Rabu, 09 September 2009

PRIBADI YANG STABIL

Self Promotion (3)
Jumat, 10/07/2009 10:04 WIB Cetak | Kirim | RSS Dalam masyarakat muslim, manusia tidak boleh menganggap diri mereka suci dibanding yang lain.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Kami ingin memahami mengapa manusia tidak boleh menganggap diri mereka suci dalam masyarakat muslim, tidak boleh mencalonkan diri mereka untuk memangku jabatan, dan tidak boleh mempromosikan dirinya agar mereka dipilih untuk duduk di majelis syura, menjadi pemimpin tertinggi atau penguasa…

Sesungguhnya manusia di tengah masyarakat muslim tidak membutuhkan sedikit pun dari hal-hal tersebut untuk memperlihatkan keunggulan dan kapabilitas mereka. Sebagaimana jabatan dan kewenangan di tengah masyarakat ini merupakan beban berat yang tidak menggoda seorang pun untuk memperebutkannya—kecuali untuk mencari pahala dengan menjalankan kewajiban dan melakukan pengabdian yang besar demi mencari ridha Allah.

Dari sini, tidak ada yang meminta jabatan dan tugas selain orang-orang yang menjatuhkan harga dirinya demi jabatan karena ada kebutuhan (interest) dalam diri mereka. Mereka ini wajib dihalangi untuk memperoleh jabatan!

Tetapi, hakikat ini tidak dipahami kecuali dengan mengkaji perkembangan natural masyarakat Muslim, dan memahami watak keterbentukannya secara organisasional.

Sesungguhnya pergerakan merupakan unsur yang membentuk masyarakat tersebut, karena masyarakat muslim itu lahir dari pergerakan akidah Islam.

Pertama, akidah datang dari sumber Ilahi-nya yang terepresentasikan pada penjelasan verbal Rasul dan tindakannya—di masa kenabian, atau terefleksi pada dakwah para da’i yang menyampaikan apa yang datang dari Allah dan apa yang yang disampaikan oleh Rasul-Nya—sepanjang masa sesudah itu, lalu dakwah tersebut direspon oleh banyak orang yang siap menghadapi siksaan dan ujian dari jahiliyah yang berkuasa dan dominan di negeri dakwah.

Di antara mereka, ada yang termakan ujian lalu murtad, dan di antara mereka ada yang membenarkan janji Allah sehingga ia mengakhiri hidupnya sebagai syahid, dan di antara mereka ada yang berusia panjang hingga Allah menurunkan keputusan dengan haq antara dia dan kaumnya.

Mereka itulah orang-orang yang diberi kemenangan oleh Allah, dijadikan-Nya tabir bagi takdir-Nya, dan diberi-Nya kedudukan yang kuat di muka bumi guna mewujudkan janji-Nya untuk menolong dan memberi kedudukan yang kuat bagi orang yang menolong-Nya. Semua itu agar kerajaan Allah tegak di muka bumi—maksudnya untuk melaksanakan hukum Allah di muka bumi. Ia tidak punya andil sedikit pun dari kemenangan dan kedudukan yang kuat ini. Yang ada hanyalah pertolongan terhadap agama Allah dan penguatan poisisi rububiyyah Allah pada para hamba.

Mereka tidak membatasi agama ini agar berada dalam batas-batas negera tertentu; tidak pula pada batas-batas ras tertentu; dan tidak pula pada batas-batas kaum, atau warna kulit, atau bahasa, atau unsur apapun dari unsur-unsur manusia yang sifatnya ardhi (kebumian) yang rentan dan tidak bernilai itu! Mereka hanya bertolak dengan akidah rabbani ini untuk membebaskan “insan” seluruhnya di “muka bumi” seluruhnya dari penghambaan terhadap selain Allah; dan untuk mengangkat mereka dari penghambaan terhadap para thaghut, apapun dan siapapun thaghut tersebut!

Di tengah pergerakan untuk mengusung agama itu—dan kami telah menegaskan bahwa ia tidak berhenti pada pendirian negara Islam di suatu belahan bumi, dan tidak berhenti pada batas-batas geografis, bangsa, dan ras…Di tengah pergerakan tersebut kecakapan manusia teridentifikasi, dan kedudukan mereka di tengah masyarakat ditengarai. Identifikasi dan penengaraan penentuan ini berpijak pada kriteria-kriteria dan nilai-nilai keimanan.

Semua orang saling mengenal berdasarkan kriteria dan nilai tersebut. Yaitu dari kegigihan dalam jihad, takwa, keshalehan, ibadah, akhlak, kemampuan, dan kapabilitas. Seluruhnya merupakan nilai-nilai yang dituntut realitas, dimunculkan pergerakan, dikenal oleh masyarakat, dan mereka mengenal orang-orang yang menyandang nilai-nilai tersebut. Dari sini, para pelakunya tidak perlu mengatakan diri mereka bersih, dan tidak perlu meminta jabatan publik, atau dewan legislatif.

Di tengah masyarakat muslim yang tumbuh berkembang sedemikian rupa, dimana struktur keanggotaannya terbentuk melalui karakterisasi di tengah pergulatan pergerakan dengan nilai-nilai keimanan—seperti karakterisasi di tengah masyarakat muslim terhadap para senior dari kalangan Muhajirin dan Anshar, Ashabul-Badr, Ashab Bai’at Ridhwan, serta orang-orang yang telah berinfak dan berperang sebelum Fathu Makkah…kemudian masyarakat di dalamnya terus membentuk karakter dengan kegigihan perjuangan untuk menyuarakan Islam.

Di tengah masyarakat seperti itu, manusia tidak saling merugikan satu sama klain, dan tidak mengingkari kelebihan orang-orang yang telah terbentuk karakternya—meskipun terkadang kelemahan manusiawi mengalahkan mereka sehingga terbawa ambisi. Pada saat itu—dari satu sisi—orang-orang yang telah terbentuk karakternya itu tidak perlu untuk menyatakan diri bersih dan meminta jabatan publik, atau dewan legislatif dengan cara menyatakan diri sebagai orang bersih (self-promotion).
(http://www.eramuslim.com)

PRIBADI YANG STABIL

Self Promotion (2)
Kamis, 02/07/2009 15:21 WIB Cetak | Kirim | RSS Perintah menunaikan amanah kepada yang berhak dan memutuskan perkara di antara manusia dengan adil ini dikomentari dengan peringatan bahwa perintah tersebut merupakan sebagian dari nasihat dan arahan Allah.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Yusuf tidak meminta jabatan untuk kepentingan dirinya saat ia melihat sambutan baik raja terhadapnya. Ia hanya jeli dalam memilih waktu agar permintaannya dikabulkan, yaitu agar ia memikul kewajiban yang meletihkan, berat, dan berisi tugas yang besar pada masa-masa krisis yang paling sulit; dan agar dijadikan penanggungjawab logistik seluruh penduduk negeri, dan juga penduduk negeri-negeri tetangga selama tujuh tahun paceklik.

Jadi, ini bukan ‘durian runtuh’ yang diminta Yusuf untuk kepentingan dirinya. Karena siapapun tidak akan mengatakan bahwa menanggung makanan suatu bangsa yang lapar selama tujuh tahun berturut-turut itu merupakan ‘durian runtuh’. Ini tidak lain adalah tugas yang dihindari banyak orang, karena terkadang jaminannya adalah leher mereka. Kelaparan itu gelap mata. Terkadang massa yang lapar itu lebih merusak pada saat gelap mata dan gila.

Ada masalah pelik di sini. Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan (pemegang kunci bumi) negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Tidakkah perkataan Yusuf ini mengandung dua perkara yang dilarang dalam sistem Islami?
Pertama, meminta jabatan yang dilarang berdasarkan nash dari Rasulullah saw, “Demi Allah, kami tidak memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya (atau berambisi terhadapnya).” (Muttafaq ‘Alaih)

Kedua, menganggap diri baik atau bersih, dan itu dilarang berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.” (an-Najm [53]: 32)

Kami tidak ingin menjawab bahwa kedua kaidah ini ditetapkan dalam sistem Islam di zaman Rasulullah saw, dan bahwa keduanya belum ditetapkan pada zaman Yusuf as, dimana masalah-masalah organisasional dalam agama ini bukan merupakan satu kesatuan seperti prinsip-prinsip akidah yang ajeg dalam setiap risalah di tangan setiap Rasul.

Kami tidak ingin menjawab demikian, meskipun beralasan. Kami melihat bahwa perkara dalam masalah ini terlalu dalam dan terlalu luas cakrawalanya untuk disandarkan pada alasan ini. Kami berpendapat bahwa perkara ini bertumpu pada pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dipahami untuk memahami metode istidlal (konklusi) dari ushul dan nash, dan untuk memberi ushul fiqh dan hukum-hukum fikih itu watak pergerakan yang orisinil dalam entitasnya, yang selama ini telah padam dan beku di dalam akal para ulama fikih dan rasionalitas fikih seluruhnya di masa-masa kebekuan dan kejumudan!

Sesungguhnya fiqih Islam tidak muncul di ruang kosong, sebagaimana ia tidak hidup dan tidak dipahami di ruang kosong! Fikih Islam lahir di tengah masyarakat Muslim, dan lahir melalui pergerakan masyarakat ini dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan riil kehidupan Islami. Bergitu juga, fikih Islam bukan yang melahirkan masyarakat Muslim, tetapi masyarakat Muslim dengan pergerakan realistisnya dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan kehidupan Islami itulah yang melahirkan fikih Islam.

Kedua fakta historis dan konkret ini sangat besar indikasinya. Sebagaimana keduanya sangat urgen untuk memahami watak fikih Islam, dan memkonsepsi watak haraki pada hukum-hukum fikih Islam.

Banyak orang pada hari mengikuti teks dan hukum yang telah dibukukan, tanpa memahami dua hakikat tersebut, dan tanpa mengkaji situasi dan kondisi yang ada pada waktu teks-teks itu ditulis dan hukum-hukum itu dibangun, dan tanpa menghadirkan karakter suasana, lingkungan, dan kondisi yang dihadapi dan diarahkan oleh teks-teks tersebut.

Hukum-hukum tersebut dibentuk di dalamnya, mengaturnya, dan hidup di dalamnya. Orang-orang yang berbuat demikian itu, serta berusaha mengemplementasikan hukum-hukum ini seolah-olah ia lahir dalam kekosongan, dan seolah-olah pada hari ini ia bisa hidup dalam kekosongan, mereka itu bukan fuqaha! Mereka itu tidak memiliki “fikih” dengan watak fikih yang sebenarnya, dan dengan watak agama ini sama sekali!

Sesungguhnya “fiqih pergerakan” itu berbeda secara fundamental dengan “fiqih teks-book”, meskipun pada dasarnya “fiqih pergerakan” itu mengambil sumber dan berpijak pada nash-nash yang juga menjadi pijakan dan sumber bagi “fiqih teks-book” itu!

Sesungguhnya fikih pergerakan memasukkan “realitas” yang menjadi tempat turunnya nash itu ke dalam pertimbangannya, serta merumuskan hukum-hukum di dalamnya. Fikih pergerakan melihat bahwa realitas bersama nash dan hukum membentuk suatu komposisi yang unsur-unsurnya tidak terpisah. Apabila unsur-unsur dari komposisi ini terpisah, maka ia kehilangan wataknya dan komposisinya pun buyar!

Dari sini, tidak ada satu hukum fikih pun yang berdiri sendiri, hidup dalam kekosongan, tidak terefleksi di dalamnya unsur-unsur situasi, kondisi, lingkungan, dan konteks yang menjadi tempat kelahirannya pertama kali. Ia tidak muncul dalam kekosongan, dan karenanya ia tidak bisa hidup dalam kekosongan!

Mengenai ketetapan umum ini, ambil contoh hukum fikih Islam mengenai larangan menganggap diri suci dan larangan mencalonkan diri untuk memperoleh jabatan (self-promotion). Hukum ini terambil dari firman Allah Ta’ala, “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci.” (an-Najm [53]: 32) Dan dari sabda Rasulullah saw, “Demi Allah, kami tidak memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya (atau berambisi terhadapnya).” (Muttafaq ‘Alaih)

Hukum ini—sebagaimana nash-nash tersebut turun—lahir di sebuah masyarakat muslim agar diterapkan dalam masyarakat tersebut, agar hukum tersebut hidup di tengahnya, dan agar hukum ini memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, sesuai perkembangan historisnya, sesuai struktur keanggotaannya, dan sesuai realitas esensialnya.

Dari sini, hukum tersebut merupakan hukum Islam yang datang untuk diterapkan dalam sebuah masyarakat Islam. Ia lahir di tengah sebuah realitas, bukan dalam kekosongan imajiner. Ia lahir dalam struktur keanggotaannya, dan dalam ikrarnya terhadap syari’at Islam secara sempurna.

Setiap masyarakat yang di dalamnya tidak terlengkapi unsur-unsur ini dianggap “kosongan” bagi hukum tersebut. Hukum ini tidak bisa hidup di dalamnya, tidak tepat untuknya, dan juga tidak bisa memperbaikinya!

Contohnya adalah setiap hukum pemerintahan Islam. Meskipun dalam konteks ini kami tidak merinci selain hukum ini karena terkait dengan konteks surat.

PRIBADI YANG STABIL

Self Promotion (1)
Monday, 22/06/2009 15:13 WIB Cetak | Kirim | RSS Kebersihan Yusuf telah terbukti di hadapan raja, dan telah terbukti pula ilmunya tentang tafsir mimpi dan kearifannya saat meminta penyelidikan terhadap kasus sekumpulan wanita tersebut.


وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ (54) قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ (55) وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاءُ نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَنْ نَشَاءُ وَلَا نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ (56) وَلَأَجْرُ الْآَخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (57)

“Dan raja berkata, ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.’ Maka tatkala raja telah berkata kepadanya, dia (Raja) berkata: ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi (berkuasa penuh) lagi dipercaya pada sisi kami (54) Berkata Yusuf, ‘Jadikanlah aku memegang kunci bumi negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan (55) Dan demikianlah kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang- orang yang berbuat baik (56) Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa (57). (Yusuf / 12 : 54 – 57) (54-57)

Kebersihan Yusuf telah terbukti di hadapan raja, dan telah terbukti pula ilmunya tentang tafsir mimpi dan kearifannya saat meminta penyelidikan terhadap kasus sekumpulan wanita tersebut. Begitu juga, telah terbukti baginya kemuliaan dan integritas moral Yusuf, saat ia tidak menjatuhkan harga diri untuk bisa keluar dari penjara, dan tidak pula menjatuhkan harga diri untuk bisa bertemu raja. Raja Mesir! Sebaliknya, ia menunjukkan sikap seorang mulia yang dicemarkan nama baiknya, dan dipenjara secara zhalim. Ia meminta nama baiknya dibersihkan sebelum ia meminta tubuhnya dibebaskan dari penjara. Ia menuntut kehormatan diri dan agama yang diperjuangkannya sebelum ia menuntut melangkah di samping raja.

Semua itu menggugah rasa hormat dan cinta di hati raja kepadanya, sehingga raja berkata,
“Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.”

Jadi, raja tidak menghadirkannya dari penjara untuk dibebaskan, bukan untuk melihat langsung orang yang pandai menafsirkan mimpi, dan bukan untuk menyampaikan “tanda jasa kerajaan” sehingga Yusuf melambung karena senang. Tidak! Raja menghadirkannya untuk memilihnya sebagai orang dekatnya, menempatkannya pada posisi penasihat dan teman.

Betapa banyak orang yang menjatuhkan kehormatan mereka di kaki para penguasa—padahal mereka adalah orang-orang yang bebas, tidak dipenjara. Mereka dengan suka rela mengikat leher dengan tangan mereka sendiri, dan menjatuhkan martabat sendiri untuk memperoleh simpati dan kalimat pujian, serta untuk mendapatkan dukungan dari para pengikut, bukan kedudukan orang-orang yang bersih. Andai saja orang-orang seperti itu membaca al-Qur’an dan mengkaji kisah Yusuf agar mereka tahu bahwa kehormatan, integritas moral, dan martabat itu memberikan keuntungan—bahkan yang sifatnya materi—berlipat ganda, melebihi apa yang diberikan sikap menjilat dan menunduk!

“Raja berkata, ‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku..’”

Rangkaian ayat selanjutnya menghilangkan bagian dari pelaksanaan perintah, agar kita langsung mendapati Yusuf bersama raja.

“Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata, ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.’” (54)

Ketika raja telah berbicara kepada Yusuf, maka firasatnya terbukti benar. Dan raja memberi ucapan selamat kepada Yusuf karena Yusuf memiliki kedudukan dan amanah di depan raja. Jadi, dia bukan pemuda Ibrani dengan ciri kehidupan asketik, melainkan seorang yang berkedudukan tinggi. Dia bukan tersangka yang diancam penjara, melainkan orang yang dipercaya. Itulah kedudukan dan amanah di depan raja dan di bawah atapnya. Lalu, apa yang dikatakan Yusuf?

Ia tidak bersujud syukur sebagaimana para kroni yang selalu menguntit itu sujud kepada para thaghut. Yusuf tidak berkata: Jayalah engkau, tuan! Aku adalah hambamu yang patuh atau pelayanmu yang terpercaya. Seperti yang dikatakan oleh para penjilat kepada para diktator! Tidak, ia hanya meminta sesuai keyakinannya bahwa ia mampu memikul tugas dalam menyelesaikan krisis mendatang yang ditakwilinya dari mimpi raja, secara lebih baik daripada kinerja siapapun di negeri ini. Ia menuntut sesuai keyakinannya bahwa ia akan menjaga nyawa dari kematian, memelihara negara dari kehancuran, dan melindungi masyarakat dari bencana kelaparan. Jadi, ia adalah yang memiliki pemahaman yang kuat dimana situasi membutuhkan pengalaman, kecakapan, dan amanahnya, seperti kuatnya ia dalam menjaga kehormatan dan integritas moralnya.

“Berkata Yusuf, ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.’” (55)

Krisis datang dengan didahului masa-masa kemakmuran. Hasil bumi yang berlimpah itu perlu dijaga dan disimpan. Ia membutuhkan kepiawaian manajemen untuk mengatur logistik secara cermat, mengontrol pertanian dan hasil panennya, serta menjaganya. Ia membutuhkan pengalaman, kebijakan yang tepat, dan pengetahuan semua cabang yang diperlukan untuk tugas tersebut, baik di masa panen raya atau di masa paceklik. Dari sini, Yusuf menyebutkan sebagian sifat dalam dirinya yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas tersebut, yang menurutnya ia lebih mampu memikulnya, dan bahwa sifat ini akan menghasilkan kebaikan besar bagi bangsa Mesir dan bangsa-bangsa tetangga.

“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”

Tetap dalam Syahadat

Membendung Permusuhan Kaum Kafir PDF Cetak E-mail
Wednesday, 16 July 2008

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya (TQS Ali Imran [3]: 118)

Dalam pertarungan apa pun, pengetahuan tentang siapa yang menjadi lawan tanding sangat diperlukan. Demikian juga penyikapan yang tepat terhadapnya. Apabila hal itu tidak dimiliki, tentu akan berakibat fatal. Bayangkan jika kita memiliki seorang musuh yang sangat membenci kita, namun justru kita anggap sebagai teman kepercayaan. Karena dianggap sebagai teman, berbagai rahasia pun kita beritahukan kepadanya. Akibatnya sudah bisa diduga. Musuh itu akan lebih mudah menikam dan mengalahkan kita.

Sebagai dîn yang sempurna, Islam tidak alpa memberitahukan hal itu kepada umatnya. Dalam beberapa ayat diberitakan bahwa musuh umat Islam adalah Iblis dan para pengikutnya, yakni kaum kafir. Mereka tak henti-hentinya memerangi Islam dan Umatnya. Mereka juga amat senang jika kaum Muslim ditimpa krisis dan bencana. Besarnya kebencian mereka sudah tak terkira.

Realitas tersebut mengharuskan mereka diper-lakukan sebagai musuh. Mereka tidak boleh dijadikan sebagai pemimpin, pelindung, dan orang dalam yang mengetahui berbagai rahasia penting kaum Muslim. Cukup banyak al-Quran yang menegaskan perkara tersebut. Di antaranya adalah QS Ali Imran [3]: 118.



Tidak Boleh Dijadikan Sebagai Bithânah

Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmânû lâ tattakhidzû bithânat[an] min dûnikum (hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu). Seruan ayat ini ditujukan kepada kaum Mukmin. Sehingga, dhamîr mukhâthab (kum, kalian) pada frasa min dúnikum menunjuk kepada orang-orang Mukmin. Oleh karena kata dûna bermakna ghayru (selain), maka pengertian min dúnikum sebagaimana dijelaskan al-Razi dan al-Khazin-- mencakup semua orang nonmuslim atau kafir, baik Yahudi, Nasrani, musyrik, maupun munafik. Penjelasan senada juga disampaikan oleh mufassir lainnya, seperti al-Thabari, al-Alusi, Ibnu Katsir, al-Baidhawi, Ibnu 'Athiyyah, al-Syaukani, al-Jazairi, dan lain-lain dalam kitab tafsir mereka.

Ditegaskan dalam ayat ini, kaum Muslim dilarang menjadikan orang-orang kafir atau munafik itu sebagai bithânah. Al-Qurthubi dan al-Khazin menerangkan, sebutan bithânah dikhususkan bagi orang yang mengetahui hakikat perkara rahasia. Menurut al-Jazairi bithânah al-rajul berarti orang-orang yang mengetahui hakikat perkara yang disembunyikan dari pandangan manusia karena adanya suatu kemaslahatan.

Al-Zujjaj menyatakan, kata al-bithânah dalam ayat ini bermakna al-dukhalâ' (orang-orang dalam) yang dibukakan pintu lebar bagi mereka dan mereka pun bisa mengetahui hakikat perkara yang sebenarnya. Ibnu Katsir juga memaparkan bahwa al-bithânah adalah orang-orang yang bisa mengamati perkara-perkara rahasia yang harus disembunyikan di hadapan musuh.

Tipologi demikian terdapat pada sahabat karib atau teman kepercayaan. Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan al-Thabari dalam tafsirnya, ayat ini melarang kaum Muslim menjadikan orang-orang kafir sebagai akhillâ wa ashfiyâ' (sahabat dan teman dekat). Di samping kawan dekat, menurut al-Baghawi juga menjadi auliyâ' (para wali: pelindung, penolong, pembantu, dsb).

Memberikan izin resmi bagi intelejen kafir untuk melakukan kegiatan spionase terhadap kaum Muslim bisa dimasukkan larangan ayat ini. Sebab, pemberian izin itu berarti mempersilakan mereka mengetahui berbagai perkara rahasia kaum Muslim.



Menginginkan Keburukan

Selanjutnya Allah SWT menerangkan penyebab larangan tersebut. Allah SWT berfirman: lâ ya'lûnakum khabâl[an] ([karena] mereka tidak henti-hentinya [menimbulkan] kemudaratan bagimu). Al-Alusi dan al-Baghawi menjelaskan bahwa kata al-khabâl berarti al-syarr wa al-fasâd (keburukan dan kerusakan). Menurut al-Syaukani, makna al-khabâl adalah kerusakan dalam perbuatan, badan, dan akal.

Dengan demikian, kaum kafir senantiasa menempuh berbagai upaya dan strategi mereka untuk menimbulkan keburukan, kerusakan, dan bencana bagi kaum Muslim. Kerusakan yang ditimbulkan itu, kata al-Jazairi dalam Aysar al-Tafâsîr, bersifat menyeluruh, baik dalam urusan dîn maupun urusan dunia.

Dalam perkara dîn, mereka berupaya keras memurtadkan umat Islam dari agama mereka (lihat QS al-Baqarah [2]: 217, Ali Imran [3]: 98-100). Mereka tidak rela selama kaum Muslim belum mengikuti agama mereka (QS al-Baqarah [2]: 120). Sehingga mereka pun giat mempropagandakan sekularisme, liberalisme, pluralisme, HAM, dan berbagai ide kufur lainnya kepada kaum Muslim; mendukung dan mensponsori ide sesat semacam Islam Liberal, Ahmadiyyah, dll; mengekspor gaya hidup bebas, seperti perilaku free sex; menghalangi terbitnya UU Antipornografi, dsb. Itu semua mereka lakukan untuk merusak aqidah kaum Muslim.

Dalam perkara dunia, mereka menjalankan berbagai langkah untuk menjarah kekayaan kaum Muslim. Mereka menekan rezim di negeri Muslim untuk memberlakukan sistem ekonomi liberal. Dengan sistem ekonomi tersebut, akan lebih mudah bagi mereka menguasai tambang-tambang di negeri-negeri Muslim. Akibatnya, kaum Muslim hidup miskin meskipun memiliki kekayaan alam melimpah ruah. Mereka juga memaksakan utang hingga kaum Muslim terperangkap dalam hegemoni mereka. Ini semua menunjukkan bahwa kaum kafir itu memang benar-benar memusuhi Islam dan umatnya.

Permusuhan mereka terhadap kaum Muslim kian jelas dengan firman Allah SWT selanjutnya: waddû mâ anittum (mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu). Al-Zamakhsyari menerangkan, kata al-'anat berarti syiddah al-dharar wa al-masyaqqah (bahaya dan kesulitan yang amat besar). Itu artinya, kaum kafir itu amat menyukai umat Islam ditimpa kesulitan dan kemudaratan besar. Sebaliknya, mereka tidak rela jika kaum Muslim mendapatkan kemenangan, keberhasilan, dan kebahagiaan.

Dengan sepak terjang demikian, wajarlah jika mereka tidak boleh dijadikan sebagai orang dalam, orang yang mengetahui rahasia-rahasia kaum Muslim. Jika larangan itu dilanggar, yakni kaum kafir dijadikan sebagai orang dalam atau teman kepercayaan, maka akan mamudahkan bagi mereka mengalahkan umat Islam.



Besarnya Kebencian Mereka

Selanjutnya Allah SWT memberitakan tentang besarnya kebencian dan permusuhan mereka terhadap Islam dan umatnya. Allah SWT berfirman: Qad badat al-baghdhâ' min afwâhihim (telah nyata kebencian dari mulut mereka). Al-Syaukani menyatakan, kata al-baghdhâ' berarti syiddah al-buhgdh (kebencian yang amat besar). Ini berarti, besarnya kebencian mereka sudah tampak pada ucapan-ucapan yang keluar dari mulut mereka.

Dalam beberapa ayat, al-Quran memberitakan ucapan kebencian kaum kafir ini. Mereka menghina Rasulullah saw sebagai majnûn, orang gila. Penghinaan mereka itu disitir Allah SWT dalam firman-Nya: Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al Qur'an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” (TQS al-Hijr [15]: 6). Lihat juga dalam QS al-Shaff [37]: 36, al-Dukhan [44]: 14. Mereka tidak hanya mendustakan al-Quran, namun juga melecehkannya. Wahyu yang diturunkan Allah SWT mereka sebut sebagai asâthîr al-awwalîn, dongengan orang-orang yang dahulu (lihat QS al-Muthaffifin [83]:13).

Sebagaimana terhadap Nabi dan kitabnya, mereka juga melecehkan kaum Muslim. Allah SWT berfirman: Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: "Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat" (TQS al-Muthaffifin [83]: 29- 32)

Penghinaan itu terus berlangsung hingga kini. Di antara mereka ada yang melecehkan al-Quran sebagai The Satanic verses, Ayat-ayat Setan. Lainnya menyatakan, al-Quran merupakan sumber kekerasan dan terorisme. Ada pula yang menghina Rasulullah saw dalam bentuk kartun. Dalam kartun itu, Rasulullah saw digambarkan sebagai teroris yang menyelipkan bom di sorbannya. Ada pula yang menyebut Islam sebagai the satanic ideology, ideologi syetan.

