?”

Terhadap orang yang menyatakan bahwa yang dinilai dalam kontes kecantikan bukan hanya kecantikannya, tetapi juga otaknya, sikapnya, dan keberaniannya, Daoed Joesoef menyatakan, bahwa semua itu hanya embel-embel guna menutupi kriterium kecantikan yang tetap diunggulkan. ”Percayalah, tidak akan ada gadis sumbing yang akan terpilih menjadi ratu betapa pun tinggi IQ-nya, terpuji sikapnya atau keberaniannya yang mengagumkan,” tulisnya.

Terhadap alasan kegunaan kontes ratu kecantikan untuk promosi wisata dan penarikan devisa, Daoed Joesoef menyebutnya sebagai wishful thinking belaka, untuk menarik simpati masyarakat dan dukungan pemerintah. Kalau keamanan terjamin, jaringan transpor bisa diandalkan, sistem komunikasi lancar, bisa on time, pelayanan hotel prima, maka keindahan alam Indonesia saja cukup bisa menarik wisatawan.

Lalu, apa jalan keluarnya? ”Stop all those nonsense! Hentikan semua kegiatan pemilihan ratu kecantikan yang jelas mengeksploitasi perempuan dan pasti merendahkan martabatnya!” seru Daoed Joesoef. “Namun,” lanjutnya, “kalau perempuan sendiri bergairah melakukan perbuatan yang tercela itu karena kepentingan materi sesaat tanpa mempedulikan masa depan anak-anak, ya mau bilang apa lagi!”.

Meskipun kita tidak sependapat dengan banyak pemikiran sekular Daoed Joesoef, tetapi pandangannya tentang ratu-ratuan ini patut kita acungi jempol. Kini, di tengah-tengah semakin menguatnya hegemoni liberalisme nilai-nilai moral dan menghunjamnya paham materialisme, pendapat jernih Daoed Joesoef dalam soal peran dan kedudukan perempuan perlu diperhatikan, khususnya bagi pejabat dan pemuka masyarakat. Secara terbuka Daoed Joesoef mengimbau:

“Kalaupun gadis-gadis kita yang cantik jelita lagi terpelajar, cerdas dan terampil serta berbudi pekerti terpuji dan berani, masih berhasrat menyalurkan energinya yang menggebu-gebu ke kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, siapkanlah diri mereka agar menjadi IBU yang ideal, memenuhi perempuan yang sebenarnya dalam keluarga, perannya yang paling alami. Jadi bukan peran sembarangan, karena mendidik makhluk ciptaan Tuhan yang dipercayakan oleh Tuhan kepadanya. Jangan anggap bahwa mengasuh, membesarkan dan mendidik anak secara benar bukan suatu pekerjaan yang terhormat. Pekerjaan ini memang tidak menghasilkan uang, pasti tidak membuahkan popularitas, tentu tidak akan ditampilkan oleh media massa dengan penuh kemegahan, tetapi ia pasti mengandung suatu misi yang suci…”

Demikianlah, sebuah contoh pemikiran yang jernih tentang kedudukan dan martabat perempuan. Mudah-mudahan masih ada petinggi negara dan elite masyarakat yang mendukung pemikiran semacam ini, dan kemudian berani melakukan tindakan untuk menegakkan kebenaran, meskipun resikonya, dia bisa jadi tidak akan populer. [Depok, 20 Agustus 2009/www.hidayatullah.com].

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Senin, 24 Agustus 2009

GHULUW

Rabu, 25 Maret 2009 - 20:01:57, Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
Kategori : Akidah
Mengejar Dunia dengan Amalan Akhirat adalah Kesyirikan
[Print View] [kirim ke Teman]

Slogan ‘waktu adalah uang’ telah demikian mendarah daging dalam hidup mayoritas manusia serta menjadi prinsip yang mengiringi aktivitas mereka. Bukan sekadar slogan yang kosong dari makna, karena berbagai macam cara pun akan ditempuh manusia untuk mengejar apa yang dinamakan dengan uang. “Gunung kan kudaki, lautan kan kuseberangi. Lembah akan kulalui, bahkan mati akan kuhadapi,” kata mereka.
Ada manusia, yang tak peduli siang ataupun malam, terus-menerus waktunya disibukkan dengan mencari uang. Para wanita sampai melelang kehormatannya, menjatuhkan martabatnya karenanya juga. Ringkasnya, hidup adalah uang.
Para pedagang, pekerja, dan pengusaha, berusaha meramal hidupnya melalui paranormal juga karena uang yang akan dikejar. Mereka ngalap berkah di kuburan tertentu, juga untuk mendapatkan penghasilan dan jalan hidup yang beruntung, menurut mereka. Berkunjung ke tempat-tempat keramat dengan mempersembahkan berbagai jenis sesaji juga karenanya.
Maka sangat ironis jika seseorang berbicara tentang agama juga karena tujuan yang sama dengan mereka. Mereka melelang ayat-ayat Al-Qur’an dan sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harga yang sangat murah.
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلاً فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ‘Ini dari Allah’, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 79)
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلاً أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلاَّ النَّارَ وَلاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat serta tidak menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.” (Al-Baqarah: 174)
وَإِذْ أَخَذَ اللهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلاً فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu): ‘Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.’ Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.” (Ali ‘Imran: 187)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu menyatakan: “Orang-orang yang diberikan Al-Kitab dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan yang serupa dengan mereka, melemparkan janji-janji ini di belakang punggung mereka. Mereka tidak memedulikan janji-janji tersebut. Mereka menyembunyikan kebenaran dan menampilkan kebatilan. Mereka berani melanggar keharaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, meremehkan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala serta hak makhluk-Nya. Dengan cara menyembunyikan tersebut, mereka juga membeli kedudukan dan harta benda dengan harga yang sedikit dari para pengikutnya serta orang-orang yang mengutamakan syahwat daripada kebenaran.” (Taisir Al-Karimirrahman, 1/160)