Semua ucapan itu menunjukkan betapa besar kebencian mereka terhadap Islam dan umatnya. Meskipun demikian, kebencian yang tampak dalam ucapan mereka itu masih belum seberapa. Kebencian sesungguhnya yang terpendam dalam hati mereka jauh lebih besar. Allah SWT berfirman: wa mâ tukhfî shudûruhum akbar (dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi).

Setiap orang mungkin dapat menyimpan rahasia dalam dadanya sehingga orang lain tidak mampu mengetahuinya. Namun tidak ada yang tersembunyi bagi Allah SWT. Dia adalah Dzat Yang Maha Mengetahui, termasuk segala rahasia yang tersimpan dalam dada manusia (lihat QS al-Taghabun [64]: 4). Dalam ayat ini Allah SWT menguak isi hati mereka. Bahwa kebencian yang mereka sembunyikan dalam dada mereka jauh lebih besar dari apa yang telah mereka ucapkan.

Kemudian Allah SWT berfirman: Qad bayyannâ lakum al-âyâti in kuntum ta'qilûn (sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya). Ditegaskan bahwa larangan menjadikan kaum kaum kafir sebagai orang dalam dan teman kepercayaan itu adalah Allah SWT melalui ayat-ayat-Nya. Demikian juga yang menyingkap jati diri kaum kafir yang penuh dengan kebencian dan permusuhan terhadap Islam dan umatnya.

Karena larangan dan berita itu itu berasal dari Allah SWT, dapat dipastikan kebenarannya. Maka selayaknya dipatuhi. Yakni tidak menjadikan musuh-musuh Islam itu sebagai pemimpin, orang dalam, dan teman kepercayaan kalian. Itu adalah tindakan yang pantas dan masuk akal. Sebaliknya, betapa ironinya jika kita menjadikan orang yang membenci, memusuhi, dan memerangi kita sebagai pemimpin, orang dalam, dan teman kepercayaan. WaLlâh a'lam bi al-shawâb. [red/www.suara-islam.com]

Minggu, 06 September 2009

Makna dariNYA

Allah dan Tuhan
Jumat, 09 Mei 2008 16:36 Muhsin Labib
Eksistensi Tuhan adalah salah satu masalah paling fundamental manusia, karena penerimaan maupun penolakan terhadapnya memberikan konsekuensi yang fundamental pula. Alam luas yang diasumsikan sebagai produk sebuah Kekuatan Yang Maha Sempurna dan Maha Bijaksana dengan tujuan yang sempurna berbeda dengan alam yang diasumsikan sebagai akibat dari kebetulan atau insiden. Manusia yang memandang alam sebagai hasil penciptaan Tuhan Yang Maha Bijaksana adalah manusia yang optimis dan bertujuan. Sedangkan manusia yang memandang alam sebagai akibat dari serangkaian peristiwa acak (chaos) adalah manusia yang pesimis, nihilis, absurd, dan risau akan kemungkinan-kemungkinan yang tak dapat diprediksi.
Umat manusia sejak awal kehadirannya di atas pentas sejarah telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan. Orang Persia menyebutnya Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord atau God. Kita menyebutnya Tuhan atau Sang Hyang. Dialah Tuhan Yang Maha Sempurna. Kepercayaan pada “yang adikodrati,” merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, baik terbentuk dalam sebuah lembaga transendental yang disebut “agama” maupun tidak diagamakan. Kendati demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah berkembang dan terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan.

Tuhan sejak babak pertama peradaban sampai sekarang telah menjadi objek pengimanan dan penolakan. Manusia, sebelum dibagi dalam kelompok agama, bahkan sebelum dibagi dalam kelompok monoteis dan politeis, telah terbagi dalam dua aliran besar, ateisme dan teisme. Istilah ini berasal dari kata Yunani atheos (tanpa Tuhan), dari a (tidak) dan Theos (Tuhan). Ia adalah aliran yang menolak adanya Tuhan Pencipta alam semesta. Dalam bahasa Arab disebut al-Ilhad.

Kata yang memberikan signifikansi Wujud Pencipta dalam al-Quran sangat banyak. Semuanya dapat dibagi dalam beberapa dimensi dan konteks.

Pertama, kata yang menunjuk Tuhan dipergunakan sebagai nama umum atau atribut universal.

Kedua, kata yang menunjuk Tuhan digunakan dalam dua bentuk sekaligus, universal dan personal.

Ketiga, kata yang menunjuk Tuhan digunakan sebagai nama umum semata.
Keempat, kata yang mengandung arti kesempurnaan dan kebaikan (Asmaul Husna). Kata “Tuhan,” misalnya, yang bila digunakan sebagai nama umum, maka huruf “t” di depannya dikecilkan (tuhan), dan bila digunakan untuk menunjuk nama khusus, maka huruf “t” di depannya dibesarkan (Tuhan). Demikian pula “God” dalam bahasa Inggris atau “Khoda” dalam bahasa Parsi. Karena itu, bila ada yang mengartikan la ilaha illallah dengan “tiada tuhan selain Tuhan” bisa ditolerir.

Kelima, kata yang menunjuk “Tuhan” digunakan sebagai nama personal (alam syakhshi) semata. Dalam bahasa Arab, kata “Allah” sebagai lafzhul jalalah (nama kebesaran) dipergunakan dan ditetapkan sebagai nama personal (alam syakhshi). Sedangkan ar-Rahman ditetapkan sebagai predikat khusus. Selain dari kata Allah (yang merupakan nama khusus) dan kata ar-Rahman (yang merupakan sifat khusus), tidak bersifat khusus.1 Itulah sebabnya, mengapa kata “rabb,” “ilah,” “khalik” digunakan untuk selain Allah, bahkan “ra’uf” dan “rahim” digunakan untuk Nabi saw, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu. Sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Amat belas kasihan, lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin.” (QS. at-Taubah [9]: 128).

Atas dasar itu, kata “Allah,” baik berupa kata baku (jamid) atau pun kata olahan (musytaq), ditetapkan sebagai sebuah “nama personal,” dan ia tidak mempunyai arti selain Zat Yang Adikodrati Swt. Namun, tatkala Zat Kudus tersebut tidak dapat diinderakan, maka untuk mengenali arti “Allah,” mereka menggunakan sebuah simbol yang berkonotasi secara eksklusif pada Allah seperti “Zat Yang Menghimpun sifat-sifat kesempurnaan,” bukan berarti kata “Allah” ditetapkan untuk mengartikan rangkaian pengertian-pengertian ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa pembahasan seputar materi dan bentuk kata ini tidak akan dapat membantu kita untuk memahami artinya sebagai sebuah nama personal (alam syakhshi).

Kata personal “Allah” karena oleh sebagian besar mufasir dianggap sebagai ism ma’rifah dengan alif dan lam (kata tertentu), menurut kaidah kesusasteraan, kurang tepat dikaitkan dengan sebutan panggilan “ya.” Karena itulah, bisa dipastikan kalimat “Ya Allah” (Wahai Allah) tidak terdapat dalam al-Quran.2 Kata “Ya” diganti dengan huruf mim yang di-syaddah-kan dan di-fathah-kan pada bagian akhir kata Allah, maka jadilah “Allahumma.” Kata panggilan khas ini ditemukan satu kali dalam surah Ali Imran ayat 26, satu kali dalam surah al-Maidah ayat 114, satu kali dalam surah al-Anfal ayat 32, satu kali dalam surah Yunus ayat 10, dan satu kali dalam surah az-Zumar ayat 46.3

Namun kata “Allah” menurut sebagian ulama bukanlah bentuk ma’rifah dari kata ilah. Kata ini dianggap berasal dari bahasa Ibrani yang diadaptasi ke dalam bahasa Arab. Kata ini menurut mereka juga yang berarti Zat Tuhan Yang Mahaesa. Oleh karena itu, dalam Agama Ortodoks Suriah, bahkan sekte-sekte Kristen lainnya, diyakini sebagai kata atau nama personal Tuhan Bapa.4

Dalam kitab suci al-Quran, kata yang juga memberikan signifikansi pada Allah adalah “ilah” dan “rabb.” Kata “ilah” juga digunakan dalam syahadat, la ilaha illallah. Kata “ilah” adalah bentuk kata yang mengikuti wazan “fi’al” yang berarti “maf’ul.” Ilah berarti “ma’bud” (yang disembah), seperti “kitab” yang berarti “maktub” (yang ditulis). Dengan demikian, la ilaha illallah dapat diartikan “tiada yang layak disembah selain Allah.”5

Kata “Tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan” yang berarti “majikan” atau “pemilik,” seperti tuan rumah yang berarti pemilik rumah,6 atau kata “Hyang” yang memiliki arti berdekatan dengan “eyang’ yang berarti kakek atau nenek. Hanya saja, yang perlu diperjelas, apakah “Tuhan” menunjuk “Sang Pencipta” (Khalik) ataukah menunjuk “Yang disembah” (al-ilah, al-ma’bud). Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang lebih dekat dengan “ar-rab” dalam bahasa Arab yang berarti “Maha Pengatur.” Seandainya “Tuhan” atau “Ilah” berarti “Pencipta” (Khalik), maka syahadat la ilaha illallah berarti “tiada pencipta selain Allah.” Tentu syahadat dengan arti seperti ini tidak mengecualikan seluruh kaum Quraisy penyembah berhala dan kaum musyrik lainnya, yang sejak semula meyakini Allah sebagai Pencipta. (QS. Lukman: 25)

Dalam al-Quran, kata “Allah” disebutkan sebanyak 930 kali7 sedangkan kata “ilah” (tanpa dhamir) disebutkan sebanyak 80 kali.8

Arti “ilah” dalam rangkaian syahadat (kalimah at-tahlil) bisa berarti “al-ma’bud” atau yang disembah, dan bisa pula berarti al-ma’bud bil haq.9 Apabila arti pertama dipilih, maka setiap sesuatu yang dalam kenyataan disembah selain Allah dapat dianggap sebagai ilah. Apabila arti kedua yang dipilih, maka berarti ilah hanya bisa disandang oleh Allah, sebab al-ma’budiyah (ke-tersembah-an) merupakan derivasi dari ar-rububiyah.

Kata “rabb” dalam al-Quran disebutkan sebanyak 84 kali. Satu dalam surah al-Fatihah, satu dalam surah al-Baqarah, satu dalam surah al-Maidah, empat dalam surah al-An’am, enam dalam surah al-A’raf, satu dalam surah at-Taubah, dua dalam surah Yunus, satu dalam surah ar-Ra’d, satu dalam surah al-Isra, satu dalam surah al-Kahfi, satu dalam surah Maryam, satu dalam surah Thaha, dua dalam surah al-Anbiya, tiga dalam surah al-Mukminun, lima belas dalam surah asy-Syu’ara, empat dalam surah an-Naml, satu dalam surah al-Qashash, satu dalam surah as-Sajdah, satu dalam surah Saba, satu dalam surah Yasin, enam dalam surah ash-Shaffat, satu dalam surah Shad, satu dalam surah az-Zumar, tiga dalam surah Ghafir, satu dalam surah Fushshilat, tiga dalam surah az-Zukhruf, dua dalam surah ad-Dukhan, tiga dalam surah al-Jatsyiyah, satu dalam surah adz-Dzariyat, satu dalam surah an-Najm, dua dalam surah ar-Rahman, satu dalam surah al-Waqi’ah, satu dalam surah al-Hasyr, satu dalam surah al-Haqqah, satu dalam surah al-Ma’arij, satu dalam surah al-Muzzammil, satu dalam surah an-Naba, satu dalam surah at-Takwir, satu dalam surah al-Muthaffifin, satu dalam surah al-Quraisy, satu dalam surah al-Falaq, dan satu dalam surah an-Nas.10

Selain berupa kata personal Allah, ilah, dan rabb, Tuhan juga merupakan entitas penghimpun semua nama-nama terbaik (Asmaul Husna). Kata Asmaul Husna disebutkan empat kali dalam al-Quran, satu dalam surah al-A’raf ayat 180, satu dalam surah al-Isra ayat 110, satu dalam surah Thaha ayat 8, dan satu dalam surah al-Hasyr ayat 24.11 Dengan demikian, nama dan sifat yang memberikan signifikansi kebaikan dan kesempurnaan maksimum adalah milik Allah. Karenanya, nama dan sifat manusia berasal dari Allah sebagai Pemilik Absolut nama-nama terbaik. Dalam sebuah hadis, Nabi saw memerintahkan kita untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang menekankan tentang posesi atau kepemilikan Tuhan atas semua nama terbaik. (QS. al-Hadid [57]: 4; QS. al-A’raf [7]: 180; QS. Thaha [20]: 8; QS. al-Isra [17]: 110; dan QS. al-Hasyr [59]: 24)

الله لااله الاهو, له الاسماء الحسنى
.ولله الاسماء الحسنى فادعوه بها
Menurut sebagian mufasir mutakhir, tidak ada dalil qath’i (definitif) tentang ketentuan jumlah Asmaul Husna, meskipun yang populer dalam riwayat disebutkan berjumlah 99.12 Setiap nama (ism) dalam alam keberadaan adalah sebaik-baik nama (Ahsanul Asma). Semuanya adalah milik Allah Swt. Karena itulah, jumlah nama Allah tidaklah terbatas.13

Dengan nama-nama terbaik yang banyak dan mencakup spektrum dimensi dan nilai kesempurnaan maksimal itulah, hamba-hamba-Nya berpeluang untuk berkomunikasi dengan Allah. Seorang yang papa dan dirundung kemiskinan dapat memanggil-Nya dengan nama al-Karim, ar-Raziq, dan ar-Razzaq. Seseorang yang bergelimang dosa dapat memohon ampunan-Nya dengan memanggil-Nya “al-Ghaffar.” Seseorang yang ingin mendapatkan petunjuk dapat menyeru-Nya dengan nama al-Hadi dan sebagainya.

Yang patut diketahui ialah bahwa kata asma juga dapat diartikan sebagai sifat-sifat, karena ism dalam Ilmu Sharf mencakup ismul fa’il dan ash-shifat al-musyabbahah. Menurut Allamah Thabathaba’i, Asmaul Husna adalah setiap kata yang menunjukkan arti predikatif seperti ilah, al-hayy, dan lainnya. Sedangkan kata “Allah,” adalah alam syakhshi (nama personal) atau alam adz-dzat, yang merupakan nama personal bagi Tuhan.14

Kata ism yang dikaitkan (diidhafahkan) dengan Allah dan Rabb, berjumlah 18 kali, yaitu empat dalam surah al-An’am, satu dalam surah al-Maidah, lima dalam surah al-Hajj, satu dalam surah ar-Rahman, dua dalam surah al-Waqi’ah, satu dalam surah al-Haqqah, satu dalam surah al-Muzzammil, satu dalam surah al-Insan, satu dalam surah Hud, dan satu dalam surah al-Naml. Jika Bismillâhirrahmânirrahîm dianggap sebagai pembuka dan bagian dari setiap surah, kecuali surah al-Bara’ah, maka jumlah keseluruhan ism yang kaitkan pada Allah dan Rabb berjumlah 131.15

Ismul A’zham (nama kebesaran), menurut opini masyarakat Arab, adalah ismul lafzhi yang merupakan salah satu dari asma Allah, yang bila diseru dalam doa, maka dikabulkan. Namun, anehnya, ia tidak tergolong dalam Asmaul Husna yang populer, dan tidak pula dianggap sebagai bagian dari lafzhul jalalah. Menurut mereka, Ismul A’zham terdiri atas huruf-huruf tak dikenal (huruf majhulah) dengan komposisi yang tak dikenal pula. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa kata Allah dalam basmalah itulah yang dimaksud dengan Ismul A’zham.16

Asma Allah atau Asmaul Husna kadangkala dikaitkan dengan sifat-sifat Allah (shifatullah). Menurut Sayid Quthub, firman Allah itu mengandung makna bahwa manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang paling baik (Asmaul Husna). Firman itu juga merupakan sanggahan terhadap kaum Jahiliyah yang mengingkari nama “ar-Rahman,” selain nama “Allah.”17

Berkenaan dengan alasan turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik menuturkan adanya hadis dari Ibnu Abbas, bahwa di suatu malam Nabi saw beribadah, dan dalam bersujud beliau mengucapkan, “Ya Allah, Ya Rahman.” Ketika Abu Jahal, tokoh musyrik Mekah yang sangat memusuhi kaum beriman, mendengar tentang ucapan Nabi saw dalam sujudnya itu, ia berkata, “Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua tuhan, dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi.” Ada juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi saw karena kaum Ahlulkitab pernah mengatakan kepada beliau, ‘Engkau (Muhammad) jarang menyebut nama ar-Rahman, padahal Allah banyak menggunakan nama itu dalam Taurat.’”18

Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada Hakikat, Zat atau Wujud yang satu dan sama. Zamakhsyari, Baidhawi dan Nasafi menegaskan bahwa kata ganti nama “Dia” dalam kalimat “maka bagi Dia adalah nama-nama yang terbaik” dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama “Allah” atau “ar-Rahman,” melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Zat (Esensi) Wujud Yang Mahamutlak itu sendiri. Sebab, suatu nama tidaklah diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu zat atau esensi. Jadi, Zat Yang Mahaesa itulah yang bernama “Allah” dan atau “ar-Rahman” serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya “Allah” bernama “ar-Rahman” atau “ar-Rahim.”

Jadi yang bersifat Mahaesa itu bukanlah nama-Nya, melainkan Zat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu, Baidhawi menegaskan bahwa paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi. Maka Tauhid yang benar ialah “Tawhid adz-Dzat” bukan “Tawhid al-Ism” (Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama).19

Pandangan ketuhanan yang sangat mendasar ini diterangkan dengan jelas sekali oleh Imam Ja’far Shadiq as, guru dari para imam dan tokoh keagamaan besar dalam Sejarah Islam, baik untuk kalangan Ahlusunah maupun Syiah. Dalam sebuah penuturan, ia menjelaskan nama “Allah” dan bagaimana menyembah-Nya secara benar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam, “Allah” (kadang-kadang dieja, “Al-lah”) berasal “ilah” dan “ilah” mengandung makna “ma’luh,” (yang disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai (al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tauhid. Engkau mengerti, wahai Hisyam?” Hisyam mengatakan lagi, “Tambahilah aku ilmu.” Imam Ja’far Shadiq as menyambung, “Bagi Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung, ada sembilan puluh sembilan nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu tuhan. Tetapi Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung adalah suatu Makna (Esensi) yang dirujuk oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah sama dengan Dia…”20

Kalau kita harus menyembah Makna atau Esensi, dan bukan menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai suatu bentuk kemusyrikan oleh Imam Ja’far Shadiq as itu, berarti kita harus menunjukkan penyembahan kita kepada Dia yang menurut al-Quran memang tidak tergambarkan, dan tidak sebanding dengan apa pun. Berkenaan dengan ini, Imam Ali bin Abi Thalib ra mewariskan penjelasan yang amat berharga kepada kita, dia mengatakan, “Allah” artinya “Yang Disembah” (al-Ma’bud), yang mengenai Dia itu makhluk merasa tercekam (ya’lahu) dan dicekam (yu’lahu) oleh-Nya. Allah adalah Wujud dan tertutup dari kemampuan penglihatan, dan yang terdinding dari dugaan dan benih pikiran.21

Dan Imam Muhammad Baqir ra menjelaskan, “Allah” maknanya “Yang Disembah” yang agar makhluk (aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui Esensi-Nya (Mahiyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyah). Orang Arab mengatakan, ‘Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung (tahayyara) atas sesuatu yang tidak dapat dipahaminya, dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa takut (fazi’a) kepada sesuatu yang ia takuti atau khawatirkan.’”[]


Catatan Kaki:
1. M. Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Quran, hal. 62-63, Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1991.

2. Dalam kaidah gramatika Arab, tidak dibenarkan seseorang memanggil dengan Ya al-‘Alim, misalnya, dengan tidak membuang alif dan lam.

3. Op.Cit., Muhammad Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras, hal.96, Istanbul.

4. Summa Theologica, Ia, q. 2, a.l. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, hal. 141, Pustaka Filsafat.

5. M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif al-Quran, vol.1, hal.26, Jami’ah Mudarrisin, Qom, 1987.

6. Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 963, Balai Pustaka.

7. Yaitu sebanyak 107 kali dalam QS. al-Baqarah, 116 kali dalam QS. Ali Imran, 32 kali dalam QS. an-Nisa, 38 kali dalam QS. al-Maidah, 41 kali dalam QS. al-An’am, 6 kali dalam QS. al-A’raf, 35 kali dalam QS. al-Anfal, 67 kali dalan QS. at-Taubah, 20 kali dalam QS. Yunus, 5 kali dalam QS. Hud, 28 kali dalam QS. Yusuf, 1 kali dalam QS. ar-Ra’d, 10 kali dalam QS. Ibrahim, 29 kali dalam QS. an-Nahl, 3 kali dalam QS. al-Isra, 8 kali dalam QS. al-Kahfi, 2 kali dalam QS. Maryam, 5 kali dalam QS. Thaha, 1 kali dalam QS. al-Anbiya, 15 kali dalam QS. al-Hajj, 4 kali dalam QS. al-Mukminun, 37 kali dalam QS. an-Nur, 4 kali dalam QS. ar-Furqan, 7 kali dalam QS. an-Naml, 9 kali dalam QS. al-Qashash, 13 kali dalam QS. al-Ankabut, 9 kali dalam QS. ar-Rum, 3 kali dalam QS. Lukman, 1 kali dalam QS. as-Sajdah, 34 kali dalam QS. al-Ahzab, 2 kali dalam QS. as-Saba, 7 kali dalam QS. Fathir, 2 kali dalam QS. Yasin, 4 kali dalam QS. ash-Shaffat, 1 kali dalam QS. Shad, 24 kali dalam QS. az-Zumar, 18 kali dalam QS. Ghafir, 2 kali dalam QS. Fushshilat, 19 kali dalam QS. Syura, 1 kali dalam QS. az-Zukhruf, 1 kali dalam QS. ad-Dukhan, 6 kali dalam QS. al-Jastiyaah, 1 kali dalam QS. al-Ahqaf, 15 kali dalam QS. Muhammad, 21 kali dalam QS. al-Fath, 7 kali dalam QS. al-Hujurat, 1 kali dalam QS. at-Thur, 2 kali dalam QS. an-Najm, 8 kali dalam QS. al-Hadid, 18 kali dalam QS. al-Mujadalah, 9 kali dalam QS. al-Hasyr, 9 kali dalam QS. al-Mumtahanah, 1 kali dalam QS. ash-Shaf, 4 kali dalam QS. al-Jumu’ah, 6 kali dalam QS. al-Munafiqun, 9 kali dalam QS. at-Taghabun, 8 kali dalam QS. ath-Thalaq, 8 kali dalam QS. at-Tahrim, 2 kali dalam QS. al-Mulk, 3 kali dalam QS. Nuh, 1 kali dalam QS. al-Jinn, 1 kali dalam QS. al-Muzzammil, 3 kali dalam QS. al-Muddatstsir, 2 kali dalam QS. al-Insan, 1 kali dalam QS. an-Nazi’at, 1 kali dalam QS. at-Takwir, 1 kali dalam QS. al-Insyiqaq, 2 kali dalam QS. al-Buruj, 1 kali dalam QS. al-Ghasyiyah, 1 kali dalam QS. at-Tin, 1 kali dalam QS. al-Bayyinah, dan 1 kali dalam QS. al-Ikhlas.

8. Empat kali dalam QS. al-Baqarah, lima kali dalam QS. Ali Imran, dua kali dalam QS. an-Nisa, dua kali dalam QS. al-Maidah, empat kali dalam QS. al-An’am, lima kali dalam QS. al-A’raf, dua kali dalam QS. at-Taubah, satu kali dalam QS. Yunus, empat kali dalam QS. Hud, satu kali dalam QS. ar-Ra’d, satu kali dalam QS. Ibrahim, tiga kali dalam QS. al-Nahl, satu kali dalam QS. al-Kahfi, satu kali dalam QS. Thaha, empat kali dalam QS. al-Anbiya, satu kali dalam QS. al-Hajj, lima kali dalam QS. al-Mukminun, enam kali dalam al-Nahl, enam kali dalam QS. al-Qashash, satu kali dalam QS. Fathir, satu kali dalam QS. ash-Shaffat, satu kali dalam QS. Shad, satu kali dalam QS. az-Zumar, empat kali dalam QS. Ghafir, satu kali dalam QS. Fushshilat, dua kali dalam QS. az-Zukhruf, satu kali dalam QS. ad-Dukhan, satu kali dalam QS. Muhammad, satu kali dalam QS. ath-Thur, dua kali dalam QS. al-Hasyr, satu kali dalam QS. at-Taghabun, satu kali dalam QS. al-Muzzamil, dan satu kali dalam QS. an-Nas.

9. M. Fuad Abdul-Baqi, Mu’jam al-Mufahras, vol.14, hal.122, Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1991.

10. Ibid., hal.362-365.

11. Ibid., hal.459.

12.Lihat, ad-Durrul Manstur; al-Mustadrak; Sunan Thabarani; dan Sunan Baihaqi.

13. Berdasarkan pendapat ini, jumlah Asmaul Husna yang dapat ditemukan dalam al-Quran sebanyak 127, yaitu: al-Ilah, al-Ahad, al-Awwal, al-Akhir, al-A’la, al-Akram, al-A’lam, ar-Rahman ar-Rahimin, Ahkam al-Hakimin, Ahsan al-Khaliqin, Ahl at-Taqwa, Ahl al-Maghfirah, at-Tawwab, al-Jabbar, al-Jami’, al-Hakim, al-Halim, al-Hayy, al-Haq, al-Hamîd, al-Hasîb, al-Hafîzh, al-Khafi, al-Khabir, al-Khaliq, al-Khallaq, al-Khair, Khair al-Hakimin, Khair al-Makirin, Khair ar-Raziqin, Khair al-Fashilin, Khair al-Fatihin, Khair al-Ghafirin, Khair al-Waritsin, Kahir ar-Rahimin, Khair al-Munzilin, Dzu al-‘Arsy, Dzu ath-Thaul, Dzu al-Intiqam, Dzu al-Fadhl al-Azhim, Dzu ar-Rahmah, Dzu al-Quwwah, Dzu al-Jalal wa al-Ikram, Dzu al-Ma’arij, ar-Rahman, ar-Ra’uf, ar-Rabb, ar-Rafi’ ad-Darajat, ar-Razzaq, ar-Raqib, as-Sami’, as-Salam, as-Sari’ al-Hisab, Sari’ al-‘Iqab, asy-Syahid, asy-Syakir, asy-Syakur, Syadid al-‘Iqab, Syadid al-Mihal, ash-Shamad, azh-Zhahir, al-‘Alim, al-Aziz, al-‘Afwu, al-‘Aliy, al-‘Azhim, ‘Allam al-Ghuyub, ‘Alim al-Ghayb wa asy-Syahadah, al-Ghaniy, al-Ghafur, al-Ghalib, Ghafir adz-Dzam, al-Ghaffar, Faliq al-Ishbah, Faliq al-Habb wa an-Nawa, al-Fathir, al-Fattah, al-Qawiy, al-Quddus, al-Qayyum, al-Qahir, al-Qahhar, al-Qarib, al-Qâdir, al-Qadîr, Qabil at-Tawb, al-Qa’im ‘ala Kulli Nafs bima Kasabat, al-Kabir, al-Karim, al-Kafi, al-Lathif, al-Malik, al-Mu’min, al-Muhaimin, al-Mutakabbir, al-Mushawwir, al-Majîd, al-Mujib, al-Mubin, al-Mawla, al-Muhith, al-Muqit, al-Muta’al, al-Muhyi, al-Mutabayyin, al-Mutaqaddir, al-Musta’an, al-Mubdiy’, Malik al-Mulk, al-Nashîr, an-Nur, al-Wahhab, al-Wahid, al-Walîy, al-Wâliy, al-Wasiy’, al-Wakil, al-Wadud, al-Hadiy. Lihat, al-Mu’jam al-mufahras, vol.8, hal.361-363.