Siapakah Budak Dunia?
Kata “budak” telah dipakai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyebut orang-orang yang telah diperbudak oleh dunia di dalam sebuah sabdanya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيْصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ
“Celaka budak dinar, budak dirham, dan budak khamishah (suatu jenis pakaian). Apabila diberi dia ridha dan bila tidak diberi dia murka.” (HR. Al-Bukhari no. 2887 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Budak dinar adalah orang yang mencarinya dengan semangat tinggi. (Bila mendapatkannya), dia menjaganya seolah-olah dia menjadi khadim, pembantu, dan budak. Ath-Thibi rahimahullahu berkata: ‘Dikhususkan kata budak untuk menggelarinya, karena dia berkubang dalam cinta kepada dunia serta segala bentuk syahwatnya, layaknya seorang tawanan yang tidak memiliki upaya untuk melepaskan dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan malik (pemilik), tidak pula orang yang menghimpun dinar, karena yang tercela adalah mengumpulkan melebihi dari yang dibutuhkan’.” (Fathul Bari, 18/249)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai budak dinar dan dirham karena kerakusan serta semangatnya untuk mendapatkannya. Barangsiapa menjadi budak hawa nafsunya, maka dia tidak akan bisa mewujudkan pada dirinya makna ayat ﭢ ﭣ . (Hanya kepada-Mu lah kami beribadah). Orang yang seperti ini sifatnya tidak akan menjadi orang shadiq (terpercaya)… Dan dikhususkan penyebutan keduanya (dinar dan dirham), karena keduanya adalah asal harta benda dunia berikut segala kenikmatannya. (Tuhfatul Ahwadzi, 6/161)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Perkataan yang mengandung pujian akan menyenangkan pencari kedudukan –dengan cara batil–, sekalipun kalimat itu adalah batil. Dia juga akan murka dengan sebab sebuah perkataan, sekalipun perkataan itu benar. Adapun orang yang beriman, kalimat yang haq akan menjadikan dia ridha baik kalimat itu mendukung atau menghujatnya. Sebaliknya, menjadikan kalimat batil akan menyebabkannya murka, baik kalimat itu menguntungkannya ataupun tidak. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai yang haq, kejujuran, dan keadilan. Bila dikatakan kebenaran, kejujuran, dan keadilan yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia akan mencintainya sekalipun menyelisihi keinginan hawa nafsunya karena hawa nafsunya mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila diucapkan suatu kezaliman, kedustaan, dan hal yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka orang yang beriman akan membencinya sekalipun sesuai hawa nafsunya. Demikian juga kondisi pencari harta –dengan cara yang batil– sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ
“Di antara mereka ada yang mencelamu dalam hal shadaqah. Jika mereka diberi mereka senang dan jika tidak diberi mereka benci.” (At-Taubah: 58)
Mereka itulah yang telah disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau: ‘Celaka budak dinar’.” (Az-Zuhd wal Wara’ wal ‘Ibadah, 1/38)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata setelah menyebutkan tipe-tipe manusia yang rakus dengan dunia: “Permasalahan dunia (bagi manusia) ada dua bentuk. Di antaranya:
(Pertama) Perkara yang dibutuhkan oleh setiap orang sebagaimana butuhnya dia terhadap makan, minum, tempat tinggal, menikah, dan sebagainya. Dia meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mencarinya di sisi-Nya, sehingga harta di hadapannya bagaikan keledai yang dikendarainya, atau bagaikan permadani yang dia duduk padanya, atau bahkan seperti WC di mana dia menunaikan hajat tanpa adanya unsur perbudakan diri. Namun dia akan banyak berkeluh kesah bila tertimpa kejelekan, dan menjadi kikir apabila mendapatkan kesenangan.
(Kedua) Perkara yang manusia tidak membutuhkannya. Dalam perkara yang seperti ini, janganlah seseorang menggantungkan hatinya kepadanya. Bila dia menggantungkan hatinya kepadanya, niscaya dia akan menjadi budaknya. Bahkan terkadang dia akan terjatuh pada perbuatan menggantungkan diri kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kondisi ini, tidak tersisa lagi pada dirinya hakikat beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak pula hakikat tawakkal. Bahkan dalam dirinya terdapat bentuk pengabdian kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertawakkal kepada selain-Nya. Dialah yang paling berhak mendapatkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Telah celaka budak dinar, budak dirham, budak qathifah (sejenis beludru), dan budak khamishah’.
Dialah budak semua hal ini. Jika dia memintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lantas Dia memberinya, dia akan ridha. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberinya, dia akan murka.
Sedangkan hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala sejati ialah orang yang membuatnya ridha semua yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala ridha, dan membuatnya murka apa-apa yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala murka. Dia mencintai apa yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta akan murka terhadap apa yang dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berloyalitas kepada wali-wali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menentang musuh-musuh-Nya. Inilah yang menyempurnakan iman, sebagaimana di dalam hadits:
مَنْ أَحَبَّ لِلهِ وَأَبْغَضَ لِلهِ وَأَعْطَى لِلهِ وَمَنَعَ لِلهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيْمَانَ
“Barangsiapa cinta karena Allah dan membenci karena Allah, memberi karena-Nya dan tidak memberi juga karena-Nya, maka dia telah menyempurnakan iman.”
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah." (Al-‘Ubudiyyah, 1/25)