14. Ibid., hal.124.

15. Fuad Abdul-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras, hal.459, Istanbul.

16. M.H. Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, vol.8, hal.359, Muassasah al-Alami li al-Mathbu’at, Beirut, 1991.

17. QS. al-Isra [17]: 110.

18. Sayid Quthub, Fi Zhilal al-Quran, jil.5, juz.15, hal.73, Dar asy-Syuruq, Kairo, 1987.

19. Untuk pembahasan ini, lihat tafsir ayat bersangkutan dalam kitab-kitab tafsir klasik: Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil; Zamaksyari, al-Kasysyaf; Bagdadi, Tafsir al-Khazin; dan Nasafi, Madarik at-Tanzil wa Haqaiq at-Ta’wil, dan lain-lain.

20. Yaitu keterangan dari Ali ibn Abi Thalib ra, menurut sebuah penuturan; [tulisan Arab].

21. Ibid.
Terakhir Diperbaharui ( Jumat, 09 Mei 2008 16:48

Makna dariNYA

Tuhan Berfilsafat?
Senin, 11 Juni 2007 11:36 Muhsin Labib .Apakah ayat-ayat Al-Qur’an dapat diperlakukan sebagai premis-premis dan teks-teks semata yang harus tunduk pada standar validitas dalam logika? Apakah Al-Qur’an menganjurkan kita untuk ‘percaya bahwa’? Apakah Al-Qur’an memuat argumentasi tentang keberadaan Tuhan, Sang kausa Prima ataukah tidak?

Ada beberapa pendapat dan jawaban atas pertanyaan di atas. Pertama, bahwa dalam Al-Qur’an tidak terdapat ayat yang memuat argumentasi rasional akan keberadaan Tuhan karena keberadaan-Nya sangat jelas dan fitri. Kedua, meski keberadaan Tuhan bersifat fitri, namun terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskannya. Muthahhari berkata: “Jika kita keberatan untuk mengakui bahwa keyakinan akan keberadaan Tuhan merupakan bagian lainnya dari fitrah atau naluri, maka paling tidak kita harus mengakui bahwa kekhawatiran akan keberadaan Tuhan dan pertanyaan tentang hal itu adalah masalah yang bersifat fitri [1]. Ketiga, karena pembuktian keberadaan Tuhan dalam Al-Qur’an meniscayakan siklus (daur), sebagaimana ditetapkan dalam kaidah logika. Keempat, al-Qur’an tidak menyinggung masalah keberadaan Tuhan karena ia adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa dan telah mengimaninya. Kelima, dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengandung pembuktian rasional tentang keberadaan Tuhan[2]. Menurut Syahristani, karena wujud Tuhan bersifat fitri (inheren), maka yang diperintahkan dan dijadikan sebagai taklif adalah mengenal keesaan (mengesakanNya) dan menghapuskan syirik (politeisme)[3].

Ayat-ayat Ontologis
Salah satu ayat yang dianggap memuat argumentasi ontologis tentang wujud Allah adalah firman Allah: ام خلقوا من غير شي ام هم الخالقون (Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri)[4]”. Menurut Al-Fakhr Al-Razi, dalam ayat ini, ada satu kalimat introgatif yang asumtif (muqaddar), yaitu “ama khuliqu” (tidakkah mereka diciptakan?) sebelum “apakah mereka diciptakan dari selain sesuatu ataukah mereka adalah pencipta-pencipta”[5]. Pertanyaan ini diajukan kepada orang-orang mendusktakan keesaan Allah. Kata syay’, menurut para filosof dan mutakallimin berarti sesuatu yang ada, karena ke-sesuatu-an (Asy-Syay’iyah, thingnes) identik dengan ke-ada-an atau keberadaan, sedangkan ke-tidak-sesuatuan atau la syay’iyah[6]atau nothingnes berarti ketiadaan[7]. “Adakah mereka diciptakan bukan dari dari sesuatu” berarti “Adakah mereka diciptakan oleh yang tiada (al-ma’dum)?”

Memang ayat ini tidak secara eksplisit membuktikan keberadaan Tuhan. Namun kita dapat menggali dari kandungan ayat yang bersifat introgatif ini sebuah argumentasi rasional. Yaitu bahwa keberadaan manusia dapat diasumsikan dalam salah satu dari tiga kemungkinan; manusia muncul dengan sendirinya tanpa pencipta atau sebab pengada; manusia menciptakan dirinya sendiri; dan manusia diciptakan oleh selain dirinya. Seandainya mereka beranggapan bahwa mereka tidak diciptakan, maka berarti mereka menolak kausalitas yang berujung pada penolakan terhadap eksistensi eksistensi mereka sendiri, atau mengangggap diri mereka sebagai pencipta. Bila mereka masing-masing adalah pencipta, maka berarti mereka telah ada sebelum ada. Ia harus ada karena menjadi pencipta, dan sekaligus tidak ada karena akan diciptakan.

Ayat-ayat seputar keesaan Tuhan dapat dibagi tiga: berdasarkan kandungan dan signifikansinya, menjadi dua tiga; pertama adalah ayat-ayat deskriptif atau informatif (al-ayât al-bayâniyah, al-ayat At-tawshifiyah); kedua adalah ayat-ayat instruktif (al-ayat-At-taklifiyah); dan ketiga adalah ayat-ayat argumentatif (al-ayat al-istidlaliyah).

Ada kalanya al-Qur’an menerangkan diri, keesaan, sifat-sifat dan perbuatan-perbuat Allah dalam bentuk keterangan, seperti “Tiada sesuatu yang menyerupainya”[8].

Biasanya ayat-ayat yang berbentuk proposisi predikatif ini diletakkan pada bagian akhir rangkaian ayat, seperti والله سميع بصير atau والله بما تعملون خبير dan sebagainya. Ayat-ayat yang berbentuik proposisi predikatif ini sangat banyak, karena sebagian besar sasaran dakwah Nabi SAW adalah masyarakat awam yang menjadikan figur Nabi sebagai tolok ukur kebenaran.

Ada kalanya al-Qur’an menjadikan keesaan sebagai taklif , dalam bentuk perintah baik kepada Nabi ataupun kepada masyarakat, seperti firman Allah dalam surah al-ikhlas, “Katakanlah bahwa Allah itu satu”. Bentuk ayat yang berupa proposisi aktif ini tidaklah banyak, karena ia hanya berlaku bagi orang-orang yang telah mengimani keesaan Allah. Biasanya ayat-ayat demikian diawali dengan kata kerja perintah “katakanlah” (perintah), karena ditujukan kepada Nabi. Ada kalanya pula al-Qur’an memuat firman Allah yang dapat dijadikan sebagai argumentasi atas wujud, keesaan dan sifat-sifat-Nya. Ayat-ayat argumentatif cukup banyak. Tapi hampir bisa disepakati bahwa ayat-ayat argumentatif tersebut berkenaan dengan keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya.[9].

Argumen-argumen keesaan Tuhan dalam al-Qur’an sangat beragam. Ada pula membagi argumentasi-argumentasi dalam al-Qur’an menjadi empat; argumentasi penciptaan dan kreasi (al-khalq wa al-ibda’), argumentasi keteraturan alam (al-nidham), argumentasi fitrah dan argumentasi rasional. [10]. Namun semuanya dapat diringkas menjadi dua kelompok; argumen kosmologis dan argumen antropologis. Argumen-argumen kosmologis dalam al-Qur’an juga bermacam-macam; Terdapat sejumlah ayat yang berkenaan dengan makro-kosmos, seperti ayat-ayat sebagai berikut: [11]
خلق السموات بغير عمد ترونها , والقى فى الارض رواسى ان تميد بكم و بث فيها من كل دابة و انزلنا من السماء ماء فأنبتنا فيها من كل زوج كريم , هذا خلق الله فأرونى ماذا خلق الذين من دونه بل الظالمون فى ضلال مبينالم تر ان الله انزل من السماء ماء فاخرجنا به ثمرات مختلفا الوانها ومن الجبال جدد بيض و حمر مختلف الوانها و غرابيب سود , ومن الناس و الدواب و الانعام مختلف الوانه كذلك انما يخشى الله نن عباده العلماء
Ada banyak pula ayat-ayat yang menyinggung tema mikro-kosmos, seperti ayat-ayat sebagai berikut : [12]
اقرأ باسم ربك الذى خلق , خلق الانسان من علق, “هل اتى على الانسان حين من الدهر لم يكن شيئا مذكورا , انا خلقناه من نطفة امشاج نبتليه فجعلناه سميعا بصيرا""ولئن سالتهم من خلقهم ليقولن الله"

Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat argumentatif tentang keesaan (al-wahdaniyah) Tuhan. Salah satunya adalah firman Allah: “Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?”[13] Nabi Yusuf mengajak berfikir teman satu selnya, manakah yang rasional, meyakini beberapa tuhan yang beraneka macam ataukah satu Tuhan?. Dari ayat introgratif ini, Al-Qur’an memperkenalkan sebuah argumen ontologis tentang keberadaan Tuhan yang paling mudah dipahami, yaitu Burhan An-Nadhm (keteraturan).

Keteraturan yang dimaksudkan di sini adalah keharmonisan dan keterikatan antar setiap bagian atau antar masing-masing person baik dari esensi yang sama, maupun berlainan menuju suatu tujuan tertentu, seperti keharmonisan antar bagian-bagian pohon atau keseimbangan yang merupakan konsekuensi antara kehidupan manusia dan hewan. Jika setiap fenomena alam diatur oleh beberapa tuhan, maka tentu alam akan menjadi kacau. Bayangkan bila air dikendalikan oleh satu Tuhan, mendung diurus oleh Tuhan lain, matahari berada di bawah kendali Tuhan lain, maka hujan yang merupakan akibat dari akumulasi fenomena sebelumnya itu tidak akan pernah terwujud. Dengan kata lain, seandainya benar bahwa mereka adalah Tuhan-Tuhan, maka masing-masing tidak membutuhkan hasil penciptaan dan pengaturan Tuhan lainnya. Seandainya membutuhkan, maka berarti Tuhan yang membutuhkan selain dirinya itu bukanlah Tuhan. Itulah kontradiksi. Bila setiap fenomena alam diciptakan oleh beberapa Tuhan, niscaya matahari tidak akan butuh pada mendung, mendung tidak akan membutuhkan angin, dan begitulah seterusnya. Ketika masing-masing fenomena alam itu berdiri sendiri, maka akan bercerai-berai. Ketika bercerai-berai, maka tidak akan mewujudkan fenomena yang namanya hujan.[14] Karena itulah “khair” (yang bisa diartikan baik dan bisa pula diartikan lebih baik) dalam ayat “Apakah beberapa tuhan yang berpencaran lebih baik dari satu Tuhan Yang Maha Perkasa” mungkin bisa diartikan secara modern dengan “lebih rasional”.
Menurut Muhammad Taqi Misbah pengetahuan dan pengakuan manusia akan Allah, dalam ayat tersebut, adalah pengetahuan yang sifatnya huduri-syuhudi (ilmu huduri) dan bukan hushuli[15]. "Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai anak-anak Adam, agar kalian tidak menyembah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata. Dan sembahlah Aku. Itulah jalan yang lurus[16]." Sebagian ulama berpendapat, bahwa perintah ini terjadi di alam sebelum alam dunia, dan dijadikan sebagai bukti, bahwa mengenal Allah adalah sebuah fitrah.
"Di kala mereka menaiki kapal, mereka berdoa (memanggil) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun, ketika Allah menyelamatkan mereka ke daratan, mereka kembali berbuat syirik[17]." Ayat ini menjelaskan, bagaimana fitrah itu mengalami pasang surut dalam diri manusia. Biasanya, fitrah itu muncul saat manusia merasa dirinya tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan. Dalam kitab tafsir Al-amtsal disebutkan, bahwa kesulitan dan bencana dapat menjadikan fitrah manusia tumbuh, karena cahaya tauhid tersimpan dalam jiwa setiap manusia. Namun, fitrah itu sendiri bisa tertutup, disebabkan oleh tradisi dan tingkah laku yang menyimpang, atau pendidikan yang keliru. Lalu ketika bencana dan kesulitan dari berbagai arah menimpanya, sementara dia tidak berdaya menghadapinya, maka pada saat seperti itu dia berpaling kepada Sang Pencipta[18]. Oleh karena itu, para ahli ma’rifat dan ahli hikmah berkeyakinan, bahwa dalam suatu musibah besar, yaitu kesadaran manusia terhadap (keberadaan) Allah muncul kembali

Ayat-ayat Kosmologis

Selain menegaskan bahwa masalah tauhid adalah fitrah, al-Qur’an juga berusaha mengajak manusia berpikir dengan akalnya bahwa di balik terciptanya alam raya dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya (membuktikan) adanya Sang Pencipta.