Mencari Dunia dengan Amalan Akhirat adalah Syirik
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu menulis sebuah bab dalam Kitab At-Tauhid “Bab: Termasuk dari kesyirikan adalah menginginkan dunia dengan amalan akhirat.”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullahu berkata: “Yang beliau maksud dengan judul ini adalah bahwa beramal untuk mendapatkan dunia adalah syirik yang akan menafikan kesempurnaan tauhid yang wajib dan membatalkan amalan (syirik kecil, ed.). Hal ini lebih besar daripada dosa riya’. Karena niatan untuk mendapatkan dunia telah menguasai keinginannya pada mayoritas amalannya, sedangkan riya’ hanya pada satu amalan saja dan tidak masuk dalam amalan yang lain. Riya’ juga tidak terus-menerus ada bersama amalan. Orang yang beriman harus berhati-berhati dari semua ini.” (Fathul Majid, 2/625)
Bukan sesuatu yang baru bagi kaum muslimin jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan kesyirikan. Bahkan mereka mengetahui bahwa syirik adalah dosa yang paling besar. Akan tetapi tahukah mereka segala rincian syirik? Tentu, jawabannya adalah tidak. Hal ini disebabkan banyak faktor. Di antaranya kejahilan (ketidaktahuan) mereka tentang aqidah yang benar. Juga adanya penyakit taqlid buta dan fanatik serta sikap ghuluw (berlebihan) dalam menyikapi orang-orang shalih. (‘Aqidah At-Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan. hal. 16)
Para ulama Ahlus Sunnah telah menjelaskan macam-macam syirik yang terangkum dalam dua macam: syirik yang akan mengeluarkan dari Islam yang disebut dengan syirik besar; dan syirik yang tidak mengeluarkan dari Islam yang disebut dengan syirik kecil.
Termasuk dalam kategori syirik kecil adalah beramal karena ingin mendapatkan dunia. Seperti seseorang yang berhaji, menjadi muadzin, atau menjadi imam karena ingin mendapatkan materi, atau belajar ilmu dan berjihad juga untuk mendapatkan materi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Telah celaka hamba dinar dan dirham. Telah celaka hamba khamishah dan khamilah (jenis-jenis pakaian). Jika diberi dia ridha dan jika tidak diberi dia benci.” (‘Aqidah At-Tauhid hal. 98)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Syirik dalam iradah (keinginan) dan niat bagaikan laut tak bertepi. Sedikit sekali orang yang selamat darinya. Maka barangsiapa yang dengan amalnya menginginkan selain wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, meniatkan sesuatu selain mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta selain mendapatkan balasan dari-Nya, sungguh dia telah melakukan kesyirikan dalam niat dan keinginannya. Sedangkan ikhlas adalah dia mengikhlaskan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perbuatannya, ucapan, keinginan, dan niatnya. Ini adalah hanifiyyah, agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan hamba-Nya untuk mengikutinya dan tidak akan diterima agama selainnya. Ini juga merupakan hakikat Islam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Inilah agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang barangsiapa membencinya, dia termasuk orang yang paling dungu.” (Al-Jawabul Kafi, hal. 115)

Contoh Mencari Dunia dengan Amalan Akhirat
a. Ulama
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (At-Taubah: 34)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu menjelaskan: “Ini merupakan peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada segenap kaum mukminin bahwa mayoritas ulama Yahudi dan pendeta Nasrani –artinya, ulama dan ahli ibadah– memakan harta manusia dengan cara batil, yakni dengan cara tidak benar. Mereka juga menghalangi (manusia) dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya jika mereka mendapatkan gaji dari harta manusia atau manusia menyisihkan harta benda mereka untuknya, maka hal itu disebabkan ilmu dan ibadah mereka. Juga karena bimbingan yang mereka berikan. Namun mereka mengambil semuanya dan menghalangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga pengambilan upah yang mereka lakukan dengan cara demikian adalah sebuah kezaliman. Karena orang tidak akan mengorbankan harta bendanya melainkan agar mereka terbimbing ke jalan yang lurus.” (Taisirul Karimirrahman, hal. 296)

b. Da’i
Mungkinkah seorang da’i akan terjatuh dalam kesyirikan? Jawabannya adalah sangat mungkin. Terlebih jika sang da’i adalah orang yang tidak memiliki aqidah yang benar dan manhaj yang lurus. Dia bisa menjadikan dakwahnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits sebagai jembatan untuk mendapatkan: kedudukan di hati manusia, sanjungan dan pujian dari mereka, mencari pengikut yang banyak, serta mencari uluran tangan mereka.
Karena menurut mereka, jalan inilah yang paling mudah dan tidak membutuhkan kerja keras, peras keringat banting tulang untuk mendapatkannya. Barangsiapa yang niatnya demikian, baik seorang alim, kyai, da’i, atau lainnya, maka dia telah terjatuh dalam perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (lihat gambaran ini dalam Fathul Majid hal. 453-454)

c. Politikus
Bukan sesuatu yang aneh bagi seorang politikus untuk melontarkan pernyataan-pernyataan dengan menyitir dalil-dalil baik dari Al-Qur’an atau As-Sunnah. Terlebih lagi bila dia tadinya seorang da’i yang kemudian terjun ke dunia politik. Yang ada adalah, pertama, bagaimana mengumpulkan massa; dan kedua, mengumpulkan dana. Ujung-ujungnya adalah mencari kedudukan di mata manusia.
Dalam syarah Fadhlul Islam disebutkan terjadinya penyimpangan dari ash-shirath al-awwal (jalan yang lurus) adalah karena di tengah umat muncul politik yang jahat dan zalim, yang telah melencengkan hukum-hukum agama. Karena politik inilah, ahli ilmu, para hakim, dan ahli fatwa memberikan fatwanya sesuai dengan kemaslahatan negara atau kelompok.

Untaian Indah dari Al-Imam Ibnul Qayyim
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: Sayyar telah menceritakan kepadaku: Ja’far telah menceritakan kepadaku: Aku telah mendengar Malik bin Dinar rahimahullahu berkata: “Berhati-hatilah kalian dari wanita penyihir. Berhati-hatilah kalian dari wanita penyihir. Berhati-hatilah dari wanita penyihir, karena mereka telah menyihir hati-hati ulama.”
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Dunia adalah khamrnya setan. Barangsiapa mabuk karenanya, maka dia tidak akan sadar sampai kematian menjemput dalam keadaan menyesal di tengah orang-orang yang merugi. Sedangkan bentuk cinta yang paling ringan kepada dunia adalah melalaikan dari cinta dan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang harta bendanya telah melalaikannya dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sungguh dia termasuk orang yang merugi. Bila hati lalai dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya hati itu akan ditempati oleh setan, yang kemudian akan memalingkannya sesuai kehendaknya…
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tiadalah setiap orang di dunia ini melainkan sebagai tamu dan hartanya adalah pinjaman. Tentunya, tamu itu akan berangkat pergi dan pinjaman itu akan kembali kepada pemiliknya.”
Mereka (para ulama) berkata: “Cinta dunia dianggap sebagai kepala kerusakan. Dia akan merusak agama dari banyak sisi. Pertama, mencintai dunia akan membuahkan pengagungan terhadapnya, sementara dunia itu rendah di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengagungkan apa yang telah dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk dosa yang paling besar. Kedua, Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat, membenci dan murka terhadap dunia dan segala yang ada padanya (kecuali hal-hal yang diperuntukkan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala). Barangsiapa yang mencintai apa yang dilaknat, dibenci, dan dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia telah melemparkan dirinya kepada laknat, kebencian, dan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketiga, jika dia mencintainya, tentu dia menjadikan dunia itu sebagai tujuannya. Dia akan mencari jalan kepadanya dengan amalan-amalan yang sebenarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan sebagai sarana (wasilah yang mengantarkan) kepada-Nya dan kampung akhirat.” (‘Uddatush Shabirin wa Dzakhiratusy Syakirin, hal. 186)
Wallahu a’lam bish-shawab.

GHULUW

Rabu, 22 Juli 2009 - 05:37:48, Penulis : Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
Kategori : Kajian Utama
Jaring-jaring Setan itu Bernama Ghuluw
[Print View] [kirim ke Teman]

Setan tak hanya menyerang orang-orang yang bergelimang maksiat, namun juga menjerat hamba-hamba-Nya yang gemar beribadah.

Sesungguhnya setan menggunakan dua cara untuk menyesatkan umat Islam. Cara pertama digunakan untuk mengelabui seorang muslim yang bergelimang maksiat. Yaitu dengan menjadikan maksiat yang ia lakukan seakan-akan sesuatu yang indah. Sehingga ia tetap akan jauh dari ketaatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Al-Jannah dikelilingi oleh segala hal yang tidak disukai, sementara An-Naar itu diliputi dengan syahwat.” (HR. Al-Bukhari no. 6487 dan Muslim no. 2822)
Adapun cara kedua digunakan oleh setan untuk menyesatkan seorang muslim yang gemar beribadah. Yaitu dengan mengajaknya berlaku ghuluw (melampaui batas) di dalam beribadah. Sehingga justru agamanya akan rusak. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang untuk bersikap ghuluw. (Muqaddimah Asy-Syaikh Al-Abbad, kitab Bi Ayyi ‘Aqlin wa Dinin)
Al-Imam Makhlad bin Al-Husain rahimahullahu pernah berkata, “Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berbuat kebaikan melainkan Iblis akan menghadangnya dengan dua cara. Iblis tidak ambil peduli dengan cara apa dia akan menguasainya. Antara bersikap ghuluw di dalam amalan tersebut ataukah sikap meremehkannya.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 9/236)