Allamah al-Hilli, teolog kenamaan Syiah, menjelaskan, bahwa para ulama dalam upaya membuktikan wujud Sang Pencipta mempunyai dua jalan. Salah satunya, adalah dengan jalan membuktikan wujud Allah melalui fenomena-fenomena alam yang membutuhkan ‘sebab’, seperti diisyaratkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini: "Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di alam raya ini (afaq) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia itu benar (haq). Inilah jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim as. Pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. seperti ini dalam mencari Tuhan, yang sebenarnya iatujukan untuk mengajak kaumnya berpikir, merupakan metode Afaqi yang efektif sekali.[19]

Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat langsung ayat-ayat yang menjelaskan pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. tersebut dalam al-Qur’an[20]. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengajak kita untuk merenungkan fenomena alam dan keunikan-keunikan makhluk yang ada di dalamnya, sangatlah banyak. Tentang hal ini, kami mencoba mengklasifikasikan kepada dua kelompok:

Pertama, ayat-ayat tentang benda-benda mati di langit dan di bumi. Misalnya, ayat yang berbunyi, "Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memiliki akal[21]." Atau ayat lain berbunyi, "Sesungguhnya, pada pergantian malam dan siang dan apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertaqwa.[22]" Kedua ayat tersebut dan ayat-ayat lainnya, memandang langit dan seisinya serta bumi dan segala yang terkandung di dalamnya, sebagai tanda dan bukti wujud Allah swt.. Karena secara akal, tidak mungkin semua itu ada dengan sendirinya, di samping semuanya itu akan mengalami perubahan atau hadits. Kedua, ayat-ayat tentang keunikan berbagai ragam binatang. Antara lain nya ayat yang berkenaan dengan kehidupan lebah, "Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pada pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari berbagai buah-buahan, dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan. (Lalu) dari perut lebah tersebut akan keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Padanya terdapat obat untuk manusia. Sesungguhnya, pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.[23]" Seekor lebah akan hinggap dari satu bunga kepada bunga yang lain, untuk menghisap cairan yang terkandung di dalamnya, lalu (darinya) dihasilkan madu yang lezat dan dapat dimanfaatkan sebagai penawar penyakit.

Di samping ayat fitrah dan Afaqi, terdapat pula ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang ketuhanan melalui pendekatan argumentasi rasional (Burhan Aqli). Antara lain sebagai berikut:

Pertama: "Seandainya di langit dan di bumi terdapat beberapa Tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan rusak.[24]" Dalam terminologi ilmu mantiq (logika aristotelian) argumentasi di atas disebut dengan qiyas istitsna’i. Qiyas ini terdiri dari dua unsur yang disebut dengan muqaddam dan tali.Ia mempunyai mempunyai beberapa bentuk, salah satunya ialah, jika tali itu benar maka muqaddam benar juga, dan jika tali keliru maka dengan sendirinya muqaddam keliru. Dalam aplikasi kehidupan sehari-hari mereka seringkali memberi contoh seperti ini, jika matahari terbit maka siang tiba, namun jika siang belum tiba berarti matahari belum terbit. Jika Tuhan itu berbilang maka alam raya ini tidak teratur dan seimbang, namun kenyataannya alam raya ini teratur dan seimbang, berarti Tuhan tidak berbilang. Dalil ini disebut para mutakallimin dan filosof dengan istilah dalil tamanu’ (bukti kontradiksi)’.

Kedua: "Tidaklah Allah mempunyai anak dan tidak pula ada Tuhan di samping -Nya. (karena jika mempunyai anak dan ada Tuhan selain-Nya), maka masing-masing Tuhan akan membawa ciptaan-Nya sendiri dan sebagian akan lebih unggul dari sebagian yang lainnya[25]." Ayat ini juga menggunakan qiyas yang sama dengan ayat sebelumnya. Maksud ayat tersebut, ialah bahwa jika Tuhan itu banyak, maka masing-masing dari mereka mempunyai ciptaan sendiri-sendiri sebagai bukti kekuasaannya, dan mereka akan mengaturnya sesuai dengan kemauan mereka. Tiada yang dapat memaksa dan menghalangi kemauan mereka. Jika ada satu Tuhan yang mengalah atau dikalahkan kemauannya oleh yang lainnya, maka dia sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan harus Maha Kuat dan Maha Kuasa yang tidak mungkin terkalahkan. Lebih jelas lagi, jika Tuhan itu banyak, maka mampukah sebagian mengalahkan yang lainnya? Jika dapat, maka yang kalah bukanlah Tuhan, sebaliknya jika tidak dapat, maka Tuhan yang tidak bisa mengalahkan Tuhan yang lain sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan adalah Maha Kuasa.

Ketiga: "Katakanlah, sendainya terdapat beberapa Tuhan di samping-Nya, sebagai mana yang mereka yakini, niscaya mereka mencari jalan menuju Tuhan, Pemilik ‘Arsy.[26]"

Ayat ini juga menggunakan pendekatan yang sama dengan ayat sebelumnya, yaitu qiyas istitsna’i. Allamah Thabathabai dalam mengomentari ayat di atas berkata, "Kesimpulan dalil ini ialah bahwa jika terdapat beberapa tuhan di samping Allah swt., sebagaiman yang mereka yakini, dan setiap mereka dapat meraih apa yang dimiliki-Nya, maka mereka ingin meraih kekuasaan dan akan menyingkirkan-Nya, sehingga mereka akan lebih berkuasa. Lantaran, keinginan untuk berkuasa merupakan ciri dari segala sesuatu yang wujud. Namun tiada satupun yang dapat melakukan hal itu.[27]" Dalam ayat tersebut disingung kata-kata ‘Arsy, sebagai tempat yang sangat agung dan tinggi, serta merupakan lambang kebesaran dan kekuasaan yang paling tinggi. Mereka pasti ingin menguasainya, sebagai bukti kebesaran mereka.

Keempat: "Katakanlah,’Tidakkah kalian perhatikan, jika Allah jadikan untuk kalian malam terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepada kalian?’ Maka apakah kalian tidak mendengar?[28]" Dalam ayat lain Allah berfirman: "Katakanlah,’Tidakkah kalian renungkan, jika Allah jadikan untuk kalian siang terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepada kalian untuk beristirahat?’ Tidakkah kalian perhatikan?"

Kedua ayat ini dengan tegas membantah kaum musyrikin yang menganggap patung-patung sebagai Tuhan. Andaikan patung-patung itu Tuhan, maka mereka harus bisa mengubah hukum alam ini, karena Tuhan adalah Dzat yang Mahakuasa.
Kelima: ‘Sesungguhnya Allah mendatangkan (menerbitkan) matahari dari ufuk timur, maka terbitkanlah ia dari ufuk barat?’ Maka terdiamlah orang kafir[29]." Ayat ini menceritakan perdebatan antara Nabi Ibrahim as. dengan raja Namrudz yang mengaku sebagai Tuhan. Iaingin mematahkan argumen Namrudz, dengan cara menyuruhnya agar memperlihatkan kekuasaan dan keperkasaannya dengan menerbitkan matahari dari ufuk barat bukan dari ufuk timur.

Permintaan Nabi Ibrahim as. seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh Raja Namrudz, sehingga tampak jelas di mata khalayak banyak, bahwa Raja Namrud bukan Tuhan semesta alam. Nabi Ibrahim as. dikenal sebagai seorang nabi yang bijak dan cerdik, yang sering memojokkan lawan bicaranya dengan argumentasi yang sederhana namun akurat, sehingga lawan bicaranya dibuat tidak berkutik. Allah swt. sering mengutip dalam kitab-Nya tentang perdebatan iadengan orang musyrik, misalnya dalam surah al-Anbiya, ayat 62 sampai ayat 65.

Keenam: "Sungguh telah kafir orang-orang yang meyakini, bahwa Tuhan itu adalah al-Masih putera Maryam. Katakanlah,’Maka siapakah yang dapat menahan Allah, jika hendak mematikan al-Masih putera Maryam dan Ibunya atau seluruh yang hidup di muka bumi ini?[30]"

Penuhanan Nabi Isa sudah berlangsung sejak zaman diturunkannya Al-Qur'an, bahkan jauh sebelumnya. Melalui ini, Allah ingin menyatakan, bahwa Isa al-Masih as. bukanlah Tuhan, tapi seorang manusia pilihan Allah. Karena terbukti (menurut kaum Nashrani), bahwa al-Masih telah meninggal, apapun alasan kematiannya. Hal ini mengindikasikan, bahwa al-Masih itu tidak lain dari ciptaan Allah semata, karena ciri khas Tuhan adalah kekal dan sejati.

Ketujuh: "(Tuhan) Pencipta langit dan Bumi, bagaimana mungkin Dia mempunyai putera, padahal Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu[31]”. Dalam ayat lain Allah berfirman: "Wahai manusia, kalian adalah faqir (membutuhkan) kepada Allah, sementara Allah adalah Mahakaya lagi Maha Terpuji[32]."

Kata faqir berarti sesuatu atau seseorang yang tidak mempunyai apa-apa. Allah ingin menegaskan, bahwa manusia itu benar-benar faqir , artinya benar-benar ia membutuhkan kepada Allah dalam segala perkara dan keadaan, hatta wujudnya (eksistensi dirinya). Atau dengan meminjam istilah Mulla Sadra, seorang filosuf Muslim dan penulis kitab al-Hikmah al-Muta’aliyah, yaitu bahwa selain Allah adalah faqir wujudi. Pengertian benar-benar faqir, diambil dari huruf alim lam Ta'alarif pada kata 'al-Fuqara’ (lihat teks arabnya) yang berkonotasi pembatasan atau pengkhususan (hashr). Sedangkan kata al-Ghani, berarti yang tidak membutuhkan apapun.

Sifat ghani hanya ada pada Allah saja. Jadi hanya Allah sajalah yang tidak membutuhkan apa-apa (al-ghina) kepada yang lain, merupakan ciri khas Tuhan semesta alam.

Kedelapan: "Dialah Yang Awal dan yang Akhir, yang tampak dan Yang Tersembunyi, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu[33]." Allah yang pertama dan terdahulu, sehingga tiada yang lebih dahulu, sehingga tiada yang lebih dahulu dari-nya. Akan tetapi, pada saat yang sama Dia yang Paling Akhir, sehingga tiada yang lebih akhir dari-Nya. Dia pula yang paling Tampak dan Jelas, dan tiada yang lebih jelas dari-Nya, akan tetapi pada saat yang sama Dia yang Tersembunyi, itu semua ada pada-Nya, karena Dialah ‘illat (prima kausa) segala sesuatu dan tidak tergantung kepada selain-Nya (al-Ghani), sementara segala sesuatu bergantung kepada-Nya dalam segala sesuatu dan keadaan (al-faqir).

Kesembilan: "Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya[34]". Ayat ini ringkas, namun menjelaskan wujud dan semua sifat kesempurnaan Allah swt.. Tiada sesuatu apapun pun yang menyerupai Allah dalam segala hal, karena andaikan ada sesuatu yang menyerupai Allah, maka Dia bukan lagi Maha Esa. Dia sangat jauh berbeda dengan makhluk-Nya. Dengan kesendirian-Nya dalam wujud dan sifat kesempurnaan, tapi pada saat yang sama Dia sangat dekat dengan makhluk-Nya, lantaran makhluk merupakan bagian dari wujud-Nya dan dalam liputan-Nya.

Pendek kata, kita bisa menggali premis-premis ontologis dan filosofis dari al-Qur’an. Tuhan bisa dikenali dan eksistensi serta keesaan-Nya dapat dibuktikan melalui ayat-ayat al-Qur’an, selama ia diperlakukan sebagai proposisi-proposisi ontologis. Itu berarti al-Qur’an dapat dipersembahkan sebagai sebuah teks rasional dan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan keandalannya. Bagi umat Islam, ayat-ayat al-Qur’an, selain sebagai proposisi-proposisi ekstemporal, adalah wahyu ilahi yang melampaui aksioma-aksioma logis.



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Ja’far Subhani, Allah Khaliq Al-kaun, Maktab Ad-Dakwah Al-Islamiyah, hal. 67, Qom, 1999.
[2] Abdul Aziz bin Al-Dardir, At-Tafsir al-maudhu’i li ayat at-tauhid, 25; Dr. Musthafa Muslim, Mabahits fi At-tafsir al-Maudhu’i, Dar al-Qalam, Damaskus 1989, hal. 106.

[4] QS: Al-Thur: 35
[5] Al-Fakhr Al-Razi, At-Tafisr Al-Kabir, hal 258, Dar Al-A’lami li Al-Mathbu’at, Beirut, 1989
[6] A.S. Hornby & E.C. Parnwell, Reader’s Dictionary, 347, Oxford Progressive English.
[7] M. H. M. H. Thabathabai, Nihayah Al-Hikmah, hal 32, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom
[8] QS Asy-Syura, 11
[9] M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Al-Qur’an, hal. 37 Mu’assasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
[10] Dr. Musthapha Moslem, Mabahits fi At-tafisr al-maudhu’i, hal. 121-161, cet 1, Dar Al-Qalam, 1989.
[11] QS: Luqman, 11 – 12
[12] QS: Al-alaq 1-2
[13] QS Yusuf: 39
[14] Ja’far Subhani, Muhadharat fi Al-Ilahiyat, 21-23, Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom. M. Taqi Misbah Yazdi, Ma'arif Al-Qur'an, 87-94, Mu’assasah An-Nasyr Al-Islami, Qom, 1985.
[15] M. Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Al-Qur’an juz 1 hal 33. Muassasah An-Nasyr Al-Islami, Qom.
[16] QS: Yasin, ayat 60-61
[17] QS: al-Ankabut ayat 65
[18] Naser Makarim Syirazi, Tafsir Al-amtsal, 2001, juz 16 hal 340-34, Dar Al-Ridha, Qom.
[19] Al-Hilli, Al-Bab Al-Hadi- Asyar, hal 7, Muasssah An-Basyr Al-Islami, Qom, 1985.
[20] QS: Al-An’am: 75-79
[21].QS: Fush-shilat: 53
[22] QS. Yunus: 6.
[23] QS. An-Nahl : 68-69
[24] QS: Al-Anbiya: 22
[25] QS: Al-Mukminun: 91
[26] QS. al-Isra: t 42
[27] M. H. M. H. Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, vol. 13 hal. 106-107, Dar Al-A’lami li Al-Mathbu’at, Beirut.
[28] QS. al-Qashash: 71-72
[29] QS: al-Baqarah: 258
[30] QS al-maidah: 17
[31] QS al-An’am: 101
[32] QS Fathir: 15
[33] QS al-Hadid: 3
[34] QS: asy-Syura :11
Terakhir Diperbaharui ( Senin, 11 Juni 2007 11:55 )

Rabu, 02 September 2009

HARUN YAHYA

Sejumlah Rahasia Al Qur’an - Pengantar
Saturday, 22 August 2009 18:12 .hidayatullah.com--Banyak orang yang tidak beriman kepada al-Qur'an sekalipun mereka mengaku sebagai orang yang beriman. Mereka menghabiskan hidup mereka dengan berpegang pada khayalan, dan kehidupan mereka menyalahi al-Qur'an, bahkan mereka menolak al-Qur'an sebagai pembimbing mereka. Padahal, hanya al-Qur'an yang memberikan pengetahuan yang benar dalam masa kehidupan ini kepada setiap orang, dan al-Qur'an menjelaskan rahasia-rahasia penciptaan Allah dengan penjelasan paling benar dan paling murni. Informasi apa pun yang tidak berdasarkan pada al-Qur'an adalah informasi yang tidak benar, dengan demikian informasi tersebut merupakan tipuan dan khayalan. Dengan demikian, orang-orang yang tidak berpegang pada al-Qur'an hidupnya dalam keadaan mengkhayal. Di akhirat, mereka akan dilaknat selama-lamanya.