Definisi Al-Ghuluw
Al-Ghuluw secara bahasa bermakna melebihi batasan. Berasal dari kata غَلَا فِي الْأَمْرِ –يَغْلُو-غُلُوًّا. Hal ini sebagaimana dijabarkan oleh Al-Jauhari dalam Ash-Shihah, Ibnu Faris di dalam Al-Mu’jam, Ibnu Manzhur di dalam Al-Lisan, dan Az-Zabidi di dalam Tajul ‘Arus.
Di dalam penggunaannya, seluruh lafadz “ghuluw” selalu bermakna melebihi ukuran dan batasan. Sebagai contoh adalah hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Al-Bukhari (no. 2518). Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang budak yang terbaik untuk dibebaskan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَغْلاَهَا ثَمَنًا، وَأَنْفعُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا
“Budak yang paling tinggi harganya dan terbanyak manfaatnya bagi sang majikan.” Kalimat غلَاءُ الثَّمَنِ artinya harganya naik dan melebihi batas kebiasaan.
Demikian pula, sebagai contoh lain, hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ عَلَى أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ جَمْرَتَانِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ، كَمَا يَغْلِي الْمِرْجَلُ
“Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan azabnya adalah seseorang yang dipasangkan dua bara api pada telapak kakinya kemudian otaknya mendidih sebagaimana periuk itu mendidih.” (HR. Al-Bukhari no. 6561 dan Muslim no. 213)

Kalimat غلَاءُ الْمِرْجَلِ artinya periuk yang bertambah panasnya dan naik panasnya dari kebiasaan.
Syaikhul Islam rahimahullahu mendefinisikan ghuluw dengan menyatakan, “Melebihi dari batas, yaitu dengan menambahkan pujian atau celaan dari hak yang seharusnya, dan yang semisal itu.” (Iqtidha’ush Shirath, 1/328)
Adapun di dalam syariat, ghuluw bermakna melebihi batasan yang telah ditetapkan oleh syariat. (Al-Ghuluw, Ali Al-Haddadi, hal. 13)