Dalam al-Qur'an, juga dalam shalat, perintah, larangan, dan akhlak yang baik, Allah menjelaskan berbagai rahasia kepada umat manusia. Sesungguhnya semuanya ini merupakan rahasia penting, dan mata yang mau memperhatikan dapat menyaksikan rahasia-rahasia ini di dalam hidupnya. Tidak ada sumber lain selain al-Qur'an yang dapat menjelaskan rahasia-rahasia ini. Al-Qur'an adalah sumber istimewa bagi rahasia-rahasia ini, sehingga siapa pun orangnya, betapapun ia orang yang cerdas dan melek huruf tidak akan pernah menemukan rahasia-rahasia ini di tempat lain.

Jika sebagian orang tidak dapat memahami pesan-pesan yang tersembunyi dalam al-Qur'an, sedangkan orang lain dapat memahaminya, ini merupakan rahasia lain yang diciptakan oleh Allah. Orang-orang yang tidak mengkaji rahasia-rahasia yang diwahyukan dalam al-Qur'an hidup dalam keadaan menderita dan berada dalam kesulitan. Ironisnya, mereka tidak pernah mengetahui penyebab penderitaan mereka. Dalam pada itu, orang-orang yang mempelajari rahasia-rahasia dalam al-Qur'an menjalani kehidupannya dengan mudah dan gembira.

Sebabnya adalah karena al-Qur'an itu jelas, mudah, dan cukup sederhana untuk dipahami oleh setiap orang. Dalam al-Qur'an, Allah menyatakan sebagai berikut:

"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. Kami telah menurunkan kepadamu cahaya yang terang benderang. Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya dan limpahan karunia-Nya, dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus." (Q.s. an-Nisa': 174-75).

Namun demikian, kebanyakan manusia, meskipun mereka sanggup memecahkan masalah yang sangat sulit, memiliki pemahaman dan mampu mempraktikkan filsafat yang sangat membingungkan, ternyata tidak mampu memahami hal-hal yang jelas dan sederhana yang terdapat dalam al-Qur'an. Sebagaimana tetah dijelaskan dalam buku ini, persoalan ini merupakan rahasia yang penting. Di samping tidak mampu memahami sifat dunia yang sementara, hari demi hari orang-orang seperti ini semakin dekat kepada kematian yang tak dapat dielakkan. Rahasia-rahasia dalam al-Qur'an merupakan rahmat bagi orang beriman, dan di sisi lain, al-Qur'an memberikan ancaman bagi orang-orang kafir, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Allah menjelaskan kenyataan ini dalam sebuah ayat sebagai berikut:

"Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'an itu hanyalah menambah kerugian bagi orang-orang yang zalim." (Q.s. al-Isra': 82).

Buku ini membicarakan tentang persoalan-persoalan yang berhubungan dengan ayat-ayat yang telah diwahyukan Allah kepada manusia sebagai suatu rahasia. Ketika seseorang membaca ayat-ayat ini, dan perhatiannya tertuju kepada rahasia-rahasia yang terkandung dalam ayat ini, maka yang harus ia lakukan adalah berusaha mengetahui maksud Allah di balik berbagai peristiwa, lalu memikirkan segala sesuatunya berdasarkan al-Qur'an. Maka, orang-orang pun akan menyadari dengan kesadaran yang mendalam tentang rahasia-rahasia tersebut, sehingga al-Qur'an akan mengendalikan kehidupan mereka dan kehidupan orang lain.

Semenjak orang bangun pada pagi hari, wujud dari rahasia-rahasia yang diciptakan Allah ini dapat dilihat. Untuk memahami rahasia-rahasia ini, yang ia perlukan hanyalah selalu memperhatikannya, berpaling kepada Allah, dan bertafakur. Maka, ia akan menyadari bahwa hidupnya sama sekali tidak tergantung pada hukum-hukum yang merugikan sebagaimana yang dipakai banyak orang, dan ia akan menyadari bahwa satu-satunya kekuasaan dan hukum yang dapat dipercaya hanyalah hukum Allah. Ini merupakan rahasia yang sangat penting. Tidak ada kebaikan di dalam aturan-aturan dan praktik-praktik yang digunakan kebanyakan orang selama berabad-abad yang dianggap sebagai kebenaran yang pasti. Sesungguhnya, orang-orang ini telah tertipu. Kebenaran adalah apa yang dinyatakan dalam al-Qur'an. Siapa pun yang membaca al-Qur'an dengan ikhlas, lalu memikirkan berbagai peristiwa berdasarkan al-Qur'an dan iman, dan mendekatkan diri kepada Allah, ia akan melihat dengan jelas rahasia-rahasia ini. Perbuatan inilah yang akan memberikan pemamahan yang lebih baik bahwa Allah adalah Yang Maha Esa Yang mengendalikan setiap makhluk, hati, dan pikiran, sebagaimana pernyataan Allah dalam sebuah ayat:

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur'an itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (Q.s. Fushshilat: 53).


http://www.harunyahya.com/some_secrets_of_the_quran_02.php

Selasa, 01 September 2009

DI BULAN RAMADHAN

Hukum-Hukum Seputar Puasa (III)

Niat Puasa

Niat dalam melaksanakan puasa merupakan rukun yang harus dipenuhi. Rasulullah saw bersabda:

إنّمَا الأَعْمَالُ بالنِّيّاتِ
“Sesungguhnya amal itu ditentukan oleh niatnya.” (HR.Bukhari)


Namun demikian para ulama berbeda pendapat tentang pelaksanaan niat dalam ibadah puasa. Abdullah bin Umar, Jabin bin Zaid dari kalangan sahabat, Malik, al-Laits dan Ibnu Abi Zi’bin berpendapat bahwa niat puasa baik yang wajib dan sunnah adalah di malam hari mulai dari pasca terbenamnya matahari hingga sebelum terbitnya fajar. Abu Hanifah. Syafi’I, Ahmad berpendapat bahwa wajib berniat di malam hari untuk puasa wajib (puasa Ramadlan, nadzar dan kaffarat) sementara puasa sunnah tidak wajib di malam hari dan boleh di siang hari. Pendapat ini adalah yang rajih dengan dalil:


عَنْ حَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ.

Dari Hafsah istri Rasulullah saw dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar maka tidak ada puasa atasnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan ia menshahihkannya demikian pula dengan al-A’dzamy)


Hadits ini berlaku umum baik puasa wajib ataupan sunnah. Namun terdapat riwayat lain yang menjelaskan bahwa Rasulullah berniat puasa setelah terbit fajar.


عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ فَقُلْنَا لَا قَالَ فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا فَأَكَل

Dari Aisyah Ummul Mu’minin ia berkata: pada suatu hari Nabi saw masuk menemui saya dan berkata: “Apakah engkau memiliki sesuatu?” Kami berkata: “Tidak ada.” Beliau lalu bersabda: “(kalau begitu) saya berpuasa.” Kemudian di hari lain beliau mendatangi kami dan kami berkata: “Ya Rasulullah saw kami diberi hadiah hais.” Ia lalu bersabda: “Perlihatkan kepadaku meski sejak pagi saya berpuasa.” Lalu beliau memakannya. (HR. Muslim). Hais adalah makanan yang terbuat dari minyak samin dan keju yang kadang diganti dengan tepung.


Konteks hadits di atas adalah puasa sunnah. Hal ini karena tidak mungkin bagi Rasulullah mencari makanan jika ia wajib berpuasa pada hari itu. Dengan demikian maka hadits sebelumnya telah ditakhsis oleh riwayat diatas sehingga puasa yang harus diniatkan sebelum fajar adalah puasa wajib sementara puasa sunnah dapat dilakukan setelah terbit fajar dengan catatan sebelumnya ia melakukan hal-hal yang membatalkan puasa yaitu makan, minum dan melakukan hubungan seksual.


Hal tersebut senada juga sejalan dengan sikap Ibnu Abbas


عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّهُ كَانَ يُصْبِحُ حَتَّى يُظْهِرَ ، ثُمَّ يَقُوْلُ : وَاللهِ لَقَدْ أَصْبَحْتُ وَمَا أُرِيْدُ الصَّوْمَ ، وَمَا أَكَلْتُ مِنْ طَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ مُنْذُ الْيَوْمِ وَلَأَصُوْمَنَّ يَوْمِي هَذَا

Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a. bahwa beliau dari pagi sampai dzhur kemudian berkata: demi Allah saya tidak menginginkan puasa namun pada hari ini saya belum makan dan minum. Maka saya akan puasa pada hari ini. (HR. at-Thahawy dalam kitab Syarh Ma’ani al-Atsar)


Meski hadits di atas merupakan atsar sahabat sehingga tidak dapat dijadikan dalil namun ia adalah hukum syara’ yang boleh diadopsi apalagi tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut telah ditentang oleh sahabat yang lain. Riwayat tersebut juga menyatakan bahwa niat puasa dapat dilakukan meski telah masuk waktu dhuhur selama sebelumnya belum makan dan minum.


Niat dalam puasa Ramadhan wajib ditunaikan setiap hari karena ibadah tersebut adalah berdiri sendiri yang waktunya mulai dari terbit fajar dan berakhir ketika matahari terbenam. Puasa hari ini tidak rusak karena rusaknya puasa sebelum dan setelahnya. Dengan demikian niat tidak cukup hanya dengan niat berpuasa sebulan penuh namun harus ditunaikan setiap malam.


Menahan diri dari yang membatalkan puasa

Orang yang berpuasa wajib menahan diri dari makan dan minum serta memasukkan sesuatu ke dalam rongga otaknya (dimagh) seperti memasukkan air lewat hidung dan telinga. Allah swt berfirman:


وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian antara benang putih dan benang hitam dari fajar dan sempurnakanlah puasa kalian hingga malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)


Rasulullah saw bersabda:


عَنْ عَاصِمِ بْنِ لَقِيطِ بْنِ صَبْرَةَ عَنْ أَبِيهِ لَقِيطِ بْنِ صَبْرَةَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِى عَنِ الْوُضُوءِ. قَالَ « أَسْبِغِ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
Dari Ashi bin Laqith bin Shabrah dari Bapaknya ia berkata: Ya Rasulullah terangkanlah kepadaku tentang wudlu. Beliau bersabda: sempurnakanlah wudlu, silanglah bagian jari-jemari dan hiruplah air kuat-kuat kehidung kecuali engkau dalam keadaan puasa.” (HR. Abu Daud. Al-Albany menshahihkan hads ini)


Ini merupakan mafhum mubalaghah agar orang yang berpuasa tidak menghisap air ke hidung dengan kuat sehingga air masuk ke rongga otak. Ini berarti memasukkan sesuatu ke rongga otak dalam keadaan berpuasa mengakibatkan batalnya puasa. Oleh karena itu makan, minum, menghirup sesuatu lewat hidung, meneteskan sesuatu ke telinga baik yang dimakan, diminum, seperti nasi, air, tembakau, atau yang biasa diteteskan ke hidung dan telinga membatalkan puasa.


Orang yang berpuasa juga dilarang untuk melakukan hubungan seks baik mengeluarkan sperma atau tidak. Firman Allah swt:


فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Maka sekarang gaulilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah atas kalian dan makan dan minumlah hingga jelas benang putih atas benang hitam dari fajar.” (QS. Al- Baqarah [2] : 187)


Ayat tersebut menjelaskan bahwa dimalam hari diperbolehkan untuk menjima’ istri hingga terbit fajar. Mafhum mukhalafah ayat ini (mafhum al-ghayah) adalah setelah fajar maka kalian tidak boleh menjima’ mereka.