Haramnya Ghuluw
Dienul Islam adalah ajaran yang diturunkan dari sisi Sang Khaliq, yang telah menciptakan langit dan bumi berikut segenap isinya. Sehingga, Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat Yang Maha Mengetahui sebatas mana kemampuan dan kekuatan manusia. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan syariat yang sesuai dengan kemampuan mereka. Dienul Islam datang membawa kemudahan bagi pengikutnya, ajaran yang tidak menghendaki adanya keberatan dan kesusahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
Maka dari itu, sikap ghuluw dan berlebih-lebihan adalah kesesatan serta jauh dari tujuan-tujuan suci. Berikut ini beberapa dalil tentang haram dan tercelanya sikap ghuluw. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُوا عَلَى اللهِ إِلاَّ الْحَقَّ
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (An-Nisa’: 171)
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Al-Ma’idah: 77)
Di dalam dua ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang ahlul kitab dari sikap ghuluw di dalam beragama. Sementara setiap pembicaraan yang ditujukan kepada ahlul kitab di dalam Al-Qur’an dalam bentuk perintah atau larangan juga ditujukan kepada umat Islam. Karena merekalah yang diajak berbicara di dalam Al-Qur’an. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang ahlul kitab dari sikap ghuluw, maka umat Islam lebih pantas untuk dilarang. (Al-Ghuluw, ‘Ali bin Yahya, hal. 15)
Di dalam Al-Qur’an juga dengan tegas melarang kita dari sikap melampaui batas. Sementara melampaui batas yang telah diterangkan oleh syar’i merupakan hakikat ghuluw. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Maidah: 87)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman kepada Nabi-Nya berikut para pengikut beliau:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْا
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.” (Hud: 112)
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan tentang haramnya ghuluw sangat banyak. Di antaranya adalah sebuah hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ -قَالَهَا ثَلاَثًا
“Benar-benar binasa orang-orang yang bersikap tanaththu’.” Beliau mengulangi pernyataan ini sebanyak tiga kali.” (HR. Muslim no. 2670)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu di dalam Syarah Muslim menjelaskan, “Yang dimaksud orang-orang yang bersikap tanaththu’ adalah mereka yang berlebih-lebihan, bersikap ghuluw, dan melampaui batas dari yang telah ditentukan. Baik di dalam ucapan ataupun perbuatan.”
Seseorang yang bersikap tanaththu’ akan mengalami kehancuran. Ia akan merugi. Karena sikap tersebut akan mendorongnya untuk terjatuh dalam dosa kesombongan dan ujub (bangga diri). Ia melihat dirinya telah banyak melakukan amalan shalih. Setan menipunya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang penipuan setan ini:
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu ia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak ditipu syaitan) maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: 8)
كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus: 12)
Seharusnya seorang muslim takut bila termasuk golongan yang tidak mendapatkan syafa’at dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari kiamat karena perbuatan ghuluw. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu:
صِنْفَانِ مِنْ أُمَّتِي لَنْ تَنَالَهُمَا شَفَاعَتِي: إِمَامٌ ظَلُومٌ غَشُوم ٌ، وَكُلُ غَالٍ مَارِقٍ
“Ada dua golongan dari umatku yang tidak akan memperoleh syafa’at dariku. Yaitu seorang pemimpin yang selalu berbuat zalim dan setiap orang yang berlaku ghuluw, keluar dari jalan kebenaran.” (HR. Ath-Thabarani, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu di dalam Ash-Shahihah)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita tentang bahaya ghuluw dengan memberat-beratkan diri di dalam beribadah. Karena sesungguhnya dienul Islam ini adalah ajaran yang mudah untuk diamalkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama Islam ini mudah. Tidak ada seorang pun yang memberat-beratkan dirinya dalam beragama melainkan dia tidak mampu menjalankannya.” (HR. Al-Bukhari no. 39 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menerangkan bahwa makna hadits ini ialah larangan bagi seseorang yang hendak memberatkan diri dalam amalan din, serta dia meninggalkan kelembutan karena dia tidak akan mampu untuk meneruskan amalan tersebut, berhenti dari ibadah dan pada akhirnya dia akan mengalami kekalahan. (Fathul Bari, ketika mensyarah hadits diatas)
Al-Imam Ibnu Al-Munayyir rahimahullahu berkata, “Di dalam hadits ini juga terdapat salah satu tanda-tanda kenabian. Sungguh kami sendiri telah menyaksikan sebagaimana orang-orang sebelum kami juga telah menyaksikan. Bahwa setiap orang yang berlebih-lebihan di dalam beragama pasti akan berhenti. Hal ini bukan bermakna larangan untuk mencari kesempurnaan di dalam ibadah, karena perkara seperti ini sangat terpuji. Hanya saja yang dilarang adalah sikap berlebih-lebihan yang akan mengantarkan pelakunya kepada kejenuhan. Demikian juga bila sikap tersebut mengakibatkan dia meninggalkan perkara yang lebih afdhal atau yang berakibat pelaksanaan sesuatu yang wajib bukan pada waktunya. Seperti seseorang yang semalam suntuk shalat malam. Dia akan merasakan kantuk yang sangat berat di pengujung malam. Akhirnya dia tidak dapat melaksanakan shalat shubuh secara berjamaah.” (Fathul Baari)
Sebagai bentuk cinta dan kasih sayang, dalam setiap kesempatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membimbing umat untuk menjauhi sikap ghuluw. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ
“Waspadalah dan berhati-hatilah kalian dari sikap ghuluw dalam beragama. Karena sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kalian disebabkan ghuluw yang mereka perbuat di dalam beragama.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Adh-Dhiya’. Hadits ini ditakhrij dalam Ash-Shahihah no. 1238)
Larangan ghuluw ini sebenarnya dipicu sebuah kejadian di pagi hari Aqabah. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan bahwa beliau diminta oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ketika itu sedang berada di atas kendaraannya, untuk memungut kerikil-kerikil. Setelah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyerahkan kerikil-kerikil yang akan digunakan untuk melempar jumrah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meletakkannya di tangan lalu bersabda:
“Hendaknya dengan kerikil-kerikil semacam inilah. Waspadalah dan berhati-hatilah kalian dari sikap ghuluw dalam beragama. Karena sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kalian disebabkan ghuluw yang mereka perbuat di dalam beragama.”
Walaupun larangan ini dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena disebabkan sebuah peristiwa secara khusus, namun hukum ini berlaku secara umum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ketika membicarakan hadits di atas berkata, “(Larangan ini) bersifat umum, mencakup seluruh jenis ghuluw. Di dalam perkara keyakinan maupun amalan.”
Saudaraku... sikap ghuluw adalah sikap tercela sebagai warisan dari ahlul kitab. Kita dilarang untuk meniru mereka. Dari Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُشَدِّدُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ قَبْلَكُمْ بِتَشْدِيدِهِمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَسَتَجِدُونَ بَقَايَاهُمْ فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارَاتِ
“Janganlah kalian memberat-beratkan diri kalian. Karena sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian hanyalah disebabkan mereka memberat-beratkan diri. Dan kalian akan menemukan sisa-sisa mereka di dalam pertapaan dan biara.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari di dalam At-Tarikh. Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah, 3124)
Di dalam perkara yang dianggap biasa sekalipun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menjauhi sikap berlebihan. Perkara memuji seseorang adalah satu hal yang biasa dilakukan. Namun apabila pujian tersebut disampaikan secara berlebihan justru akan menyeret pada dampak yang berbahaya. Orang yang dipuji secara berlebih tentu akan merasa ujub dan sombong.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu meletakkan sebuah bab di dalam Shahih Muslim, Bab Larangan Memuji, apabila berlebihan dan dikhawatirkan menimbulkan fitnah (ujian) bagi orang yang dipuji. Dari Abu Musa Al-’Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang memuji orang lain dan berlebihan di dalam memuji. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
لَقَدْ أَهْلَكْتُمْ -أَوْ قَطَعْتُمْ- ظَهْرَ الرَّجُلِ
“Sungguh kalian telah mencelakakan orang tersebut.”
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing kita untuk menaburkan pasir ke wajah orang yang senang berlebihan di dalam memuji sebagaimana dikabarkan oleh Al-Miqdad bin Al-Aswad radhiyallahu ‘anhu.
Secara khusus lagi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari sikap berlebih-lebihan di dalam memuji beliau. Karena kekhawatiran beliau bahwa umat Islam akan jatuh pada kesalahan yang dilakukan orang-orang Nasrani. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan sebuah hadits dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian berlebih-lebihan di dalam memuji diriku sebagaimana orang-orang Nashara berlebih-lebihan di dalam memuji Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’.”
Betapa besar perhatian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat Islam. Beliau benar-benar sayang dan mencintai pengikutnya. Semua telah ditunjukkan sepanjang hidup beliau. Di antara sekian banyak buktinya adalah pengingkaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang sahabat yang bernadzar untuk melakukan sesuatu yang berat. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, di saat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah, beliau melihat seseorang sedang berdiri di bawah terik matahari. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang orang tersebut. Para sahabat menjawab, “Dia adalah Abu Israil. Dia bernadzar untuk berdiri di bawah terik matahari dan tidak akan duduk, juga tidak ingin berteduh atau berbicara dalam keadaan dia berpuasa.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
“Perintahkan dia untuk berbicara, juga berteduh dan duduk, lalu menyempurnakan puasanya.” (HR. Al-Bukhari)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata, “Nadzar yang diucapkan sahabat ini mengandung perkara yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ada pula yang tidak dicintai-Nya. Adapun yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah puasa. Karena puasa bagian dari ibadah. Sementara Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: ‘Barangsiapa yang bernadzar di dalam ketaatan kepada Allah hendaknya ia tunaikan nadzarnya dengan menaatinya.’
Adapun perbuatan sahabat itu yang berdiri di bawah terik matahari tanpa berteduh. Demikian juga sikapnya yang tidak mau berbicara. Hal ini tidaklah dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat tersebut untuk meninggalkan nadzarnya.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Kesimpulannya, kebaikan yang hendak kita kejar haruslah dengan pertimbangan Al-Qur’an dan As-Sunnah disertai pemahaman salaful ummah. Tidak setiap amalan yang kita anggap baik benar-benar sebuah kebaikan, kecuali dengan dilandaskan oleh dalil.
Wallahu a’lam.

GHULUW

Rabu, 22 Juli 2009 - 05:39:08, Penulis : Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
Kategori : Kajian Utama
Ghuluw di Sekitar Kita
[Print View] [kirim ke Teman]

Sebagaimana dengan keburukan lainnya, ghuluw pun akan menyeret hamba pada penyimpangan-penyimpangan berikutnya. Maka sudah semestinya kita mendeteksi secara dini penyakit bernama ghuluw ini.

Sikap ghuluw di dalam ibadah adalah keburukan. Tidak ada sedikitpun kebaikan di dalamnya. Sebagaimana halnya kebaikan, satu bentuk kebaikan akan melahirkan segenap kebaikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْخَيْرُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِالْخَيْرِ
“Kebaikan itu tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan juga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Demikian pula keburukan, satu keburukan akan mendorong seseorang terjatuh dalam rangkaian keburukan berikutnya. Satu bentuk ghuluw yang dilakukan seseorang tentu akan membawa dirinya untuk melakukan ghuluw yang lain. Sehingga, benarlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah memperingatkan umat dari bahaya ghuluw ini.

Sekadar Contoh Ghuluw
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan bahwa ghuluw banyak sekali macamnya. Di antaranya ghuluw di dalam aqidah, ibadah, mu’amalah, dan ada juga ghuluw di dalam adat kebiasaan. Ghuluw di dalam aqidah, contohnya adalah orang yang terpengaruh oleh Ahlul Kalam di dalam menetapkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Ahlul Kalam bersikap terlalu berlebihan yang pada akhirnya berujung pada kehancuran. Perbuatan mereka menyebabkan terjatuhnya seorang hamba kepada salah satu dari dua kesesatan. Yaitu tamtsil (menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk atau sebaliknya) dan ta’thil (mengingkari sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala). (Al-Qaulul Mufid, 1/394)
Ghuluw di dalam masalah sifat-sifat Allah pertama kali terjadi pada diri Al-Ja’d bin Dirham. Kepalanya dipenggal oleh penguasa ‘Iraq ketika itu, Khalid bin Abdul ‘Aziiz Al-Qasri, karena Al-Ja’d berkeyakinan kalamullah (Al-Qur’an) adalah makhluk. Pemikiran Al-Ja’d ini diteruskan oleh Al-Jahm bin Shafwan At-Tirmidzi. Melalui Al-Jahm inilah, pemikiran ghuluw di dalam memahami sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebar. Walaupun pada akhirnya, Al-Jahm pun dibunuh oleh penguasa Khurasan, Salm bin Ahwaz. (Haqiqat Al-Ghuluw, ’Ali bin ‘Abdil ‘Aziz, hal. 47)
Tentang ghuluw di dalam memahami sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu juga memberikan contoh dengan seorang pelajar yang mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak semestinya ditanyakan. Pertanyaan itu terkait dengan ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal pertanyaan itu tidak pernah ditanyakan oleh salaf. Sebagai contoh, hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dari sahabat Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma:
إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبِعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يَصْرِفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ
“Sesungguhnya hati anak cucu Adam berada di antara dua jari jemari Ar-Rahman seperti satu hati saja. Dia membolak-balikkannya sesuai yang Dia kehendaki.”
Sang pelajar yang bersikap ghuluw ini bertanya, “Berapakah jumlah jari-jemari Allah Subhanahu wa Ta’ala? Apakah ada ruas-ruasnya? Berapakah jumlah ruasnya?” Hal-hal seperti ini tidak boleh ditanyakan karena termasuk sikap ghuluw. (Syarah Riyadhus Shalihin)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu juga menjelaskan bahwa ghuluw di dalam ibadah artinya terlalu bersikap keras. Dengan memandang adanya sedikit saja kekurangan di dalam ibadah telah divonis sebagai bentuk kekufuran serta keluar dari ajaran Islam. Sebagaimana ghuluw yang dilakukan oleh kelompok Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka berpendapat, seseorang yang melakukan satu bentuk dosa besar telah keluar dari Islam. Harta dan darahnya menjadi halal. Mereka membolehkan untuk memberontak kepada pemerintah muslim. Adapun Mu’tazilah berpendapat, seseorang yang terjatuh dalam dosa besar dia berada di antara dua keadaan. Antara kekufuran dan keimanan. Keyakinan ini pun satu bentuk sikap ghuluw yang akan mengantarkan kepada gerbang kehancuran. (Al-Qaulul Mufid, 1/394). Lihat pembahasan secara lengkap tentang masalah ini pada Asy Syari’ah Vol I/No. 08/1425 H/Juli 2004.
Di antara contoh ghuluw di dalam beribadah adalah perbuatan sebagian orang yang berwudhu dalam bilangan yang berlebihan. Dia berwudhu hingga empat, lima, atau enam kali bahkan lebih dari itu, dengan alasan untuk lebih sempurna. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk berwudhu tidak lebih dari tiga kali. Dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma riwayat Abu Dawud (no. 135), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah menjelaskan tata cara berwudhu:
هَكَذَا الْوُضُوءُ فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ وَظَلَمَ
“Demikianlah cara berwudhu, barangsiapa menambah (lebih dari itu) maka dia telah berbuat jelek dan zalim.”
Contoh lain, seseorang yang mandi janabah. Dia memberatkan dirinya sendiri dengan berusaha memasukkan air ke dalam telinga dan lubang hidungnya. Perbuatan ini masuk di dalam larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
هَلَكَ الْـمُتَنَطِّعُونَ
“Benar-benar binasa orang-orang yang bersikap tanaththu’.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) [Syarah Riyadhus Shalihin]
Contoh lain tentang ghuluw di dalam ibadah. Orang yang sedang jatuh sakit, pada bulan Ramadhan dia memaksakan diri untuk tetap berpuasa. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan baginya untuk berbuka. Karena dia membutuhkan suplai makanan, minuman, dan obat. (Syarah Riyadhus Shalihin)
Adapun ghuluw di dalam muamalah, dijelaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu, yaitu dengan berlebihan di dalam mengharamkan sesuatu walaupun hal tersebut hanyalah sekadar wasilah. Seperti yang dilakukan oleh para pengikut ajaran Shufi (Sufi). Mereka berkeyakinan bahwa orang yang bekerja mencari kehidupan dunia adalah orang yang tidak memiliki keinginan untuk mendapatkan akhirat. Mereka juga menyatakan, “Tidak boleh engkau membeli sesuatu yang bukan kebutuhan primer.” Keyakinan mereka ini sangat parah, karena mereka telah mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa-apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (An-Nahl: 116)
Untuk pembahasan lengkap tentang Sufi silakan merujuk Majalah Asy Syari’ah Vol. I/No. 07/1425 H/2004.
Contoh berikutnya di dalam muamalah, adalah kebiasaan sebagian penuntut ilmu. Dia memaksakan diri untuk membaca dalam keadaan mengantuk. Yang dia dapatkan hanya lelah. Karena seseorang yang membaca dalam keadaan mengantuk tidak akan bisa mengambil manfaat dari bacaaannya. Seharusnya jika dia mulai merasakan kantuk, dia menutup kitab dan tidur untuk beristirahat. Bahkan selepas shalat Ashar atau selepas shalat Shubuh, seandainya dia merasakan kantuk berat hendaknya ia beristirahat. (Syarah Riyadhus Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu)
Di antara bentuk ghuluw di dalam mu’amalah sehari-hari adalah yang disebutkan oleh Al-Imam Abdurrahman bin Hasan rahimahullahu yaitu dengan menahan diri dari hal-hal yang mubah secara mutlak. Seperti orang yang tidak mau makan daging dan roti. Hanya mengenakan pakaian dari bahan-bahan yang kasar atau tidak ingin menikah. Dia meyakini hal-hal seperti ini merupakan bentuk zuhud yang terpuji. Padahal orang semacam ini adalah orang yang jahil dan sesat. (Fathul Majid, 1/396)

Nasihat Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu
Alangkah indahnya wasiat salaf. Wasiat yang akan membimbing kita di dalam meniti jejak generasi terbaik umat ini. Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata, “Demi Dzat Yang tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Dia, menegakkan As-Sunnah itu berada di antara dua kelompok. (Kelompok) yang ghuluw dan (kelompok) yang bersikap meremehkan. Maka bersabarlah kalian di dalam mengamalkan As-Sunnah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa merahmati kalian. Sesungguhnya pada waktu yang lalu Ahlus Sunnah adalah golongan yang paling sedikit jumlahnya. Maka demikian pula pada waktu yang akan datang, mereka adalah golongan yang paling sedikit jumlahnya. Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang tidak mengikuti kemewahan manusia. Tidak pula mengikuti kebid’ahan manusia. Mereka senantiasa bersabar di dalam mengamalkan As-Sunnah sampai bertemu dengan Rabb mereka. Maka hendaknya kalian pun demikian.” (Syarah Ath-Thahawiyyah, 2/326)