Demikian pula bersenang-senang dengan istri tanpa jima’ pada saat berpuasa maka puasanya tetap sah. Hal ini didasarkan pada hadits riwayat :


عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ هَشِشْتُ فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ. قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَضْمَضْتَ مِنَ الْمَاءِ وَأَنْتَ صَائِمٌ

Dari Jabir bin Abdullah berkata: Umar bin Khattab berkata: saya merasa …..maka saya mencium istri saya maka saya berkata: Ya Rasulullah hari saya membuat sesuatu yang besar sementara saya berpuasa. Beliau bersabda: bagaimana jika kamu berkumur dari air sementara kamu berpuasa?” (HR. Abu Daud. Al-Albany menshahihkan hadits ini)


Berkumur dalam keadaan berpuasa jelas tidak batal. Namun jika sampai menelannya maka puasanya batal. Demikian pula dengan mencium istri dan aktivitas selain jima’, tidak membatalkan puasa. Sebagian ulama mengatakan bahwa mencium wanita sampai mengeluarkan air mani maka puasanya batal berdasarkan hadits di atas. Alasannya berkumur-kumur dapat menyebabkan air masuk ke tenggorokan demikian pula dengan mencium dapat menggerakkan syahwat. Namun pendapat tersebut ditolak oleh Uwaidhah karena takwilnya dianggap lemah. Dengan demikian bersenang-senang dengan istri tanpa jima’ menurut beliau tidak membatalkan puasa.[i]


Orang yang sengaja muntah ketika berpuasa juga membatalkan puasa.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَنْ اسْتَقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ القَضَاءَ وَمَنْ ذَرَعَهُ القَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka hendaknya ia mengqadha puasanya dan barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak ada qadla atasnya.” (HR. Ad- Daruqthny. Seluruh perawinya tsiqah)


Orang yang berpuasa kemudian melakukan hal-hal yang membatalkan puasa dalam keadaan lupa maka ia tidak wajib mengqadla puasanya.


عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَفْطَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَ لَا كَفَّارَةَ
Dari Ummu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadlan dalam keadaan lupa maka tidak ada qadha dan kaffarat. (HR. Ibnu Hibban. Menurut al-Arnauth sanad hadits ini hasan)


Orang-orang yang tidak wajib berpuasa


a. Musafir

Orang yang sedang melakukan perjalanan diperbolehkan untuk tidak berpuasa.


عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها أَنَّهَا قَالَتْ سَأَلَ حَمْزَةُ بْنُ عَمْرٍو الأَسْلَمِىُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصِّيَامِ فِى السَّفَرِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ

Dari Aisyah r.a. ia berkata: Hamzah bin ‘Amr al-Aslamy bertanya kepada Rasulullah tentang puasa dalam perjalanan maka belia bersabda: Jika engkau mau berpuasalah dan jika engkau mau berbukalah.” (HR. Muslim)


Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama apakah berpuasa atau berbuka di dalam perjalanan. Namun menurut Ali Raghib jika ia tidak merasa berat berpuasa dalam perjalanan maka lebih utama baginya untuk berpuasa. Allah swt berfirman:


فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka barangsiapa diantara kalian yang sakit atau dalam perjalanan maka hendaklah ia menggantinya di hari lain dan orang-orang yang merasa berat maka hendaklah mereka membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin dan barangsiapa yang melebihkan kebaikan maka itu adalah kebaikana baginya dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 184)


Namun jika dengan berpuasa membuat dirinya kesulitan maka lebih utama baginya berbuka.


عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نَاسًا مُجْتَمِعِينَ عَلَى رَجُلٍ فَسَأَلَ فَقَالُوا رَجُلٌ أَجْهَدَهُ الصَّوْمُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ

Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah saw melihat orang-orang berkumpul pada seseorang. Beliau lalu bertanya, maka orang-orang menjawab bahwa orang tersebut merasa berat dengan puasanya maka Rasulullah saw bersabda: bukanlah bagian dari kebaikan berpuasa dalam perjalanan.” (HR. an-Nasai dan al-Albany mensahihkannya)


b. Orang Sakit

Bagi orang yang sakit yang masih diharapkan untuk sembuh maka ia diperkenankan untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain. Adapun jika sakitnya diperkirakan sulit untuk sembuh maka ia diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan fidyah. Allah swt berfirman:


وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan Allah tidak menjadikan bagi kalian kesulitan dalam agama ini.” (QS. Al-Haj: 78)


وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan orang-orang yang tidak mampu melakukannya maka mereka harus mengeluarkan fidyah dengan memberi makan orang-orang miskin.”

c. Orang Tua

Orang yang lanjut usia yang merasa berat untuk berpuasa juga diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar fidyah. Dalilnya firman Allah swt:


وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan orang-orang yang tidak mampu melakukannya maka mereka harus mengeluarkan fidyah dengan memberi makan orang-orang miskin.” (al-Baqarah: 184).

Ibnu Abbas berkata tentang ayat (وَعَلَى الذين يُطِيقُونَهُ) “yakni fidyah dimana mereka yang tidak mampu berpuasa yakni orang tua dan orang yang lemah yang tua dan tidak mampu berpuasa maka atas mereka membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin …”[ii]


d. Orang hamil dan menyusui

Bagi wanita hamil dan menyusui maka mereka mendapatkan rukhsah untuk tidak berpuasa sebagaimana halnya seorang musafir namun mereka wajib mengqadla puasa yang mereka tinggalkan di hari lain.


عن أنس بن مالك- رجل من بني عبد الله بن كعب إخوة بني قُشَيْرٍ - قال:أغارت علينا خَيْل لرسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فانتهيت- أو فانطلقت- إلى رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وهو يأكل، فقال:” اجلس فأصب من طعامنا هذا “. فقلت: إني صائم!. قال: ” اجلس أُحَدثكَ عن الصلاة وعن الصيام: إن الله تعالى وضع شَطْرَ الصلاةِ- أو نصفَ الصلاة- والصومَ عن المسافر وعن المرضع والحُبْلَى “؛ والله! لقد قالهما جميعاً أو أحدهما. قال: فتَلَهفَتْ نَفْسِي أن لا أكونَ أكلتُ من طعام رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Dari Anas bin Malik bahwa seseorang dari Abdullah bin Ka’ab saudara Bani Qusyair berkata: kami mencari kuda Rasulullah saw lalu saya pergi menemui Rasulullah saw sementara beliau sedang makan. Beliau bersabda kepadaku: duduklah dan makan makanan kami. Saya berkata: saya sedang berpuasa. Duduklah saya akan memberitahukan engkau tentang shalat dan puasa. Sesungguhnya Allah telah meletakkan separuh shalat dan puasa orang yang dalam perjalanan, orang menyusui dan orang hamil. Demi Allah Ia telah mengatakan semuanya atau salah satunya. Ia berkata: maka saya menyesal tidak memakan makanan Rasulullah saw. (HR. Tirmidzy dan menurutnya hadits ini hasan, sementara Ibnu Khuzaimah menshahihkannya)


Dari hadits tersebut Rasulullah saw menjelasakan bahwa musafir, orang hamil dan orang yang menyusui dapat meninggalkan puasa. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa rukhsah bagi orang yang hamil dan menyusui hanya berlaku jika dikhawatirkan membahayakan ibu dan atau anaknya mendasarkan pendapat mereka pada hadits:


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْحُبْلَى الَّتِي تَخَافُ عَلَى نَفْسِهَا أَنْ تُفْطِرَ وَلِلْمُرْضِعِ الَّتِي تَخَافُ عَلَى وَلَدِهَا

Namun demikian hadits ini menurut al-Albany dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh Rabi’ bin Badar yang didhaifkan oleh Ibnu Hibban. Dengan demikian hadits ini tidak dapat digunakan untuk mentakhsis keumuman hadits pertama. Oleh karena itu wanita hamil dan menyusui baik ia khawatir atas diri dan anaknya, atau anaknya saja atau tidak khawatir maka ia boleh tidak berpuasa secara mutlak. Adapun kewajiban untuk mengganti puasa dihari lain maka dalilnya adalah karena puasa merupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Namun karena mereka diperbolehkan berbuka karena ada udzur maka menjadi utang yang harus ditunaikan dihari lain. Sabda Rasulullah saw:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا قَالَ: أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ أَكَانَ يُؤَدِّى ذَلِكِ عَنْهَا. قَالَتْ نَعَمْ. قَالَ: فَصُومِى عَنْ أُمِّكِ

Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: seorang wanita datang kepada Rasulullah saw dan berkata: Wahai Rasulullah ibu saya telah meninggal sementara dia memiliki kewajiban untuk berpuasa nadzar, maka apakah saya harus berpuasa untuknya. Rasul bertanya: apakah jika ibumu memiliki utang lalu engkau membayarnya apakah itu dapat menebusnya? Wanita itu menjawab: iya. Lalu Rasul bersabda: maka berpuasalah untuk ibumu. (HR. Bukhari Muslim)


Orang yang hamil dan menyusui juga tidak diwajibkan membayar fidyah karena tidak ada dalil yang memerintahkan keduanya untuk melakukan hal tersebut.[iii]



e. Haid dan Nifas

Keluarnya haid dan nifas merupakan salah satu yang membatalkan puasa. Oleh karena itu wanita yang mengalami haid dan nifas tidak diwajibkan untuk berpuasa di bulan Ramadlan namun wajib mengganti di hari lain ketika ia telah suci. Berbeda halnya dengan shalat, maka wanita yang haid tidak diperintahkan untuk mengqada’ shalat mereka.

أَلَيْسَ إِذا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ: بَلى، قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصانِ دِينِها

“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak shalat dan tidak puasa? Mereka menjawab betul. Beliau bersabda: demikianlah bentuk kekurangan agama mereka.” (HR. Bukhari)


عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

Dari Muadzah ia bertaka: saya bertanya kepada Rasulullah saw: mengapa orang yang haid wajib mengqadla puasanya sementara ia tidak wajib mengqadha shalatnya. Ia balik bertanya: apakah engkau seorang Haruriyyah? Saya menjawab: bukan namun saya bertanya. Ia berkata: kami telah mendapati haidh lalu kami diperintahkan untuk mengqadla puasa namun tidak diperintahkan untuk mengqadla shalat.” (HR. Muslim)


Wanita yang haid dan nifas tidak melaksanakan puasa hingga darah berhenti mengalir dari diri mereka. Jika darahnya berhenti maka ia tidak lagi dikategorikan sebagai orang yang haid dan nifas sehingga wajib menunaikan puasa pada saat itu. Oleh karena itu jika seorang wanita berhenti haid atau nifas sebelum fajar namun ia belum sempat mandi maka ia wajib berpuasa. Hal ini karena syarat wajib berpuasa adalah suci dari haid dan nifas bukan bersuci dari keduanya. Namun demikian ia tetap wajib untuk mandi setelah masa haid dan nifas tersebut.



Puasa Orang Junub

Hal yang sama juga berlaku bagi orang yang junub. Jika ia junub karena telah melakukan hubungan seks, mimpi atau sebab lain dan masuk waktu fajar sementara ia belum bersuci maka maka ia wajib untuk berpuasa dan tidak boleh mengqadha puasanya.


عَنْ أَبي بَكْرٍ أَنَّ مَرْوَانَ أَرْسَلَهُ إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا يَسْأَلُ عَنِ الرَّجُلِ يُصْبِحُ جُنُبًا أَيَصُومُ فَقَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلُمٍ ثُمَّ لاَ يُفْطِرُ وَلاَ يَقْضِى.
Dari Abu Bakar bahwa ia telah diutus oleh Marwan menemui Ummu Salamah r.a. untuk bertanya tentang pria yang masuk waktu subuh dalam keadaaan junub apakah ia berpuasa. Ia menjawab: Rasulullah saw masuk diwaktu Subuh dalam keadaan junub karena jima bukan karena mimpu dan beliau tidak berbuka atau mengqadla puasanya.” (HR. Muslim)


عَنْ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ زَوْجَيِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم , رَضِيَ الله عَنْهُمَا , أَنَّهُمَا قَالَتَا : كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم يُصْبِحُ جُنُبًا فِي رَمَضَانَ مِنْ جِمَاعِ غَيْرِ احْتِلاَمٍ ثُمَّ يَصُومُ

Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi saw r.a. berkata: Rasulullah saw berada di waktu subuh dalam keadaan junub di bulan Ramadlan karena jima’ bukan karena mimpu kemudian beliau berpuasa.” (HR. Ibnu Hibban. Menurut al-Arnauth sanadnya sahih berdasarkan syarat Bukhari-Muslim)


Berbuka tanpa udzur

Ibadah puasa merupakan satu satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh mereka yang telah akil balilg dan tidak ada udzur syari yang meringankin dirinya untuk tidak berpuasa seperti dalam dalam perjalanan, sakit atau lanjut usia. Jika seseorang meninggalkan puasa secara sengaja maka ia akan mendapatkan azab yang pedih di akhirat kelak.


عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِىُّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَقُولُ: بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ فَأَتَيَا بِى جَبَلاً وَعْرًا فَقَالاَ لِىَ : اصْعَدْ فَقُلْتُ : إِنِّى لاَ أُطِيقُهُ فَقَالاَ : إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا أَنَا بَأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ فَقُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ.

Dari Abu Umamah al-Bahily ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Ketika saya tidur tiba-tiba saya didatangi oleh dua orang lalu menarik lengan saya dan membawa saya ke gunung yang berbenjol-benjol dan berkata kepada saya: “Naiklah.” Maka saya berkata: “Saya tidak mampu lalu mereka berkata lag:i”Kami akan memudahkan engkau.” lalu saya pun naik hingga saya berada di puncak gunung tersebut. Tiba-tiba saya mendengar suara yang keras maka saya bertanya: “Suara apakah itu? Mereka mnjawab: “Itu jeritan penduduk neraka.” Saya kemudian dibawa satu kaum yang digantung dengan urat di atas tumit belakang mereka sementara rahang mereka disobek-sobek sehingga mengeluarkan darah. Saya lalu bertanya:”Siapakah mereka?” Salah satu dari keduanya menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum sempurna puasa mereka.” (HR. an-Nasai, Ibnu Hibban, al-Baihaqy. Alhakim mensahihkan hadits ini dan disetujui oleh ad-Dzahaby)







--------------------------------------------------------------------------------


[i] Mahmud Latif ‘Uwaidhah, al- Jâmi li ahkâm as-Shiyâm, hlm. 234

[ii] Ibnu Abbas, Tafsir Ibnu Abbas hlm. 28

[iii] Ali Raghib, Ahkâmu as-Shalâh, hlm. 57
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/08/24/hukum-hukum-seputar-puasa-iii/


Tags: Ramadhan 1430 H